Sakit Perut

1728 Kata
Sesuai dengan pengumuman yang sudah disampaikan oleh pihak Event Planner, semua karyawan HSP, khususnya para wanita seolah berlomba untuk mendaftar sebagai model, tidak peduli apakah mereka memiliki wajah yang cukup menarik atau tidak yang penting usaha dulu urusan menang atau kalah hanya juri yang menentukan.  Karla masih berdiri tidak percaya menatapi nomor peserta sebagai tanda keikut sertaannya sebagai model untuk HSP. Usianya yang masih cukup muda dengan wajah yang tidak kalah dengan para model professional membuat kepercayaan diri Karla lebih tinggi di antara karyawan yang lainnya. Karla yakin di kelompok usianya, dia bisa mendapatkan nilai yang cukup tinggi, apalagi Abyan, lelaki yang cukup menarik perhatian hampir seluruh pegawai HSP seperti menaruh perhatian padanya. Sebagian besar karyawan tidak berpikir mereka akan menjadi pegawai tetap tetapi tidak demikian dengan Karla. Dia yakin dengan peluang yang sudah diberikan oleh HSP, Karla yakin impiannya menjadi model semakin terbuka luas. Dalam bayangannya dia dikontrak oleh salah satu agen model Internasional dan namanya sudah dikenal dunia, tidak lagi di Indonesia. Pekerjaannya sebagai resepsionis hanya masa lalu yang tidak akan dia bagi pada siapa pun. Hanya satu masalah yang membuatnya tidak nyaman dan menjadikan dirinya gelisah, apalagi kalau bukan tentang fashion yang akan dia pakai pada saat pencarian bakat nanti. Suara helaan nafas terdengar begitu keras membuat dua orang gadis yang baru datang dan berdiri di depan mejanya saling lirik dengan temannya. “Selamat pagi, Kak, saya mau tanya, untuk pendaftaran model HSP dimana, ya?” tanya Emma setelah cukup lama dia berdiri mengamati Karla yang senyam senyum sendiri. “Kamu mau daftar jadi model HSP?” kerutan terlihat jelas di kening Karla. Darimana kedua gadis itu tahu kalau di HSP ada penjaringan model? Apa mungkin mereka dikasih tahu oleh salah seorang staf yang bekerja di HSP? “Permisi, Kaka,” kata Emma mulai berkata lagi. “Kalian mau daftar jadi model HSP? Kalau boleh aku tahu, darimana kalian tahu?” tanya Karla seolah kedua gadis remaja yang tidak lain Emma dan Baina hanya mengadu untung saja. “Oh, kemarin, di sekolah kami, Bu Zeny memberikan informasi tersebut. Kebetulan saya sudah menghubungi Bu Zeny langsung,” jawab Emma yang mulai tidak sabaran dengan sikap Karla. Dia dan Baina datang bukan untuk mengemis apalagi membuat HSP bangkrut, tetapi sikap Karla sama sekali tidak mewakili dari pekerjaan yang dia lakukan. Seorang pengusaha mengatakan kalau dia bertemu dengan Zeny, bagi Karla bukan masalah tetapi dua orang gadis remaja mengatakan kalau Zeny yang tidak lain putri pemilik HSP datang menemui mereka menjadi sebuah kecurigaan tersendiri. “Kalian sudah menghubungi Bu Zeny…bagaimana bisa?” tanya Karla setelah beberapa saat dia memperhatikan Emma dan Baina secara bergantian, terutama pada Emma yang menurutnya begitu berani. “Tentu saja bisa karena Bu Zeny yang memberikannya langsung pada saya,” jawab Emma mulai tidak sabar. “Kalau begitu, kalian bisa ke ruangan yang di sebelah sana, tepatnya ruangan yang di depannya ada tulisan meja pendaftaran.” Karla tidak mau mencari masalah dengan petinggi HSP. Kedua gadis remaja itu memang cantik tetapi mereka tidak masuk dalam kelompoknya. Dari wajahnya sangat jelas terlihat kalau usia mereka masih dibawah 17 tahun sementara dirinya sudah 23 tahun. “Terima kasih, Kak,” kata Emma dan Baina secara bersamaan. “Si mba resepsi, jutek banget,” kata Emma tertawa pelan. “Resepsi? Emang ada acara resepsi pernikahan?” tanya Baina dengan mata mengembara. “Maksud aku resepisonis. Gak banget kalau orangnya jutek begitu. Aku khawatir para tamu langsung pergi karena orangnya curigaan gitu,” kata Emma mengikik. “Lucu. Otak kamu sendiri gak sinkron, kamu bilang gak banget, tapi kamu-nya malah geli begitu,” kata Baina yang sering heran dengan semua sifat Emma. “Suka-suka aku-lah,” sahut Emma tidak mau kalah. Mereka terus berjalan sambil melemparkan guyonan tidak menyadari Zeny dan Tania berdiri mengamati keduanya. “Kau yakin kalau gadis yang memakai celana selutut itu gadis yang bersama dengan Abyan?” tanya Tania. “Belum yakin sepenuhnya. Dan aku akan mencari tahu apa saja yang dia lakukan pada liburan tahun ini,” jawab Zeny. “Maksudmu?” tanya Tania lagi. Seingat Tania, usianya dengan Zeny hanya berjarak 3 tahun, tetapi kenapa sampai sekarang dia tidak pernah bisa mengukuti jalan pikiran adik perempuannya? Terkadang berbicara dengan Abyan yang lebih jauh jarak usianya lebih mengena. Di meja pendaftaran, Emma menemani Baina yang tengah mengisi formulir pendaftaran. “Eh, serius kamu gak mau ikut?” tanya Baina memastikan. “Enggak. Waktunya gak tepat,” jawab Emma yang lebih memilih memperhatikan layar zenbooknya. “Kenapa tidak tepat? Sepertinya acara ini dilakukan pada hari bebas kalian,” suara seorang wanita terdengar menimpali pembicaraan mereka. Dengan gerakan cepat Emma berbalik untuk melihat siapa yang barusan bicara. Mulutnya setengah terbuka pada saat dia melihat Zeny berdiri di depannya bersama dengan seorang wanita tinggi yang memiliki kecantikan yang sama. “Eh, Bu Zeny,” sapa Emma sementara Baina hanya mengangguk sebelum kembali mengisi formulir. “Kau tidak ikut daftar?” tanya Zeny lagi sambil melirik tangan Emma yang memegang Zenbook. “Tidak Bu,” jawab Emma tersenyum. Biasanya dia selalu bercanda tetapi berdiri di depan Zeny, semua sifatnya yang terkadang membuat orang menahan sabar tidak terlihat. Emma lebih banyak diam karena dia adalah gadis yang tahu aturan. “Kenapa?” tanya Tania yang memperhatikan wajah Emma dengan tajam. Dengan matanya yang tajam, Tania melihat gadis remaja yang berdiri di depannya memiliki potensi yang tinggi, terutama di bidang seni kreatif. “Karena dia takut menang, Bu,” jawab Baina sambil menyerahkan formulirnya pada panitya pendaftaran. “Benarkah?” Tania dan Zeny saling melemparkan tatapan, mereka tidak mengira kalau Emma memiliki kepercayaan yang begitu tinggi. Apakah mereka salah menilai karena berpikir Emma adalah gadis yang rendah hati dan tidak sombong? “Bukan itu kok, Bu, alasannya. Saya tidak mengikutinya karena bertepatan dengan acara di kedutaan Rusia,” jawab Emma sambil melotot pada Baina yang cengar cengir. “Acara di Kedutaan Rusia? Kau orang Rusia?”tanya Zeny dengan mata membesar. “Saya orang Rusia? Gak mungkin, Bu. Bahasanya aja saya masih blepotan. Kebetulan saya ikut acara yang diadakan di sana. Sebagai pemenang yang mendapatkan hadiah liburan gratis selama seminggu, saya diharapkan masih terus mengikuti setiap acara di sana,” jawab Emma malu. “Jadi kau pernah ke Rusia…kapan?” tanya Tania. “Sebelum tahun ajaran baru di mulai, Bu. Dan Rusia adalah negara kedua yang membuat saya selalu ingin kembali,” jawab Emma dengan mata menerawang. “Benarkah? Aku tidak tahu kalau kau menyukai negara dingin tersebut. Kau tahu Rusia adalah salah satu negara yang memiliki pertambangan berlian terbesar di dunia,” beritahu Tania dengan mata yang terus menatap Emma. “Saya sudah membacanya, tetapi saya hanya bisa mengaguminya saja. Pertambangan di Indonesia saja saya tidak bisa melihatnya apalagi yang ada di negara orang lain,” jawab Emma lagi. “Apa yang kau pegang?” tanya Zeny yang memperhatikan tangan Emma pada saat gadis itu menutup mulutnya saat tertawa. “Oh, ini…zenbook, Bu,” jawab Emma dengan wajah memerah. Apakah dirinya akan dibilang sombong atau gadis yang suka pamer? Tidak seharusnya dia mengeluarkan zenbooknya pada saat menunggu Baina. “Kau suka menggambar?” tanya Zeny kembali. “Sangat suka. Karena kesukaan saya sampai bisa membawa saya ke negara yang terkenal dengan sebutan Negara Beruang Putih,” jawab Emma bangga. “Boleh aku tahu yang kau gambar? Kebetulan adikku juga memiliki hoby menggambar,” jawab Zeny. Dengan malu dan ragu, Emma memperlihatkan gamar yang belum selesai dia buat. “Gambarnya masih belum selesai karena saya hanya mencoba mengingat yang ada di otak saya aja,” jawab Emma ragu-ragu. Dia tidak tahu mengapa kedua wanita yang elegant yang ada di depannya seolah menahan sakit perut akut. Apakah gambarnya sangat buruk? Ataukah dia memang tidak pandai menggambar wajah orang? “Sangat buruk, ya, Bu?” tanya Emma. “Sangat bagus. Tapi aku melihat gambar tersebut belum sempurna, kenapa?” tanya Zeny dan Tania nyaris berbarengan. Ya Tuhan…kalau saja Abyan melihat gambar yang dibuat Emma, entah apa yang akan dia katakan. Penggambaran Abyan sangat sempurna hingga pada kerutan yang selalu ada pada saat adiknya sedang jengkel. “Karena saya tidak bisa melihatnya secara berhadapan. Saya hanya melihatnya dari samping saja,” jawab Emma. “Jadi…dia benar-benar ada?” pancing Zeny. Sangat menarik mencari informasi dari gadis muda yang sepertinya memiliki banyak keahlian. “Tentu saja ada. Saya bertemu dengan om itu di pesawat yang menuju Jakarta.” “Om? Apakah dia setua itu? Dari gambaran yang ada di zenbook, dia sepertinya tidak setua itu,” kata Zeny menahan sakit di perutnya. “Dibandingkan dengan usia saya yang baru 16 tahun saya rasa usianya lebih banyak,” jawab Emma. “Kenapa kau tidak memanggilnya Mas atau kakak saja,” tanya Tania dengan tangan yang memegang sisi meja. “Sepertinya lebih nyaman kalau panggil Om,” jawab Emma geli. “Kau tidak takut dia marah dengan panggilan Om? Kau tahu beberapa pria mungkin tidak menyukai panggilan tersebut,” beritahu Tania. “Saya rasa dia pasti menyukainya kalau nanti saya panggil Om Ganteng,” jawab Emma dengan senym lebarnya. Musnah dan hancur sudah pertahanan yang dibuat Zeny dan Tania sejak mereka melihat gambar yang dibuat Emma. Dengan suara tawa yang keras dan geli, mereka mampu menarik perhatian beberapa pengunjung. Tidak ada yang lebih menarik selain setiap perkataan yang diucapkan oleh Emma. Hanya pandangan Emma yang binggung membuat Tania dan Zeny menghentikan tawanya dengan susah payah. “Boleh aku mengambil foto dari gambar yang kau buat? Jangan khawatir, aku tidak akan mempublikasikan. Gambarmu benar-benar membuatku sangat kagum. Seandainya kami ingin menjadikan dirimu sebagai karyawan di HSP, apa kau bersedia?” tanya Tania. Sebelum memberikan jawaban pada Tania, Emma mengangguk sebagai tanda kalau dia mengijinkan Tania mengambil gambarnya melalui ponsel pintarnya. Entah apa yang diinginkan oleh Tania, Emma sendiri hanya menjadikan gambar tersebut sebagai bagian dari kenangannya saja. “Terima kasih, Emma. Sangat di sayankan kau tidak bisa mengikutinya. Lain kali kalau kak tidak memiliki acara, datang…lah ke sini. Aku akan menunjukkan padamu bagaimana bisa bergabung dengan team design HSP,” kata Tania setelah dia melihat kedua gadis di depannya mulai tidak sabar. “Terima kasih, Bu. Saya memang sangat menyukai membuat gambar atau lukisan, tetapi saya masih sekolah jadi saya yakin belum bisa bekerja di tempat ibu,” jawab Emma. “Kapan-pun kau membutuhkan pekerjaan, kami akan membantumu. Tetapi tawaran ini hanya berlaku untumu tidak untuk orang lain,” beritahu Tania. “Baiklah, kalau begitu saja permisi, Bu. Selamat siang,” kata Emma mulai beranjak pergi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN