Heran bin Masgul

1720 Kata
Abyan memandang Zeny dengan tatapan tidak berkedip. Dia seperti melihat mahluk astral paling cantik dengan kalimat yang membuatnya merinding ngeri. Bagaimana bisa kakaknya yang cantik dan memiliki kesibukan segudang bisa melakukan hal dan pekerjaan yang menurutnya tidak masuk akal. Setidaknya bila dihubungkan dengan seorang gadis remaja yang pernah membuat kepala Abyan sakit. Zeny belum pernah bertemu dengan gadis itu tetapi sudah sangat yakin dirinya sudah menemukannya. Dia bertemu dengan gadis yang memanggilnya ‘om’ bukan baru kemarin tetapi yang dilakukan oleh Zeny seolah dia baru saja bertemu dengannya sehingga begitu mudah dia menemukannya. Apa kepentingan Zeny bertanya padanya tentang gadis itu? Apa mungkin dia lelaki yang sudah cukup dewasa harus memiliki kekasih anak kemarin sore? Tanpa Abyan sadari bibirnya tersenyum geli. Membayangkan dirinya berpacaran dan dia dipanggil om oleh kekasihnya. ‘Om Aby’ “Eh kenapa tersenyum? Suka, kan? Aku yakin dia pasti ikut pencarian bakat tersebut,” sambar Zeny begitu dia melihat senyum geli di wajah Abyan. “Suka darimana. Tapi…kenapa kau sangat yakin dia ikut?” tanda tanya besar kembali menghiasi benak Abyan. “Karena aku sudah memberikan kartu namaku secara khusus dengan semua janji yang bisa aku berikan,” jawab Zeny. “Kau tahu yang sejak tadi aku pikirkan?” tanya Abyan berjalan menuju jendela. Dia menolak duduk kembali karena yakin ceritanya akan semakin panjang. “Kalau kau tidak mengatakannya, mana aku tahu,” sahut Zeny masih dengan senyum konspirasinya. “Bagaimana kau bisa yakin kalau gadis itu yang bikin aku sakit kepala?” tanya Abyan. “Dari wangi parfum yang dia pakai,” jawab Zeny yakin. Hah? Bukan jawaban seperti itu yang diharapkan oleh Abyan. Seorang Zeny memakai ciri wangi parfum sebagai buktinya? “Kalau sebelumnya aku menyarankan dirimu periksa mata, sekarang aku menyarankan dirimu untuk periksa otak juga. Kasar memang, tapi aku tidak mau kakakku yang cantik jadi semakin gila,” ujar Abyan geli. “Terserah. Bagiku Emma adalah gadis yang bersama denganmu di pesawat dan bukan gadis yang lainnya. Kau tahu, By, pertama kali aku melihatnya aku sudah tertarik dan jatuh hati padanya. Gadis yang pintar meskipun terkesan cuek dengan sekitarnya.” “Emma?” Sebuah nama keluar dari mulut Abyan seolah dia melafalkan kata sebagai ungkapan dari rasa rindu yang tertahan. Otak Abyan yang memiliki daya ingat paling kuat mencoba mengingat apakah gadis itu pernah menyebut namanya atau tidak. Pikirannya melayang membuat Zeny menahan senyumnya. Tidak, Gadis itu tidak menyebutkan namanya karena mereka bahkan tidak berbincang secara akrab selama di pesawat. “Iya, namanya Emma. Kau ingat dia?” tanya Zeny bersemangat. “Tidak. Kami tidak sedekat itu untuk bertanya dan berkenalan. Sebaiknya kau harus siap kecewa kalau Emma bukan gadis yang bersama denganku di pesawat,” jawab Abyan tertawa. Melihat wajah Zeny yang berusaha memberinya keyakinan, Abyan segera berpamitan kembali ke ruang kerjanya. Dia tidak mau Zeny terus membicarakan gadis itu dan pertanyaan tentang apakah dia akan memilih Emma sebagai pemenang. Abyan meninggalkan ruang kerja Zeny dengan hati yang mengganjel. Bagaimana bisa Zeny bertanya apa dia akan memilih remaja yang bahkan namanya saja dia sudah lupa. Tidak ada bayangan di dalam benak Abyan untuk mencari tahu kebenaran ucapan Zeny, bagi Abyan setiap orang berhak untuk ikut serta dalam pencarian bakat menjadi model yang di selenggarakan oleh HSP. Abyan tidak pernah melarang siapa pun ikut serta apalagi dari ucapan Zeny dia sepertinya sudah sangat yakin kalau gadis pilihannya adalah yang akan menang. Di ruang kerja yang di isi oleh beberapa anak buahnya terlihat kesibukan yang tidak pernah sepi. Abyan gembira karena semua anak buahnya selalu bekerja dengan baik dan memberinya hasil yang sangat maksimal. Abyan adalah atasan yang royal dan dia selalu memberikan bonus pada anak buahnya apabila mereka mencapai hasil kerja yang mengagumkan. Sementara bagi anak buahnya, Abyan lebih dari sekedar atasan mereka di bagian Event Planner melainkan sebagai bos yang sangat royal dan sangat perhatian pada bawahannya. Tidak pernah sebelumnya ada atasan yang bisa memberi mereka bonus selain perusahaan. “Bagaimana semuanya sudah selesai?” tanya Abyan setelah dia masuk dan melihat semua hasil pemikiran mereka sudah diwujudkan secara sempurna. “Sudah rapi, Bos. Lalu, kapan kita mulai memasang pamflet dan memberikan brosur ini?” tanya Hisyam yang ditunduk Abyan sebagai wakil penanggung jawab untuk acara tersebut. “Bu Tania belum memberi kabar. Kita tunggu sampai surat edaran dari-nya di tanda tangani,” jawab Abyan. “Siap. Bos,” jawab mereka kompak. Tawa puas karena memiliki anggota team yang solid, Abyan mulai melangkah memasuki ruang kerja yang berupa kantor ukuran 3x4 yang merupakan ruang privasinya. “Hisyam, aku ingin bicara denganmu,” kata Abyan sebelum dia menutup pintu ruang kerjanya. Memandangi beberapa rekan kerjanya seolah mencari tahu apa penyebab dirinya dipanggil Abyan, Hisyam tidak menemukan jawabannya sehingga dengan mengedikkan bahunya dia menuju ruangan Abyan dan mengetuk pintunya. “Duduklah!” perintah Abyan setelah Hisyam masuk dan berdiri di depan mejanya. “Kau tahu kalau David sudah keluar dari HSP?” tanya Abyan langsung. “Kalau Pak David keluar saya tidak tahu, bos. Tapi kemungkinannya penyebabnya saya mungkin tahu,” jawab Hisyam setelah berpikir cukup lama. “Penyebabnya? Bagaimana kau bisa tahu?” Tidak percaya adalah gambaran dari ucapan Abyan. Bagaimana bisa Hisyam yang lebih banyak bekerja di dalam ruangan bisa tahu penyebab salah satu atasannya keluar dari perusahaan. Apakah Hisyam bisa mengetahui yang tidak bisa dia lihat? Dengan suara yang tenang seolah yang dia katakan tidak memiliki pengaruh apa pun, Abyan mulai mengatakan sekaligus menjelaskan bagaimana David langsung dipanggil oleh Tania dan dia memang hanya tahu sampai situ saja. Hisyam bukan lelaki yang banyak bicara sehingga ucpaannya membuat Abyan terpukau mendengarnya. Seorang David membuat cerita yang memalukan hingga membuat Tania marah adalah tindakan yang sangat berani. Tidak pernah terbayangkan seorang yang sudah memiliki jabatan penting dan bekerja cukup lama sama sekali tidak membuat David memiliki sikap hormat yang harus dia tunjukkan pada atasannya. Mereka masih berbincang pada saat Mei, sekretarisnya Tania datang untuk memberikan surat edaran yang sudah ditanda tangani oleh Tania. “Menurut Bu Tania, kalian bisa langsung bekerja karena dari proposal yang sudah disetujui, acara tersebut memiliki waktu yang cukup panjang,” ujar Mei yang diangguki oleh Abyan. Dari setiap kata yang diucapkan oleh Mei pada Abyan, Hisyam memiliki keyakinan kalau mereka memiliki hubungan dekat. Bukan seperti yang dipikirkan oleh David dengan otak kotornya. Bagi Hisyam, sikap Mei pada Abyan seperti ungkapan pada atasannya atau pada orang yang memiliki pengaruh cukup tinggi di perusahaan. “Oke, yang kita tunggu sudah diterima jadi kita bisa melakukannya dengan cepat. Aku berharap acara ini berjalan dengan lancar tanpa ada halangan apa pun,” ujar Abyan sambil menyerahkan surat yang baru diberikan Mei pada Hisyam. “Perbanyak dan lakukan tugas kalian. Sampaikan pada team yang melayani pendaftaran agar bisa kerja sama jangan sampai kita membuat perbedaan pada semua karyawan yang berpartisipasi,” ujar Abyan. “Siap. Saya akan pastikan kalau semuanya sesuai dengan aturan dan rencana yang sudah kita susun dengan rapi,” jawab Hisyam yakin. Abyan sangat beruntung karena Hisyam adalah karyawan yang bisa dia andalkan dan berharap pada saat dirinya pergi, Hisyam bisa mengatasi semua pekerjaannya. “Menurutmu berapa banyak karyawan yang HSP yang berminat?” tanya Abyan dengan mata tertarik. Tanda sadar dia mengulangi pertanyaan yang sama yang dilakukan Zeny sebelumnya. “Saya rasa sangat banyak bos. Walaupun acara pencarian bakat tersebut masih menjadi rahasia bagi karyawan HSP. Terus terang saya tidak pernah melihat acara seperti ini untuk ulang tahun perusahaan,” jawab Hisyam. “Mungkin karena kau hanya sibuk kerja di sini hingga tidak melihat dan mengetahui kalau di perusahaan lain melakukan hal yang sama,” jawab Abyan tertawa. “Mungkin saja,” timpat Hisyam tertawa. Sangat sulit bagi Hisyam membuat Abyan tertawa bebas.  Kadang dia berpikir kalau Abyan adalah lelaki yang tidak mudah bergaul dan memiliki batasan mana yang pantas atau tidak untuk menjadi temannya. Sebuah batasan yang tidak dimengerti oleh Hisyam karena mereka adalah karyawan walaupun memiliki tingkatan yang berbeda. “Sebaiknya segera perintahkan petugas untuk memasang pamflet untuk acara tersebut!” perintah Abyan setelah dia cukup lama mengamati lembaran yang diberikan Hisyam padanya. “Baik, bos.” Dengan kecepatan yang membuat Abyan tertawa, Hisyam sudah meninggalkan ruang kerjanya sementara itu, di saat yang bersamaan, di salah satu SMA yang cukup terkenal, beberapa pelajar masih ada di dalam kelas padahal jam sekolah sudah selesai sejam setengah jam yang lalu. Mereka sepertinya enggan pulang sementara Matahari bersinar dengan teriknya.  “Gimana, Em? Jadi ikut pencarian bakat di HSP?” tanya siswa yang bernama Baina pada temannya yang tidak lain adalah Emma. “Gak minat. Aku gak suka acara seperti itu. Kau mau ikut? Kalau mau, nanti aku antar,” kata Emma dengan mata masih tertuju pada layar zenbook, sibuk dengan hobynya yang sudah menghasilkan banyak uang. “Kau tahu kalau ibu yang tadi sepertinya berharap besar kau bisa ikut. Ikut saja, kasihan loh, dia,” bujuk Baina pada Emma. “Kalau aku ikut terus menang gimana? Kau rela menyerahkan kemenangan tersebut padaku,” jawab Emma santai. “Rela kalau kau yang menang. Daripada yang lain padahal casing pas-pasan,” jawab Baina tiba-tiba sengit. Apa yang terjadi, kenapa suara Baina judes? Emma mengangkat wajahnya dan melihat sumber dari perubahan Baina. “Gak usah dipikirin. Bikin dia tertawa aja,” saran Emma pada Baina. Senyum Emma tidak lepas dari bibirnya pada saat dia mendengar suara mengeluh dari Baina hingga dia segera menyelesaikan pekerjaannya. “Kau mau ikut acara tersebut? Besok sekolah libur, kan? Kalau mau, kau kerumahku. Tahu, kan, kalau setiap kali pergi harus ada sopir yang mengawal?” kata Emma tertawa. “Oke, kau dari sini mau kemana? Ada rencana mau mampir, gak?” tanya Baina kembali karena Emma sudah bersiap meninggalkan kelas. “Gak ada mampir. Aku harus langsung pulang karena di rumah sedang banyak tamu,” jawab Emma. “Wah asik dong. Boleh mampir ke rumahmu, gak?” “Mampir aja, tapi jangan salahi-n aku kalau di rumah aku cuek-in ya. Hari ini aku mau tidur siang dengan nyaman tanpa ada gangguan,’ jawab Emma. Wajah Baina terlihat bingung pada saat dia mendengar ucapan Emma. Tadi dia bilang mau pulang karena di rumahnya banyak tamu, sekarang dia bilang mau tidur siang dengan nyaman. Emma otaknya gak korslet, kan? “Eh, ngapain masih berdiri di situ?” tegur Emma menyadari Baina belum beranjak dari kursinya sementara dia sudah di depan pintu. “Bingung sama jawaban kamu,” jawab Baina sementara Emma seolah tidak peduli dengan pernyataan yang diucapkan olehnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN