Kadang, ketidak jujuran kecil bisa naik level menjadi kebohongan versi besar. Sayangnya beberapa orang cenderung abai terhadap hal ini.
.
.
.
.
"Pak Indra? Maaf," ucap seorang wanita berusaha memanggil atasannya.
Indra juga mengutuk dirinya sendiri yang malah melamun. Entah, dia merasa ada yang mengganggu pikirannya. Perasaannya juga sangat tak karuan, pikiran pria itu terus memikirkan Dita. Dalam hati ia berharap semoga kekasihnya itu baik-baik saja.
"Ah, iya? Maaf ... nanti kita bahas lagi," jawab Indra.
Wanita itu mengangguk tanda mengerti.
"Baik, Pak. Saya permisi," ucap wanita itu sambil bergegas pergi meninggalkan ruangan Indra.
Indra melirik jam tangan, rupanya hampir jam setengah dua belas. Langsung saja ia mencari ponsel untuk menghubungi Dita. Indra ingin memastikan secara langsung kalau Dita baik-baik saja.
"Halo, iya, Ndra?" jawab Dita di ujung telepon sana.
"Lagi apa, Sayang?"
"Lagi kerja, masih setengah jam lagi buat istirahat. Kamu lagi apa, Ndra?"
"Aku mikirin kamu terus nih, serius. Kamu nggak apa-apa kan, Sayang?"
"Aku nggak apa-apa, kok. Ada apa, sih?"
"Hmm nggak tahu kepikiran aja, gimana makanannya udah di makan? Enak, kan?"
Ya Tuhan, Dita ternyata melupakan sesuatu. Setelah keluar daru ruangan Pak Ardi tadi pagi, ia malah langsung menyerbu berkas perkerjaannya sampai lupa sarapan. Dita langsung menatap ke samping monitornya, paperbag itu masih berdiri rapi dan utuh. Dita kesal pada dirinya sendiri yang malah tak memperhatikan itu di mejanya.
"Andita sayang?"
"Hm, enak kok. Enak banget. Makasih ya, Sayang," jawab Dita meski ada nada gugup, Dita tak mau mengecewakan Indra sehingga dia terpaksa bohong.
"Ya udah, aku kerja lagi ya. Ini belum istirahat," lanjut Dita.
"Oke, semangat ya, Sayang. Love you…."
"Love you too, Ndra."
Kemudian Indra menutup sambungan telepon itu. Indra tahu, baru saja Dita terdengar gugup. Namun, ia tak mau menuduh berbohong meski nada bicara Dita sangat kentara kalau ada yang aneh dan tak beres. Bahkan ini hanya hal kecil, tak mungkin Indra memperbesar hal sepele. Akhirnya ia fokus lagi pada pekerjaannya.
***
Dita menutup telepon dengan keraguan yang lumayan sanggup mengganggu konsentrasinya. Dia menyesal telah sedikit berbohong pada Indra padahal Dita sangat yakin jika tadi jujur sudah pasti Indra tak akan marah. Tapi apa yang Dita lakukan? Malah berbohong, meski sedikit tetap saja namanya tidak jujur. Kadang, kebohongan besar berawal dari kebohongan yang kecil.
Akhirnya Dita berusaha melupakan dan kembali fokus pada pekerjaannya, lagi pula sebentar lagi jam istirahat akan tiba. Dita harus memakan makanan dari Indra tadi, jangan menambah rasa bersalah berkali lipat dengan tidak menghargai pemberian pria sebaik Indra.
Beberapa saat kemudian jam istirahat tiba, para karyawan yang satu ruangan dengannya sudah bergegas meninggalkan ruangan itu. Kecuali Dita, dia lebih memilih di dalam saja terlebih membawa bekal. Saka juga sepertinya bergerak-gerik hendak meninggalkan ruangan. Tentu saja Dita senang, ia akan merasa tak nyaman jika ada orang yang memperhatikannya saat sedang makan. Ini mungkin terdengar percaya diri tapi setidaknya itu yang Dita rasa.
"Enggak ke kantin?" tanya Saka yang sudah berdiri, bahkan pria itu sudah ada di depan meja Dita.
Dita yang bersiap membuka kotak nasi itu mengurungkan niatnya.
"Dita?"
"Eh?" jawab Dita, wanita itu bahkan menutup kembali kotak nasi yang dia pegang.
"Ke kantin, yuk!" ajak Saka. Dari caranya mengajak sudah sangat kentara kalau pria itu adalah tipe orang yang mudah akrab.
"Next time aja, aku bawa bekal," jawab Dita ramah.
"Bekalnya bawa aja nggak apa-apa, gimana?"
Dita tampak berpikir sejenak, mungkin tidak ada salahnya menolak ajakan Saka. Walau bagaimanapun mereka akan menjadi partner kerja. Tidak baik jika terjadi masalah. Dita hanya tidak ingin Saka tersinggung jika dia menolak ajakannya.
"Oke deh," jawab Dita akhirnya, dia memasukan kembali kotak nasi pada paperbag dan bergegas berdiri.
Saat ini mereka makan di kantin meski Dita hanya memakan makanan pemberian Indra.
"Rajin juga ya kamu. Masak pagi-pagi," ucap Saka mencairkan suasana.
Setelah mendengar ucapan Saka, Dita langsung menoleh ke arah pria itu. "Ini bukan aku yang masak."
"Terus, apa ibu kamu?"
"Aku tinggal sendiri."
"Apa kekasih kamu?"
"Ya, dia yang membuatkan untukku."
"Wah, romantis banget. Oh ya, kamu tinggal sendiri? Ke mana keluargamu?"
Dita masih bungkam, bukan karena berpikir, tapi karena dia masih makan. Akhirnya ia menyerbu minuman dan meminumnya.
"Maaf," ucap Saka. "Maaf juga udah terlalu banyak ingin tahu. Aku cuma pengen kenal sama kamu, Dit."
Dita kemudian meletakkan kembali minumannya di meja. "Keluargaku di kampung, aku di sini tinggal di rumah kontrakan."
Saka mengangguk tanda mengerti. "Begitu, ya. Hm, sekarang kan Jumat, kalo weekend kamu ke mana?"
"Tergantung mood, kalo nggak jalan-jalan sama Rani ya sama Indra. Kalau lagi nggak mood ya nggak ke mana-mana, istirahat di kontrakan."
"Indra itu pasti pacar. Kalau Rani, sih?"
"Dia sahabatku, kerja di sini juga cuma beda divisi. Kamu sendiri tinggal di mana?"
"Aku tinggal di apartemen, cuma lima belas menit dari kantor ini."
"Kalau besok nggak ada acara, jalan sama aku aja. Tapi ini nggak maksa loh. Barangkali kamu sibuk atau mau istirahat. Aku cuma pengen lebih akrab aja sama orang yang bakal sering terlibat pekerjaan sama aku."
"Hm, gimana ya … nanti aku pikirin deh soalnya kalau Sabtu, Rani suka bikin acara dadakan dan itu harus, nggak boleh nolak."
"Kalau Minggu, sih? Eh, tapi pasti mau jalan sama pacar, ya?"
"Iya, maaf aku udah ada janji sama Indra. Lain kali aja ya," jawab Dita dengan nada yang merasa bersalah.
"Santai aja kali, ya udah aku minta kamu sebutin nomor ponsel aja deh, biar gampang hubunginnya." Saka sudah siap dengan ponsel di tangannya menunggu Dita menyebutkan sederetan angka.
Beberapa saat kemudian, Saka sudah berhasil menyimpan nomor ponsel wanita itu.
"Kamu pulang naik motor sendiri? Tadi pagi kita ketemu di parkiran, kan?"
Dita mengangguk. "Aku selalu pulang dan berangkat nyetir sendiri, tapi nyetir sendiri bukan berarti sendirian, ada motor lain yang nemenin aku."
"Jadi pacar kamu nganter jemput dan kalian masing-masing motor, kenapa nggak bareng aja?"
"Kami, kan, beda kantor."
"Iya juga sih, ya udah kalau suatu saat pacar kamu nggak bisa nganter. Hubungi aku aja ya."
Dita terdiam, ia tak tahu harus mengatakan apa. Beberapa saat kemudian ponselnya berdering. Dita langsung menatap bingung layarnya karena menampilkan nomor tak dikenal.
"Itu nomorku. Save aja pake nama Saka. Atau Saka yang ganteng," ucap pria itu sambil terkekeh, rasanya mereka sudah sangat akrab padahal baru kenal hari ini.
Dita bahkan ikut tertawa. Mereka akhirnya tertawa bersama seakan melupakan batas masing-masing, mereka seperti dua orang sahabat yang sudah lama tak bertemu padahal kenyataannya mereka baru saling kenal. Dita sendiri merasa ada yang janggal dengan hal ini.