Adorable 7

1093 Kata
                             “Dara sayang!!” teriak Tasya histeris, ia bergegas menghempiri meja kerja Dara. Wajah Tasya terlihat begitu mencemaskan temannya ini. “Kamu baik-baik saja? Memang Julio itu otaknya kurang satu strip, bisa-bisanya dia tidak datang ke acara pernikahan si Buaya” oceh Tasya tanpa ada jeda sama sekali.                 Dara yang tengah memakai eye shadow berhenti sejenak lalu melirik Tasya, “Aku baik-baik saja, kenapa kamu terlalu ekspresif?” Dara balik bertanya.                 Tasya menatap Dara lekat dari ujung kepala hingga ujung kaki temannya ini, dress berwarna pastel ditambah sepatu berhak runcing tujuh centimenter berwarna merah melekat pada tubuhnya. Ia terlihat cantik dan baik-baik saja meskipun riasan wajahnya belum sepenuhnya sempurna. “Kamu baik-baik saja! Oh Tuhan, hampir saja aku akan mematahkan kaki dan tangan Julio” ujar Tasya mehela napas, ia menarik kursi putar yang letaknya disamping meja kerja Dara.                 “Hemm ... apalagi yang mau kamu tahu?” ucap Dara sambil melanjutkan merias wajahnya seolah mengetahui isi pikiran Tasya.                 Tasya terkekeh, lalu mencolek dagu Dara pelan. “Ayolah ... aku ingin tahu apa yang terjadi di sana” rayu Tasya.                 “Saya tahu semuanya” suara milik Hein seolah memecahkan suasana. Tasya terperangah, Dara yang tengah mengenakan lipstik ikut-ikutan kaget hingga membuat lipstiknya berantakan. “Ups, saya salah bicara sepertinya” ujar Hein terkekeh, lalu segera menempati meja kerjanya.                 Tasya melirik Dara penuh kecurigaan, “Apa yang aku lewatkan Dara Maisy?” tanyanya dengan memicingkan mata.                 Kini Dara merasa terpojok dan tidak tahu harus menjawab dari mana. “Sebenernya itu—“                 “Ah sudahlah, sepertinya aku harus lebih mempercayai kata-kata Pak Hein” ujar Tasya menggerakan kursi putarnya kearah meja Hein. Kini Dara harus pasrah jika akhirnya Hein membongkar kejadian sebenarnya pada Tasya. ***                 Dara mengangkat telpon yang berada di meja kerjanya, “Sekarang meeting Bu Dara, tolong semua bagian administrasi berkumpul karena Pak Harianto sudah menunggu” ucap Rara memberitahukan Dara.                 “Bagaimana bisa dadakan seperti ini?” tanya Dara, “Ah, baiklah ... siapa yang bisa menolak permintaan beliau” jawab Dara, kemudian memutuskan sambungan telponnya.                 Dara bangkit, kemudian mulai memberitahukan pada para staff administrasi untuk segera menuju ruang meeting, ia lalu merapikan file-file yang akan dibawanya. Sambil kesulitan membawa setumpuk dokumen beserta laptop menuju ruang meeting.                 “Meminta bantuan itu tidak ada salahnya Bu Dara” ucap Hein merebut tas laptop dari tangan Dara.                 “Pak Hein!” gerutu Dara. “Ngagetin banget!”                 Tanpa mendengar gerutuan Dara, Hein berjalan mendahuluinya namun siapa sangka kini terlihat segurat senyuman dari bibir Dara.                 “Hayoo ... kenapa Sis? Senyum-senyum” goda Tasya yang ternyata berada di belakang Dara, “Mengemaskankan ya?” tambahnya lagi sambil menyenggol bahu Dara. “Ayo buruan ... nanti papi Bos ngambek” tambah Tasya membuat rona merah pada wajah Dara kali ini.                 “Haiss ... dia benar-benar menggemaskan” gumam Dara pelan, lalu masuk ke dalam ruang meeting yang sudah dipenuhi beberapa karyawan dari berbagai divisi. Termasuk Pak Harianto selaku General Manager disini yang sudah duduk manis sambil memelitir kumis tebalnya seperti kebiasaannya.                 Meeting kali ini diawali dengan pembahasaan penjualan, omset dan halangan dalam pendistribusian barang. Semua karyawan terlihat begitu fokus menatap layar besar dihadapannya. Namun tiba-tiba, Dara ingat akan sesuatu yang sangat penting.                 “Ya Tuhan, bagaimana aku bisa melupakannya” batin Dara, ia mulai berkeringat dan memutar-mutar bolpoint yang tengah dipegangnya.                 “Jadi inti dari meeting hari ini adalah, perusahaan kita akan mengeluarkan produk baru. Yaitu sebuah minuman coklat yang siap minum, kalian pasti penasaran akan bagaimana bentuknya? Dara, coba berikan flasdisk itu pada saya” pinta Pak Harianto pada Dara.                 Dara menelan air liurnya yang kini terasa begitu berat, kini semua mata tertuju padanya. “Maaf Pak, flasdisknya tertinggal di rumah saya” jawab Dara ketakutan, ia tahu betul bagaimana sifat Pak Harianto atasannya.                 “Apa? Kamu dengan santainya menjawab tertinggal? Saya memberikan flasdisk itu pada kamu, agar kamu bisa melihat isinya dan kamu pelajari untuk bahan meeting kali ini!” bentak Pak Harianto kesal. “Dara! Bagaimana bisa kamu bekerja disini jika kamu ceroboh!” tambah Pak Harianto, pelan namun menusuk hati Dara.                 Tiba-tiba Hein yang duduk tak jauh dari posisi Dara bangkit, ia menundukan tubuhnya “Mohon maaf Pak, ini bukan sepenuhnya salah Ibu Dara. Saya lupa untuk mengembalikan flasdisk yang dua hari lalu saya pinjam. Sekali lagi saya minta maaf” ucap Hein tiba-tiba, sontak membuat Dara menganga.                 “Kalian berdua ini ceroboh! Kita tunda pembahasan produk baru, kalian berdua melakukan kesalahan secara kompak. Saya tidak mau terulang minggu depan, paham?”                 “Baik Pak” jawab Dara dan Hein bersamaan.                 “Kompak sekali, kenapa tidak kalian mencoba menjalin hubungan?” ceplos Pak Harianto secara tiba-tiba, sontak membuat keduanya merasakan hawa panas pada pipinya. ***                 “Bagaimana bisa kamu bilang jika itu kesalahan kamu?” tanya Dara pada Hein disaat berada di kantin. “Padahal isinya saja kamu tidak tahu!”                 Hein terkekeh, ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Nah itu dia, jika saja Pak Harianto bertanya isi dari flasdisk itu mungkin saya akan mati berdiri karena ketahuan berbohong” jawabnya, lalu membawakan piring yang tengah dipegang Dara. “Kamu kesulitan dengan membawa minuman juga ditangan kirimu” tambah Hein, Dara semakin tak mampu berkata-kata lagi menghadapi tingkah Hein, ini begitu manis untuknya.                 Hein menghentikan langkah kakinya, ia melirik Dara lalu menggerakan kepalanya pelan seolah berkata ‘Ayo ikuti aku!’. Perlahan Dara mengekori Hein yang memilih meja lalu duduk saling berhadapan.                 “Terima kasih banyak” ucap Dara disela-sela makan siangnya.                 Hein menelan makanan yang sudah dikunyahnya, “Terlambat untuk mengucapkannya, tapi karena kamu yang bicara jadi akan saya jawab, sama-sama Dara” jawab Hein tersenyum begitu manis, Oh tidak! Saat ini jantung Dara seolah mengalami serangan listrik ketika Hein tersenyum untuknya, catat! Hanya untuknya.                 “Tak perlu gengsi untuk meminta bantuan Dara” tambahnya lagi.                 Dara menyendokan sesendok nasi penuh pada mulutnya, “Ini masih area kantor, kamu junior saya” ujar Dara memutar bola matanya. “Jangan terus tersenyum, atau—“                 “Atau apa?” potong Hein.                 “Atau aku akan jatuh cinta!” batin Dara. “Atau aku akan membekam mulutmu dengan cumi ini!” ancam Dara mengacungkan cumi besar kearah Hein lalu ia lahap bulat-bulat. *** Bersambung . . . . . . . . . . ..  . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. .  . .. . . .  .. . .  .. . . . . . . . . . . . ..  . . . .. . .. . . 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN