Bab 9. Makan Sekotak Berdua

1961 Kata
Beberapa waktu lalu Lean pernah diajak Sakha dan orang tuanya menghadiri undangan ke acara gala dinner LinZone, tapi baru kali ini dia menginjakkan kaki di perusahaan farmasi terbesar milik keluarga Lin. Hebatnya Vian bisa mendapat kepercayaan dari omnya untuk menduduki posisi manajer pemasaran. Menggantikan Liam yang sekarang mengelola perusahaan keluarganya. Gugup, dia mondar-mandir menunggu sekretaris Vian yang turun untuk mengambil makan siang bawaannya. Kalau saja semalam dia tidak aneh-aneh ikutan minum dan mabuk, tidak perlu juga dirinya blingsatan minta maaf begini. “Haish! Sial!” umpatnya lirih memukul bibirnya yang sudah membuatnya malu sampai ubun-ubun. Pagi dia terbangun dengan kepala berdenyut sakit bukan main. Sempat kaget mendapati bajunya sudah ganti dengan kaos milik Vian, juga selimutnya diganti baru. Rasanya mau pingsan begitu ingat kelakuan konyolnya yang seperti orang sinting asal nyosor bibir Vian, lalu muntah ke mukanya. Sumpah! Rasanya dia ingin pingsan saja. Mana sejak pagi pria kulkas itu tidak menggubris chat darinya untuk minta maaf. Mau ditaruh mana mukanya nanti saat ketemu di rumah. “Lean!” Berbalik ke suara panggilan di belakangnya, muka Lean langsung merebak panas mendapati Ezra yang mendekat dengan mengulum senyum menyebalkan. Tuh, kan! Kenapa bisa sesial ini ketemu dia disini. “Hai,” sapanya seperti orang bodoh. “Cari Vian? Ada yang mau makan siang bareng kayaknya!” goda pria itu melirik ke paper bag bawaannya. “Nggak kok. Aku tadi dari agen properti dan kebetulan lewat sini, jadi sekalian menawarinya makan siang. Cuma mengantar ini! Terus langsung pulang,” sahutnya menggeleng. “Oh, aku pikir buat ganti yang semalam.” “Haa?!” Lean terperangah cengo dengan muka semburat memerah, tapi Ezra malah tertawa pelan. “Kenapa tegang gitu? Aku cuma bercanda. Memangnya semalam kenapa?” pancing Ezra seperti sengaja membuat Lean makin salah tingkah. “Nggak kok. Cuma sungkan saja semalam aku mabuk dan merepotkan Vian,” ucapnya lirih. Tangan Leandra sampai berkeringat dingin. Nyatanya selain Vian dan Liam yang seperti kulkas berjalan, Ezra juga paling bisa meroasting orang sampai panas dingin begini. “Ezra …” Mereka berdua menoleh. Leandra makin dibuat mati kutu melihat para om Vian muncul disana. Ibra Abraham dan Satria Lin, dua orang petinggi LinZone yang Vian anggap sebagai keluarga angkatnya. Leandra mengangguk sopan menyapa mereka. “Selamat siang, Pak.” “Dokter Lean? Cari Vian?” tanya Satria Lin. Selama ini Vian tinggal bersama mereka. Dia ini adik ipar suami Dokter Sifa, juga salah satu pemegang saham Medical Centre. “Nggak, cuma mau mengantar ini!” gelengnya sambil menunjukkan paper bag bawaannya. “Kenapa tidak naik?” tanya Ibra, pimpinan utama di sini. “Tidak usah, saya menunggu sekretaris Vian turun mengambilnya.” “Siang, Pak!” sapa seorang wanita menunduk sopan ke mereka. Lean langsung bisa menebak, itu pasti sekretaris Vian. “Disuruh Vian ambil bekal makan siang?” tanya Satria mengulum senyum, sedang wanita di depan mereka itu menggeleng. “Tidak, disuruh jemput Bu Leandra naik. Sekalian lapor ke resepsionis, untuk memberi Bu Leandra akses masuk ke LinZone.” Ezra tertawa terkekeh menatap Lean yang meringis menahan malu. Apalagi dua om Vian yang nyengir melirik ke dokter cantik itu. “Tadi bilangnya bukan gitu. Saya cuma disuruh menunggu dan sekretarisnya turun mengambil makan siang,” ucap Lean gugup. “Ambil hati juga tidak apa-apa kok, Dok!” sahut Satria Lin, sampai Ezra bebar-benar ngakak. “Mari, Bu! Sudah ditunggu Bapak di ruangannya!” Nina mempersilahkan Lean mengikutinya naik. Menahan malu, Lean berpamitan ke mereka dengan mengangguk sopan. Bisa-bisanya dia sesial ini bertemu dengan mereka. Lean seperti maling yang tertangkap basah. Mengikuti langkah sekretaris Vian, jantung Lean makin berdebar kencang. Bagaimana nanti dia harus berhadapan dengan Vian, meminta maaf sudah mencium dan menyemburnya dengan muntahan. Sudah dasarnya menyebalkan, pasti nanti makin ketus tidak karuan. “Silahkan!” Nina mempersilahkan Lean mengikutinya keluar saat lift berhenti di lantai sepuluh. Lean tidak sempat lagi mengagumi sebesar dan semegah bangunan kantor raksasa ini. Fokusnya hanya mengikuti langkah wanita ramah di depannya itu, sambil mati-matian menenangkan jantungnya yang seperti mau copot. Sampai kemudian mereka sampai di ruangan besar dengan tulisan manajer pemasaran, lalu sekretaris Vian mengetuk pintu. “Bu Leandra sudah sampai, Pak,” ucap Nina membuka pintu. “Suruh masuk!” serunya dari dalam. “Silahkan, Bu!” “Terima kasih.” Lean mengangguk sopan, lalu masuk dan menutup pintu belakangnya. Ruang kerja Vian yang luas dan didominasi warna putih dan coklat tua terlihat elegan. Dan disana, pria menyebalkan itu duduk menunduk fokus ke pekerjaannya tanpa berniat menggubris kedatangannya. Lean menghela nafas panjang. Keder melihat muka keruh Vian yang masih menunduk. Dia mulai menyesal ikut naik kesini. Harusnya tadi Lean serahkan saja bekal makanannya ke sekretaris Vian, lalu pergi. “Mau sampai kapan berdiri situ?! Kalau mau jadi penjaga pintu, di lobi sana!” Mulut sialan! Si paling bisa membuat orang jengkel itu bahkan tidak sedikitpun mengangkat mukanya. Lean melangkah mendekat, lalu meletakkan bawaannya di atas meja. “Ini makan siangnya!” ucapnya menatap lekat muka Vian yang sedang menunduk mengamati dengan teliti deretan angka di berkasnya. “Hm,” angguknya. Lean berdiri tepat di depan meja Vian. Senyap, hanya suara jarum jam yang seperti sedang meledeknya karena dicueki si tuan rumah. Meski salah, tapi dia sudah berusaha minta maaf. Malah begini perlakuannya. Kesal, dia pun berbalik hendak pergi dari sana. Persetan dengan Vian yang marah, yang penting dia sudah punya itikad baik meminta maaf. Sayangnya pintu tidak bisa dibuka. Dia sudah beberapa kali mencoba, tapi sepertinya terkunci. Mustahil, barusan dia masuk masih bisa dibuka. “Buka!” geramnya menendang pintu itu. “Kayaknya memang hobimu main kasar! Untung semalam bibirku tidak sampai cuil kamu gigit!” Lean berbalik, dan mendelik kesal. Yang tadinya dia malu dan gugup, justru sekarang dongkol bukan main. Sementara Vian menatap lempeng dengan ujung bibir terangkat samar. “Pintunya kenapa tidak bisa dibuka? Makan siangnya sudah kuantar. Sekarang aku mau pulang,” ucapnya. “Karena hanya aku yang bisa membuka.” Vian menyeringai puas menunjukkan remote di tangannya. “Haish! Sialan!” geram Lean terpaksa kembali mendekat. Kali ini dia tidak menunggu dipersilahkan, dan langsung duduk di sana. “Nggak sopan mau pergi tanpa pamit!” tegur Vian menyandar pasang muka menyebalkan. “Lebih nggak sopan mana sama yang didatangi, terus dicuekin?!” balasnya ketus. “Oh, berarti lain kali kalau kamu datang aku harus menggelar karpet merah untuk menyambut? Mau sekalian pakai kembang api, nggak?” sindir Vian, tapi Lean malah tertawa gemas. “Ngeselin tahu nggak!” dengusnya. “Aku sibuk. Kamu nggak lihat, tumpukan berkasnya setinggi itu!” Vian mengedikkan dagu dengan muka lelah. Ditambah matanya sayu memerah karena kurang tidur. Lean meringis. Paham kalau tanggung jawab Vian disini pasti berat. Dia meraih paper bag nya, lalu mengeluarkan kotak makan siang bawaannya. “Makan dulu!” Dia berdiri dan meletakkan kotak yang sudah dibuka tutupnya itu di depan Vian. “Cuma satu? Kamu nggak makan?” tanyanya mengernyit. “Nggak, aku nanti saja di rumah. Tadi kan kesini cuma mau mengantar makan siang di lobi. Bukan mau naik kesini. Lagi aku belum lapar, karena tadi sarapannya kesiangan,” jawabnya menggeleng. Vian menyingkirkan berkasnya, lalu menarik kotak makannya. Tangannya sudah mau menyendok, tapi urung lagi. Dia justru beranjak ke pojok ruangan, lalu mengambil sendok dari laci sekalian menuang segelas air. “Sini, makan!” panggilnya melambaikan tangan meminta Lean yang langsung cengo itu mendekat. “Aku? Makan bareng?” tanyanya terbengong-bengong. “Hm, kenapa? Takut? Aku tidak penyakitan!” lontar Vian geram. “Memangnya kapan aku ngomong kamu penyakitan? Heran! Suka banget berasumsi sendiri!” Lean merengut kesal. Padahal bukan begitu maksudnya, tapi kaget saja diajak makan sekotak bareng. Yang jelas rikuh, karena hubungan mereka bahkan tidak sedekat itu. Percaya atau tidak, dengan Sakha saja dia tidak pernah makan sepiring berdua. “Ya sudah, sini!” Vian menyodorkan sendak yang baru diambilnya. “Tapi, ….” “Bibirku saja kamu serobot, giliran cuma makan bareng kamu malu. Itu konsepnya gimana?!” olok Vian, makin keranjingan mulutnya. “Itu karena aku mabuk! Iya kali pas waras gini aku main nyosor bibir kamu!” balas Lean tidak terima. “Yang kamu colong semalam itu ciuman pertamaku. Balikin sini!” Mendengar itu Lean langsung kicep. Matanya melotot lebar menatap lekat bibir Vian yang ternyata sudah dia perawani, lalu tertawa cekikikan sambil membekap mulutnya saking geli. “Jadi maksudmu minta pertanggung jawaban, gitu?” tanya Lean terkekeh. “Haish! Buruan makan! Kerjaanku masih banyak. Mana ngantuk lagi!” perintahnya menyodorkan sendok. Mau tidak mau Lean pun menarik kursinya mendekat di samping Vian, lalu mengambil sendok itu dengan tangan kirinya. Yang kanan masih terbalut perban dan sedikit bengkak. Tadi karena buru-buru jadi lupa minum obat. Alhasil sekarang cenat-cenut rasanya. “Tanganmu masih sakit?” tanya Vian melihat Lean sempat meringis. “Hm, tadi pagi lupa minum obat.” “Dokter, tapi sembrono!” cibirnya. Sumpah, rasanya canggung banget duduk sedekat ini dan makan bersama. Padahal mereka pelukan sudah, ciuman pun pernah. Ironisnya tetap saja kaku dan malu. “Gimana dengan agen propertinya?” tanya Vian mulai memakan nasinya. Matanya terus tertuju Lean yang tidak nyaman makan menggunakan tangan kirinya. “Lancar kok. Mereka tanya kapan aku membereskan barang-barangku biar bisa dibersihkan dan ditawarkan ke pembeli,” jelas Lean. “Kapan mau beres-beres?” Lean menggeleng dengan helaan nafas panjang. Rasanya jijik menginjakkan kakinya di sana lagi. “Orang Sakha pasti mengawasi apartemenmu. Nanti biar aku minta tolong Jeje dengan membawa anak buahnya kesana membereskan barang-barangmu. Kamu jangan muncul sebelum pesta pernikahan!” ujar Vian. “Sakha atau anak buahnya itu perkara kecil. Aku cuma jijik menginjakkan kaki di sana lagi!” gumam Lean menyuapkan sedikit makanan ke mulutnya. Mengambil alih sendok Lean, Vian mengisinya dengan nasi dan lauk, lalu memberikan lagi ke pemiliknya. “Nanti aku hubungi Jeje,” Vian memberikan segelas air putih ke Lean. “Terima kasih,” ucapnya. “Untuk?” tanya Vian menyendok sepotong daging ayam. “Semua pertolonganmu, terima kasih. Kalau malam itu kamu tidak menghampiriku di taman, mungkin sampai pagi aku akan seperti orang gila menangis sendirian disana.” “Tidak masalah. Aku memang sebaik itu,” angguk Vian. Lean mendongak, tidak jadi menyendok saking gregetnya. Amit-amit narsisnya. “Bisa-bisanya sepede itu! Iya baik, sayang judesnya amit-amit!” dengus Lean, meminum air putihnya sampai hampir tandas. Vian tersenyum lebar. Padahal tadinya dia pikir Lean itu kaku dan irit ngomong, karena selama ini memang bicara seperlunya. Ternyata ceriwisnya minta ampun. Mereka meneruskan makan, sampai kemudian pintu diketuk. Vian mendongak mendengar pintu yang berusaha dibuka dari luar, tapi tidak terbuka karena masih terkunci. Dia menekan remot di sampingnya, lalu pintu pun terbuka. Agnes, wakil nanajer Vian yang muncul disana tampak terkejut begitu mendapati bosnya sedang duduk berdekatan dengan wanita. Bahkan, mereka sedang makan satu kotak bersama. Seperti sadar sesuatu Lean pun bermaksud memundurkan kursinya, takut jadi salah paham. Namun, Vian justru menahan kursinya. Tidak membiarkannya menjauh. “Habiskan makannya!” “Maaf kalau mengganggu. Nanti saya kesini lagi,” ucap Agnes. “Ada apa?” tanya Vian kembali ke setelan awal dengan muka juteknya. Lean hanya menggeleng pelan. “Minta tanda tangan.” Wakil manajer itu pun mendekat, lalu meletakkan dua map di depan Vian. Selama Vian memeriksa berkasnya, mata Agnes mengernyit memperhatikan Lean yang sudah tidak selera lagi meneruskan makannya. “Dokter Leandra, kan? Calon istrinya Sakha Ardhana. Kita bertemu saat di acara gala dinner. Ingat?” lontar Agnes dengan tatapan anehnya. Lean menghela nafas, lalu meletakkan sendoknya kesal. Begitu pun Vian yang lalu mendongak dengan sorot mata menguar marah. “Iya, saya Leandra. Kenapa? Ada masalah?” sahut Lean sengit. Tidak lagi menutupi kekesalannya disinggung soal itu. “Keluar! Berkasnya nanti aku minta Nina mengantarnya ke ruanganmu!” perintah Vian dengan suara beratnya. “Maaf, saya tidak punya maksud apa-apa. Cuma reflek ….” “Keluar! Nggak dengar, kamu! Tutup mulutmu kalau tidak ingin berurusan denganku!” bentak Vian membanting berkasnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN