Adorable 9

1192 Kata
                Dengan penuh semangat Dara masuk ke dalam lobby kantor, ia melihat arloji yang menunjukan pukul 07.28. Dahsyat, ini adalah hari paling langka bagi seorang Dara. Bagaimana tidak? Ia tiba di kantor dengan waktu lebih awal sampai 30 menit.                 “Pagi Bu Dara” sapa Rara seperti biasa saat Dara menaruh ibu jarinya pada mesin absen.                 Dara tersenyum, “Pagi Rara” jawab Dara segera berjalan menuju lift. Tentu saja keadaan lift masih sangat kosong, jarang-jarang ada karyawan yang begitu royal dengan tiba di kantor lebih cepat setengah jam.                 “Ah masih sepi sekali rupanya” ucap Dara segera menaruh tas diatas meja kerjanya, “Huh, untung saja aku mengingat dimana menaruh flasdisk Pak Harianto, jika tidak? Mati dua kalilah aku” gumamnya pada diri sendiri. Dara duduk, ia mengeluarkan perlengkapan makeup dari dalam tasnya, seperti kebiasaannya selalu merias wajahnya setelah sampai di kantor.                 “Cie Bu Dara puber nih ye~~” suara milik Priska terdengar jelas di telinga Dara. Dara menghentikan aktifitasnya, ia melirik sambil menaikan alisnya. “Maksud kamu?” tanyanya tak mengerti dengan maksud ucapan Priska barusan. “Ibu diem-diem ada main sama Pak Hein kan?” ucap Priska mengedipkan sebelah matanya. “Beritanya sudah tersebar loh” tambahnya lagi. “Padahal kalo di kantor, sikap Ibu sama Pak Hein dingin banget” Astaga! Bagaimana bisa Priska mengatakan hal demikian? Apa mungkin ada seseorang yang melihat dirinya tengah bersama Hein? “Jangan dengarkan apa kata orang, ingat bergosip itu dilarang disini!” ucap Dara segera bangkit, meninggalkan meja kerjanya. ***                 “Serius kamu gak ada apa-apa sama Hein? Beberapa karyawan sekarang ngomongin kamu tau gak? Mereka bilang kamu diam-diam menyukai seorang berondong” ucap Tasya pada Dara saat mereka berada di dalam ruang pantry.                 Dara menghela napasnya, ia muak jika harus dikatakan seperti itu. “Lalu mereka bilang jika aku dan Hein seperti tante yang mengasuh keponakannya? Gila apa? Apa wajahku setua itu?” gerutu Dara kesal. Tasya mengangguk, seolah membenarkan kata-kata yang barusan dilontarkan Dara. “Sial, kamu iyain lagi!” dengusnya keluar dari ruang pantry.                 Perasaan Dara semalam yang ingin sekali cepat bertemu dengan Hein musnah sudah, kini tergantikan dengan kekesalan Dara akan gosip yang cepat sekali beredar di kantor. “Sumpah ya gak habis pikir, ini kantor apa followersnya Lambe Turah ... giliran yang beginian cepet banget nyebarnya” gerutu Dara sambil terus berjalan menuju meja kerjanya, namun secara tidak sengaja ia menabrak sosok yang kini berada dihadapannya. “Maaf” ucap Dara.                 Terlihat Hein yang mengunakan kemeja berwarna merah maroon kini tengah menatapnya, “Saya mencari kamu” ujar Hein tersenyum, namun apa balasan Dara? Ia malah berjalan melewati Hein tanpa mengatakan sepatah katapun. “Ada apa dengan dia? Semalam ia begitu mengasikan?” ucap Hein sambil terus memandang punggung Dara yang semakin terlihat jauh.                 Dara menyandarkan punggungnya pada kursi, ah ... ia lelah mendengar topik pembahasaan mengenai dirinya yang seolah menjadi tante pecinta berondong. Dara mengeluarkan cermin dari dalam tasnya, menatap wajahnya lekat. ‘Apa wajahku sudah berkerut?’ batinnya sambil terus menatap lekat wajahnya sendiri. ‘Ah, ini pasti pengaruh makeup!’ jawabnya sendiri.                 “Bu Dara, Pak Harianto meminta Ibu ke ruangannya” ujar Julio menghampiri meja kerja Dara. Dara mengangguk, ia segera membawa flasdisk yang merupakan akar dari masalahnya. “Dengan keponakan ibu juga” tambah Julio terkekeh.                 Dara memicingkan matanya mendengar ucapan Julio barusan, rasanya ia ingin sekali memakan Julio hidup-hidup.                 “Maaf Bu, maksudnya Pak Hein” ralat Julio ketakutan.                 Dara berjalan meninggalkan Julio. “Silahkan kamu beritahukan sendiri, saya ke ruangan Pak Harianto duluan” jawab Dara ketus, ia kesal terlihat sangat kesal. Lebih kesal dari gagal mendownload drama Korea ketika sudah 98%. ***                 “Apa saya melakukan kesalahan?” tanya Hein secara tiba-tiba menghampiri Dara yang tengah menunggu angkot di halte. Tanpa menjawab pertanyaan Hein, Dara seolah tak perduli dengan sosok pria disampingnya ini. “Dara, saya bertanya padamu!” kini nada Hein sedikit meninggi.                 “Tolong pergilah, saya tidak mau ada yang melihat kita tengah berdua. Saya malu jika dikatakan jika saya ini adalah tante kamu” jawab Dara to the point, mengeluarkan kekesalan dirinya. “Berhenti mengekori saya, jangan membuat orang lain menilai saya ini seorang pecinta berondong!”                 Hein membelalakan matanya, ia sungguh tidak menduga dengan kata-kata yang diucapkan Dara barusan. “Astaga! Bagaimana bisa kamu berpikiran seperti itu? Ini hidup kamu! Tak ada urusanya dengan mereka semua”                 “Tapi ucapan mereka itu seolah menyadarkan saya jika kamu itu adalah junior saya, tolong panggil saya Ibu!” perintah Dara dengan penuh penekanan. “Selain saya senior kamu di kantor, umur saya sudah dua puluh sembilan tahun dan sepantasnya kamu lebih sopan!” ucap Dara tepat saat angkot berwarna hijau berhenti dan Dara segera masuk ke dalamnya.                 “Dara, umur saya tiga puluh tahun!! Saya lebih tua dari kamu!!” teriak Hein kesal, namun sepertinya Dara tidak mendengar ucapan Hein barusan.                 Hein menghentakan kakinya, ia kesal. Kenapa manusia senang sekali mencampuri urusan orang lain? Kenapa manusia selalu mencibir tanpa tau yang sebenarnya? Sedikit lagi, Dara membuka pintu hatinya untuk Hein. Namun hanya gara-gara ucapan orang-orang, semua jalan untuk mendekati Dara seolah tertutup baginya.                 “Aku menyukainya dari awal bertemu!” gumam Hein, duduk di bangku halte dengan lemas. Hein berpikir keras saat ini, apa yang harus ia ubah? Mempunyai wajah baby face yang seolah menyembunyikan umur dirinya yang sebenarnya ternyata ada sisi negatifnya juga.                 “Aku akan mengubah tatanan rambutku juga pakaianku, arh!! Apa harus aku umumkan jika usiaku ini sudah tiga puluh tahun? Ini sangat berlebihan!” gerutunya kesal.                 Disisi lain Dara yang kini sudah tiba di dalam rumahnya, tergolek lemas diatas sofa bed hitam yang berada di ruang tengah. Matanya menatap sekeliling ruangan, sendiri dan terluka, meskipun ia sudah terbiasa seperti ini.                 “Apa salahnya jika aku memang menyukai Hein? Apa ada undang-undang mengenai perbedaan usia? Halahh ... sebaiknya aku lupakan saja masalah ini, memikirnya hanya akan menambah kerutan di wajahku!” ucapnya lalu bangkit dari sofa menuju ke dalam kamar. ***                 Sambil membuat mie instan di dapur, Dara tengah berkomunikasi dengan kedua orangtuanya melalui sambungan telpon.                 “Kamu sudah makan?” suara sang Mama selalu menenangkan hati Dara.                 “Ini Dara lagi masak kok, Mama gak usah khawatir ... Dara jago membuat Ayam Penyet, Balado hingga Soto” jawab Dara.                 “Wah hebat sekali putri Papa, nanti pas kamu pulang bisa masakin ya” kini suara sang Papa yang terdengar begitu berat.                 “Iya Pa, semuanya dalam bentuk mie instan hahhaa ...” kekeh Dara membuat suara teriakan Alvin dari jauh. “Papa suaranya berat gitu, ingat jangan ngerokok terus” pesan Dara.                 “Kakak, Alvin bagi duit!” teriakan Alvin terdengar begitu nyaring karena sambungan telpon yang sengaja di loudspeaker.                 “Duit mulu, belajar yang bener! Jagain Mama sama Papa” balas Dara. “Syukurlah Mama sama Papa sehat, kalo begitu Dara makan dulu ya” ucap Dara. Merekapun saling memberikan kecupan dan menutup sambungan telpon.                 Dara menaruh ponselnya dan tanpa sengaja mengklik chat dengan Hein kemarin, ia mengerutkan kening melihat foto profile yang terpampang. “Ini Hein? Ada apa dengan rambutnya?” gumam Dara heran melihat foto Hein. “Dia terlihat sedikit tua dengan tatanan rambut seperti ini” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN