Menerima Bantuan

2069 Kata
“We can't help everyone, but everyone can help someone.” -Unknown . “Nanti biar mewarnainya rapi, Sinta lebih baik pakai cara ini.” Di pertemuan les kali ini, Andin memberikan tips untuk mewarnai pada Sinta yang ditunjuk oleh gurunya ikut lomba mewarnai. Memang Sinta dalam mewarnai sudah rapi dan imajinasinya juga hanya perlu sedikit diasah, untuk bisa menyesuaikan tantangan lomba yang diberikan secara mendadak nantinya. Di ruang tengah dengan duduk lesehan di atas karpet, keduanya tampak asik sampai tidak memperhatikan waktu berjalan begitu cepat. Dan karena harus mengajari banyak hal, Andin masih harus tertahan di rumah ini sampai lebih dari jam makan malam. Dia pun jadi sedikit gusar karena khawatir akan keadaan ayahnya, untung saja tentangganya mau menjaga ayahnya sampai dia pulang nanti melalui telepon. Dalam les kali ini andin mengajarkan mengenal gambar sederhana. Mengenalkan warna melalui hewan dan tumbuhan di sekitar supaya anak-anak juga lebih peka sehingga akan lebih mudah belajar warna dari hewan-hewan sekitar yang sering mereka lihat, misalnya, kucing, ayam, burung, sapi dan hewan sekitar yang sering ditemui. Dan ternyata sinta hapal banyak nama warna yang bahkan andin kurang tahu. Itu karena dia pernah membeli buku pantone warna karena tertarik melihat saat di toko buku. “Sinta nanti warnain pakai crayonnya hati-hati ya... karena kalau tangannyaa terlalu di tempel ke kertas, nanti warna crayon akan nempel di tangan Sinta, dan bisa bikin kertasnya kotor,” kata Andin seraya mempraktekan apa yang dia jelaskan. Karena nanti peserta lomba diharuskan menggunakan crayon, andin pun membiasakan sinta untuk memakai alat warna ini. Mulai dari cara memegang crayon dengan benar karena ada tekniknya agar hasilnya baik dan anak-anak tidak terburu-buru ketika mewarnai. Hal yang biasanya ditemui karena ingin cepat selesai mewarnai. Karena lomba pasti harus menonjolkan sesuatu, andin memberikan teknik pada sinta untuk mencampur warna. Namun sepertinya sinta mulai lelah karena diajarkan beberapa teknik sekaligus dalam satu pertemuan, hingga dia mendadak cemberut. Andin yang melihatnya pun segera menghibur dan memutuskan untuk menghentikan sesi belajar mereka. “Sinta capek ya?” tanya Andin seraya mengusap rambut Sinta. “Iya, kak...,” jawab Sinta dengan wajah yang sudah sayu. Andin terkekeh melihatnya, sebab saat awal tadi mengajar, semangat Sinta sangat menggebu-gebu. Kini malah seperti sayuran yang sudah layu. Mungkin dirinya harus mengajarkan soal berimajinasi ketika mendapat tantangan mendadak oleh juri lomba pada pertemuan berikutnya. Lagi pula ini sudah pukul 8 malam yang akhirnya membuat dirinya harus kembali diantar pulang oleh Doni. “Ya udah... kalau gitu kita selesai belajarnya untuk hari ini. Nanti latihan gambarnya bisa di hari Jum’at lagi,” kata Andin sambil melihat Sinta yang mulai membereskan peralatan belajarnya sendiri. Hal yang sangat disukai oleh Andin akan Sinta, bocah kecil ini memang kelihatan manja. Tapi untuk seusianya, membereskan hal yang dia gunakan adalah hal wajib. Andin bahkan tidak boleh membantunya. Bisa ditebak bagaimana hebatnya orang tua Sinta mendidiknya dalam hal disiplin. “Aku bisa pulang sendiri, kok. Biasanya juga begitu... lagi pula ini belum terlalu malam,” kata Andin saat mereka sedang berjalan menuju garasi rumah bersama Doni. Doni menghentikan langkahnya karena mendengar penolakan Andin. “Kalau lo pulang sendiri, yang ada nanti dia—“ Doni berhenti berbicara ketika dirinya hampir menyebut ibu tirinya dengan panggilan ‘dia’ di hadapan Andin. Dia pun menghela napas karena lidahnya kelu sekali untuk menyebut Rina dengan sebutan ‘Mama’. “Maksud gue, nanti Mama bakal khawatir lo malem-malem pulang sendiri. Dan gue juga udah siap-siap untuk anter lo, tapi masa lo mau nolak?” ujar Doni. Dia juga menanyakan karena dirinya sampai sudah bersiap mengantar Andin, tapi orangnya justru bersi keras ingin pulang sendiri. Seketika Andin merasa bersalah, dia pun menundukan kepalanya. “Maaf... bukan begitu maksud aku,” katanya. “Aku cuma nggak enak kalau harus diantar sama kamu lagi, kamu juga tadi nebengin aku sampai ke sini. Ini yang kedua kalinya kamu anter aku pulang, lagi pula sebelumnya aku pulang naik ojek pun nggak masalah. Aku sampe rumah dengan selamat,” tutur Andin meluruskan. Namun sekali lagi itu malah membuat Doni merasa kesal dengan Andin yang menurutnya tinggal menerima saja, dia pun tidak kerepotan untuk mengantar pulang Andin. Doni juga akan khawatir kalau membiarkan Andin pulang sendiri. Lagi pula dirinya akan mampir membeli jajanan malam, jadi sama sekali tidak ada unsur keberatan. Kunci mobil yang ada di tangan Doni dia mainkan, dia masih kesal akan rasa tidak enak Andin yang sepertinya malah membuat orang yang ingin membantu malah ikut merasakan juga. “Andin, gue tahu lo nggak enakan. Takut ngerepotin seperti yang lo bilang tadi, tapi ketika yang dibantu nggak ngerasa kerepotan, lo bisa menerima tawaran itu... dari pada orang yang nawarin lo ngerasa nggak enak juga,” ujar Doni memberi saran pada Andin yang membuat teman satu sekolahnya ini terdiam. Doni menghela napas ketika sadar kata-katanya sedikit keras. Tapi dia perlu memberi tahukan soal ini pada Andin. “Gue nggak lagi ngajarin lo atau marahin elo, enggak gitu. Gue cuma mau ngingetin kalau siapa pun itu berhak nerima bantuan meski itu sesederhana semacam cuma ngasih semangat,” sambung Doni. . /// Epiphany | Gorjesso /// . Suasana sangat hening di dalam mobil jenis matic berwarna biru tua yang dikendarai Doni saat membelah jalanan Jakarta. Dia dan seseorang di sebelahnya tidak berniat untuk membuat percakapan, sehingga setidaknya memberikan keramaian di mobil ini. Tapi sejak akhirnya Andin mau diantar oleh Doni, gadis ini menjadi pendiam dan sibuk memainkan tangannya di dalam mobil. Sesekali Doni melirik Andin yang kini tengah melihat ke arah luar jendela mobil yang memperlihatkan pemandangan malam kota Jakarta yang makin ramai di malam hari. Karena di beberapa ruas jalan macet, alhasil mereka masih belum juga sampai di tempat tujuan. “Lah, tidur dia,” gumam Doni. 10 menit dia menunggu mobil di depannya jalan, saat menoleh pada bangku di sebelahnya, Doni justru melihat Andin sudah memejamkan mata. Cewek ini sudah tertidur pulas dengan napasnya yang teratur. Doni dibuat mendengus menahan tawa kala menyaksikan kepala Andin yang beberapa kali terkantuk jendela mobil. Saat mobil yang dia kemudikan melintasi penjual martabak, Doni langsung saja menepikan mobilnya untuk membeli jajanan malam ini. Tadinya dia ingin membeli pizza saja saat pulang, tapi karena melihat martabak yang sedang terkenal ini masih buka dan tampak sepi, Doni rasa sebaiknya membeli ini. Dia keluar dan meninggalkan Andin di mobil yang kacanya terbuka sedikit untuk ruang udara masuk. Doni kembali masuk ke mobil dan masih melihat Andin yang tertidur. Padahal tadi dia cukup lama menunggu martabaknya karena membeli 3 sekaligus. Sebuah jaket wanita yang dia temukan di jok belakang, Doni gelar untuk menyelimuti Andin yang tampak kedinginan, setelahnya dia baru melajukan mobilnya kembali. “Kayaknya kecapean banget sampai nggak kebangun sama sekali,” kata Doni seraya menatap wajah Andin. Kurang lebih 20 menit kemudian mereka sampai di depan rumah Andin yang secara tidak sadar sudah Doni hapal jalan dan letaknya. Andin harus Doni bangunkan karena masih juga belum terganggu meski mesin mobil berhenti lagi untuk kedua kalinya. “Orang tua lo di rumah?” tanya Doni ketika mereka berdua berada di depan rumah Andin. “Iya, ayah aku di rumah,” jawab Andin meski bingung dengan tujuan Doni menanyakan ini. “Kenapa ya?” tanyanya gantian. “Gue harus minta maaf karena bikin lo pulang telat. Dan setidaknya harus pamitan sama beliau,” jawab Doni. Lalu suasana mendadak menjadi canggung, sebab wajah Andin yang tiba-tiba langsung berubah sendu. Doni pun akhirnya berpikir ada sesuatu yang salah dengan perkataannya. “Gue salah ngomong ya?” tanya Doni merasa bersalah. Tapi untungnya Andin menggelengkan kepalanya. “Eh... Engga kok.” Andin menggaruk belakang kepalanya karena bingung bagaimana mengatakannya pada Doni soal keadaan orang tuanya. “Kalau gitu kamu bisa masuk ke rumah dan pamitan sama ayah aku,” kata Andin setelah berpikir sejenak. Doni mengiyakan itu dan masuk ke rumah Andin dengan tangannya yang menenteng kantung kresek warna putih. Begitu melewati pintu rumah Andin, Doni bisa mendengar suara televisi yang dinyalakan dan kemudian dia melihat seorang wanita paruh baya sedang menyaksikan siaran televisi berupa konpetisi dangdut. Doni pikir itu ibu dari Andin, tapi ternyata bukan. Andin memperkenalkan wanita paruh baya itu sebagai tetangganya yang membantu Andin menjaga ayahnya. Dan setelahnya wanita itu juga berpamitan pulang, namun sebelumnya memberitahu Andin agar tidak terlalu lama mengizinkan seorang pria masuk ke dalam rumah malam-malam begini. Tanpa sadar Doni tertohok karena itu, dia jadi ingin lenyap saat itu juga. “Maaf... soalnya tetangga aku itu memang protektif sekali sama aku, dan aturan di daerah ini memang sedikit ketat kalau ada tamu laki-laki ke rumah perempuan lebih dari jam 9 malam,” jelas Andin pada Doni yang akhirnya paham kalau posisinya salah saat ini. Karena sekarang memang sudah hampir jam 10 malam. “Nggak papa, gue ngerti kok,” kata Doni yang kemudian mencari-cari tanda keberadaan ayah Andin. “Kalau gitu gue bisa langsung pamitan ke ayah lo?” tanyanya. Andin menganggukkan kepalanya dan meminta Doni untuk mengikutinya. “Boleh, kamu bisa temui ayah di kamarnya,” ujarnya. Ada kebingungan di kepala Doni kala Andin mengajaknya masuk ke kamar ayahnya. Tapi kemudian dia mengerti kenapa dan hanya bisa merasa tidak enak telah memaksa Andin menemui ayahnya untuk berpamitan. Sebab dia baru saja melihat keadaan sebenarnya kenapa dia harus menemui ayah Andin sampai masuk ke dalam ruang pribadinya. “Ayah, ini Doni. Teman sekolahnya Andin dan juga kakaknya murid les Andin. Doni anterin Doni karena tadi mengajar les adiknya sampai malam,” kata Andin memperkenalkan Doni pada ayahnya yang terbaring di ranjangnya. Doni pun mendekat ke arah ranjang dan menundukkan kepalanya memberi salam. “Saya Doni, Pak. Teman sekolah Andin,” ucap Doni, memperkenalkan dirinya sendiri. Lalu sebagai balasan, ayah Andin memberikan senyum di bibirnya yang tidak sempurna karena sakit struknya. Tangan kirinya yang tidak sakit terulur untuk menjangkau Doni, dan Doni yang tahu itu pun segera mendekat dan membalas uluran tangan ayah Andin. Beberapa kali ayah Andin menggumam seraya mengusap tangan Doni seolah sedang berterima kasih. Dan saat itu Doni sangat berusaha untuk mengatur emosinya agar tidak membuat air matanya keluar. Sentuhan tangan ayah Andin di tangannya, ternyata mampu menghadirkan rasa rindu akan ibunya yang tiba-tiba memenuhi rongga dadanya hingga membuatnya sesak. Usai perkenalan itu, ayah Andin kemudian meminta untuk naik ke kursi rodanya karena memang seharian ini dia hanya bisa terbaring di atas ranjang. hal yang selalu membuat Andin merasa amat sangat bersalah karena tidak bisa menemani ayahnya ketika siang hari, jadi ayahnya hanya bisa naik ke kursi roda ketika malam hari. Saat dirinya sudah ada di rumah. Doni menyaksikan semua itu dengan hatinya yang teriris. Air matanya tanpa sadar sudah terkumpul di kelopak matanya karena keadaan ayah Andin yang mengingatkannya akan ibu dan neneknya sendiri. Dia kemudian refleks membantu Andin mengangkat ayahnya untuk naik ke kursi roda setelah diberikan caranya oleh Andin. Saat itu Doni tahu seberat apa yang harus Andin angkat dengan tubuh kurusnya, untuk membuat ayahnya naik ke kursi roda. Dan dia yakin kalau semua ini dilakukan setiap hari. Hatinya makin teriris akan hal ini, sebab dia jadi tahu alasan kenapa Andin hidup seolah tidak ada waktu untuk beristirahat. Setelah itu, Doni berpamitan untuk pulang. Ayah Andin kembali berterima kasih padanya, begitu juga dengan Andin yang mengantarkannya untuk ke mobilnnya yang terparkir di pinggir jalan depan rumahnya. “Terima kasih, Doni. Kamu udah bantuin aku angkat ayah ke kursi roda dan juga memberikan martabak. Aku banyak merepotkan kamu hari ini,” ucap Andin dengan senyum di wajahnya. Merasa bersyukur karena bantuan Doni seharian ini. Doni menganggukkan kepalanya dan membalas senyum Andin. “Sama-sama, maaf juga kalau waktu lo harus tersita banyak karena mengajari Sinta. Nanti gue akan bilang ke orang tua gue biar lo bisa pulang lebih awal,” ujar Doni. Dia mengatakan ini karena tahu kalau ternyata Andin memiliki seseorang yang sangat membutuhkannya di rumahnya. “Eh... nggak usah!” Andin segera menolak. “Aku nggak papa kok sama itu. karena setidaknya aku bisa dapat tambahan kalau lebih lama ngajarnya,” jelasnya kemudian. Doni tanpa sadar menghela napas, dia merasa tidak setuju dengan apa yang Andin lakukan. Tapi dia tidak bisa mengatur itu, sebab ini hak Andin. “Oke, kalau gitu gue pamit.” Dan karena tidak bisa mengatakan bahwa Doni merasa kesal akan Andin yang tidak bisa membuat tubuhnya beristirahat karena bekerja sampai malam, dia malah berpamitan dengan suara sedikit ketus. Hal itu membuat Andin sedikit terkejut, tapi dia segera mengeyahkan dugaan di kepalanya tentang alasan Doni begitu padanya. Dan dia masih berdiri di posisinya sampai mobil Doni tidak terlihat di jarak pandangnya. . /// Epiphany | Gorjesso /// .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN