11. Perasaan Kecewa Yang Aneh

1441 Kata
Esok paginya saat sarapan bersama orang di rumahnya, Doni berkali-kali menimbang dalam otaknya untuk mengemukakakan pendapat tentang jam les Andin bisa dipercepat. Namun dia ragu untuk mengatakan itu karena dia masih merasa muak dengan hubungan di antara dia dan semua orang di rumah ini. Gengsi. Tapi jika tidak begitu, Andin akan selalu pulang terlambat yang artinya bisa saja ayah Andin akan terlalu lama menunggu putrinya itu di rumah. Doni mengangkat kepalanya, matanya melihat ke arah ayah, ibu tiri dan adik tirinya yang tengah menikmati sarapannya. Nasi goreng menjadi santapan kali ini dan tampak mereka semua menyukainya. Bibir Doni terbuka dan kembali tertutup seolah sudah akan mulai berbicara tapi tidak kunjung bersuara. Akhirnya hal itu menyita perhatian ayah Doni. “Ada apa?” tanya ayahnya setelah mengunyah habis nasi di mulutnya. Kepala Doni menoleh ke arah kanan di mana ayahnya duduk. Dia memeriksa apakah yang ditanyai itu dirinya atau bukan. “Ada apa, dari tadi kamu kaya mau ngomong sesuatu,” ujar ayah Doni yang beberapa kali melihat tingkah putranya ini ingin membicarakan sesuatu. Doni ingin berdecak tapi dia harus ingat soal sopan santun. Akhirnya dia hanya menghela napas dan membulatkan tekad untuk membicarakan soal Andin. “Soal guru les Sinta, apa nggak bisa jam lesnya nggak lebih dari jam 6 sore?” tanya Doni akhirnya, mengeluarkan isi kepalanya yang tertahan sejak tadi. Ayah Doni dan ibu tiri Doni langsung bertatapan begitu putra mereka itu menyelesaikan kalimatnya. Mencerna maksud Doni yang baru pertama kali mengemukakan sesuatu sejak tinggal di rumah ini lagi. “Kenapa? Apakah nak Andin menyampaikan keberatan sama kamu?” tanya Rina, ibu tiri Doni. “Tidak, tapi saat aku mengantarkan dia ke rumahnya kemarin. Aku melihat langsung keadaan ayah Andin yang sakit. Dia cuma berdua dengan ayahnya. Dan kalau dia terus pulang malam, sudah pasti ayahnya harus sendirian dan Andin juga pasti akan kelelahan,” jelas Doni langsung pada maksud yang ingin dia utarakan. “Ayah nak Andin sakit? Sakit apa?” tanya Rina disertai mimik muka terkejut. Ayah Doni juga sama, dia terkejut mendengar itu. sepasang orang tua ini langsung penasaran akan penjelasan Doni selanjutnya. Kepala Doni terangguk membenarkan. “Ayahnya sakit stroke. Andin memang dibantu tetangganya untuk menjaga ayahnya ketika dia sekolah sampai dia pulang, tapi jelas ketika pulang dia masih harus melakukan banyak hal untuk membantu ayahnya. Jadi kalau dia pulang malam terus... otomatis ayahnya harus menunggu lama untuk dibantu makan, mandi dan duduk,” kata Doni dengan perasaan sesak di dadanya karena mengingat bagaimana tubuh kecil dan kurus Andin menggendong tubuh pria dewasa. Kedua orang dewasa di ruang makan ini masih tercengang dengan cerita Doni. Mereka saling bertatapan seolah sedang berbicara. Lalu kemudian Rina mengangguk setelah dia dan suaminya bersepakat. “Baiklah, Nak. Mama hanya akan meminta Andin memberi les sampai pukul setengah 6 sore. Maaf sekali karena kami juga tidak tahu keadaan Andin yang seperti itu....” Dengan perasaan menyesal, Rina memberi keputusan. “Tapi jangan katakan apapun soal ini pada Andin. Dia pasti akan sangat merasa tidak enak,” ungkap Doni mengingat betapa susahnya meyakinkan teman sekolahnya itu soal menerima bantuan. “Oke, Mama akan ingat itu,” sahut Rina dengan senyum senang. Sedetik, di waktu yang sangat singkat itu, Doni sempat merasa kalau Rina—ibu tirinya ini—adalah orang yang baik. Tapi tidak, dia ingat tidak ada orang baik yang mau merusak rumah tangga seseorang lalu membuat dirinya menjadi korban dari semua ini. Setelah pembicaraan itu, Doni kembali memutuskan menjadi dia yang tidak ingin eksistensinya dianggap di rumah ini. Dia langsung diam dan ketika sarapannya habis, dia kemudian bangkit dari kursinya dan berpamitan tanpa niat ingin melakukan ritual seperti itu di depan orang-orang yang masih dia benci. Mungkin selamanya dia akan membenci mereka. Karena luka di hatinya juga pasti tidak akan bisa sembuh secepat salju mencair ketika musim semi datang. *** Sekolah tampak ramai karena guru kembali mengadakan rapat di jam menuju istirahat makan siang. Doni dan kawan-kawannya seperti biasanya ribut di meja belakang bermain game di ponsel. Posisi meja dan kursi sudah tidak teratur karena ruang kelas berubah bak pasar dadakan. Ada yang sednag bergosip sampai ada yang sedang tidur juga. “Anjir lo! Nggak gitu caranya mau matiin gue!” umpat seorang murid pada Doni yang baru saja mematikan karakternya di dalam game. “Dih baperan, kalah mah kalah aja!” balas Doni lalu tertawa puas. Tapi sedetik kemudian dia langsung melongo tidak percaya karena giliran karakternya yang dimatikan oleh teman sekelasnya yang lain. “b******n! Awas lo Aram!” maki Doni lalu mengejar Aram yang sudah lari terbirit-b***t ke luar kelas. Teman-teman Doni tertawa melihat kedua murid itu lagi-lagi membuat onar. Mereka ikut keluar juga untuk melihat sampai kapan kejar-kejaran itu berakhir. Meski Doni murid baru, dengan cepat dia bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolahnya dan sudah sering menjadi pusat perhatian karena tingkah lakunya yang bisa jadi sangat petakilan. Kini aksi kejar-kejaran Doni dan Aram terpantau sudah masuk kantin oleh Anjar dan Bagus, mereka tertawa keras ketika melihat Aram terpeleset dan jatuh sehingga akhirnya bisa ditangkap oleh Doni. Doni langsung tersenyum puas dan segera menduduki perut Aram. Jarinya sudah dia tiup-tiup untuk ancang-ancang memberikan sentilan di dahi teman sekelasnya ini. “Ampun, Don! Nggak lagi gue gitu, sumpah!” kata Aram meminta ampun karena tidak fair saat bermain game tadi. Dia berusaha menjauhkan kepalanya dari jangkauan Doni tapi karena posisinya sudah terpojok pun hanya bisa memegangi tangan Doni yang sudah siap menyentulnya. “Kagak ada, ini buat lo yang udah bikin Sakura kesayangan gue mati!” kata Doni yang masih kesal karena karakternya dengan mati dengan sangat tragis di dalam game. “Ebuset dah, nanti Sakura juga bisa idup lagi!” kata Aram masih terus menghindari sentilan tangan Doni. “iya idup lagi! Tapi dari rank kecil!” umpah Doni dengan kekesalan memuncak. Maka tanpa segan dia memberi sentilan di dahi Aram dan membuat temannya itu mengaduh kesakitan. Jika orang lain yang tidak tahu cara mereka berinteraksi memang begini, mungkin akan mengira Doni sedang membuli Aram. Padahal kemudian mereka langsung tertawa lalu dengan santainya bangun dan memesan makan siang pada warung soto di sana. Usai makan siang, Anjar dan Doni mencari Bagus yang katanya harus cabut duluan sebab dipanggil untuk rapat di eskul melukis yang dia ikuti. Mereka hendak ke sana untuk ikut nimbrung juga. Begitu sampai, Doni tentu bisa melihat Andin di ruang eskul lukis ini. Tampak rapat sudah selesai dan Bagus juga hanya sedang menorat-coret kanvas yang sudah tidak terpakai. Dia langsung mengangkat kedua tangannya ketika melihat Anjar dan Doni menghampirinya dan memberi tepukan kuat di kedua tangannya ini. “Rapatnya sebentar bener,” komentar Anjar setelah mendoro Bagus dari tempat duduknya dan dirinya kini yang duduk di depan canvas dan berlagak seperti Bob Ross, pelukis terkenal asal negeri Paman Sam itu. “Serah lah, ngapain juga lama-lama,” sahut Bagus dengan ketus karena dia didorong sampe jatuh. Doni hanya tertawa melihat tingkah kawannya yang suka sekali jail pada satu sama lain. Dia sendiri malam sedang terdistraksi oleh Andin yang kini dihampiri seorang murid laki-laki dan mereka tampak sedang melihat sesuatu dengan serius bersama. Dia tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi bisa dilihat beberapa kali Andin tertawa setelah berbicara serius dengan temannya itu. “Liat apa lo?” celetuk Bagus di samping kepala Doni yang reflek menggeplak kepala temannya itu karena terkejut. “Buset, ngapain lo ngomong sambil bisik-bisik gitu? Jijik anjir!” Doni misuh-misuh dan sibuk mengusap kuping kirinya. Bagus cekikikan meski baru saja ditempeleng oleh Doni. “Kalau suka bilang kali, jangan cuma ditatap dari jauh... sok melow banget!” katanya yang membuat Doni makin kesal. Mereka berdua akhirnya jadi ribut dengans aling menempeleng satu sama lain dan itu membuat Andin akhirnya menyadari keberadaan Doni. Dia tersenyum kecil melihat pertengkaran Doni dan teman-temannya yang jadi sering dia lihat akhir-akhir ini. Lalu bel tanda istirahat selesai berdering kencang, menyadarkan semua murid yang ada di sana kalau waktu bebas mereka telah usai. Dan harus kembali pada kenyataan untuk belajar demi masa depan yang lebih baik melalui pendidikan. “Udah woy, udah bel nih!” Anjar bangkit dan kedua tangannya langsung menarik kerah belakang Doni dan Bagus bermaksud melerai mereka. Doni sekali lagi menggeplak kepala Bagus sebelum benar-benar menyudahi pertikaian tidak jelas mereka. Dia melihat ke sekeliling dan ternyata Andin sudah tidak ada di ruangan yang sama dengannya ini. Ada sedikit perasaan aneh, seperti tidak enak... atau lebih tepatnya kecewa, yang tidak dia mengerti maksudnya dan kenapa bisa begitu. “Nyariin dia, Bro?” tanya Bagus lagi dengan jahil. Doni melirik sinis pada Bagus dan ingin meraih rambut temannya itu untuk dijambak tapi tidak terjangkau karena Bagus menghindar. “Bacot lo!” makinya. Anjar yang ada di antara kedua orang itu hanya bisa menghela napas.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN