Aliran Listrik

1491 Kata
Sore ini ada pertandingan persahabatan antara sekolah Doni dan sekolah yang masih bertetangga dan jaraknya hanya tertaut 1km. Pertandingan ini gunanya untuk melatih kesiapan menuju turnamen yang sebenarnya dan semakin meningkatkan jiwa kompetitif. Karena salah satu teman Doni yang Bernama Anjar ikut dalam pertandingan ini, Doni dan Bagus pun menjadi supporter dadakan yang membuat lapangan indoor ramai sekali. Sebab mereka mengerahkan hampir semua teman sekelas agar mau menonton dan memberikan semangat pada teman mereka. “Go, Anjar! Go, Anjar!” teriak Doni bersama teman sekelasnya. Teman satu sekolah yang lain hanya bisa tertawa melihat betapa hebohnya mereka. Karena memang biasanya untuk turnamen seperti ini tidak banyak yang menonton dan lebih memilih pulang ke rumah atau karena ada kegiatan lain. Ketika pertandingan diberi waktu istirahat, Anjar menghampiri kedua temannya untuk meminta minum. “Gue mau minum,” ujarnya sambil mengadahkan tangan. Tapi Bagus bukannya memberikan apa yang temannya mau, malah mengusapkan keringat di dahinya pada tangan Anjar. “Noh minum keringet gue! Ngelunjak lu ya!” cibirnya. Anjar pun langsung mendesis jijik seraya mengusapkan tangannya pada bajunya. “Jijik, Gus!” makinya. Tawa Doni dan Bagus langsung pecah. Lagian mereka datang cuma dukung saja tanpa bawa makanan apapun. “Dasar teman lucknut!” umpat Anjar karena teman-temannya sama sekali tidak berisiatif memberinya dukungan makanan. “Brisik! Tanding aja yang bener!” timpal Doni seraya mendorong bahu Anjar. 5 menit kemudian pertandingan kembali di mulai, Anjar bermain bagus sebagai posisi pemain libero. Libero. Posisi Libero adalah pemian yang memiliki posisi fleksibel dalam permainan bola voli. Seorang libero berhak mengganti setiap pemain yang bertugas sebagai pemain bertahan. Seorang libero tidak boleh melakukan pukulan servis dan melakukan seranga. Doni yang sedang menikmati pertandingan mendadak harus menggeser posisi duduknya ketika seseorang duduk di sebelahnya. Ketika dia menoleh, ada seorang siswi perempuan yang baru-baru ini dia kenal, Asha. “Anjar temen lo juga,” cetus Asha sambil tetap melihat pertandingan voli. “Iya, temen gua,” jawab Doni. Asha menoleh pada Doni sambil tersenyum. “Lo nggak ada masalah mempelajari buku gue?” tanyanya. Doni yang sedang fokus melihat pertandingan, akhirnya harus terinterupsi oleh pertanyaan cewek di sebelahnya ini.  Dia menegakkan posisi duduknya lalu menoleh pada Asha. “Oh iya soal buku lo masih belum gue pelajar. Nanti gue fotocpy aja biar balikin ke elo tepat waktu,” jawab Doni. “Kalau lo masih lama, nggak papa di simpen aja,” kata Asha dengan senyum di wajahnya. “Nggak enak lah, bentar lagi bakal ada lomba. Lo juga butuuh buku itu,” tolak Doni. Tanpa disangka, Asha justru tertawa. “Gue udah pelajari terus materinya sampai halpal isinya. Tenang aja,” katanya . Namun entah ketika sampai ke telinga Doni justru terdengar tidak enak. Seperti terlalu menyombongkan diri? Tapi Doni segera menggelengkan kepalannya karena tidak boleh berpikiran demikian. Sebagai gantinya dia hanya menganggukkan kepalanya saja agar percakapan ini selesai. . /// Epiphany | Gorjesso /// . “Aish ini angkot,” gumam Doni lalu mendengus kesal karena saat mengendari motor malah angkot di depannya tiba-tiba berhenti. Untung saja dia bisa menarik rem dengan tepat waktu begitu pula dengan kendaraan di belakangnya. Selama 1 menit dia menunggui angkot berhenti karena ternyata ada yang akan turun dari angkot itu. Tapi kemudian dia melihat kalau seorang yang turun itu ternyata orang yang dia kenal. “Andin,” gumamnya. TIN TIN Lamunan Doni terpecah karena suara klakson kendaraan di sekitarnya yang menanti angkot untuk kembali laju. Dan begitu angkot melaju, dia melihat kalau Andin sempat menundukkan kepalanya seperti sedang meminta maaf karena menganggu pengguna jalan lain karena menghentikan angkot. Tanpa sadar Doni menyunggingkan senyumnya karena melihat itu. Doni tebak kalau Andin akan menuju ke rumahnya, mengajar les adiknya, Sinta. Tapi dia menjadi berpikir keras, sebab jarak rumahnnya dengan tempat Andin berhenti tadi masih cukup jauh. Setengah jam kalau ditempuh dengan jalan kaki. Mendadak dia jadi merasa kasihan, alhasil dia menghentikan laju motornya dan menunggui Andin di pinggir jalan. “Itung-itung bantu dia, jadi orang baik,” gumam Doni karena batinnya bertanya kenapa dia melakukan ini.   Helm fullface yang dia gunakan pun dilepas supaya Andin mengenalinya. Sambil duduk di jok motornya, Doni menungu Andin. Sesekali dia melirik ke arah spion untuk melihat apakah Andin sudah ada dalam jarak pandangnya. “Kok lama...,”gumamnya lagi, tapi dia tiba-tiba menjadi panik saat melihat Andin tertanya tadi tertutupi oleh mobil jadi tidak terlihat kalau sudah dekat posisinya. Doni memosisikan dirinya menghadap ke arah Andin yang tengah berjalan dengan wajah penuh keringat. “Doni? Kamu ngapain di sini?” tanya Andin yang terkejut melihat teman sekolahnya ini ada di pinggir jalan. “Hi, gue nunggu lo,” jawab Doni. Tapi karena jawabannya terdengar ambigu, Doni segera menambahkan. “Tadi gue liat lo turun dari angkot dan kayaknya mau ngajar Sinta les, kan?” tambahnya. Andin menganggukkan kepalanya. “Iya... tapi kenapa harus nunggu aku, ya?” tanya Andin lagi. Tangan Doni menggaruk tengkuknya karena bingung bagaimana cara mengajak Andin agar nebeng padanya saja. “Ada perlu sama aku?” tanya Andin karena Doni tidak kunjung menjawab. Doni segera menggelengkan kepalanya. “Bukan.. mm...jarak rumah gue dari jalan ini masih jauh, lo yakin mau jalan kaki?” tanyanya. “Iya, udah biasa kok aku jalan kaki,” jawab Andin dengan santai. Seolah memang sudah terbiasa, tidak dengan Doni yang terkejut. “Ouh... oke... tapi misal lo mau cepet, bisa nebeng gue,” kata Doni, yang akhirnya bisa mengajukan penawarannya. Jujur, Andin juga lelah karena baru saja bekerja di kantin menjadi tukang cuci dan ingin mengiyakan tawaran Doni. Tapi dia merasa tidak enak, dia tidak mau ada rumor apapun kalau dia terlihat bersama Doni nantinya. “Terima kasih tawarannya... tapi aku jalan aja, Don,” ujar Andin dengan perasaan tidak enak. “Eh, kenapa?” tanya Doni spontan. Ada rasa tidak terima ditolak begini oleh Andin. Padahal dia yakin alasan menebengnya sudah sangat akurat. “Mmm... nggak enak kalau nanti dilihat sama orang tua kamu. Aku di sini kan sebagai guru les Sinta,” ujar Andin. Dia memang memperhatikan hal ini juga, meski mereka teman sekolah, jika sudah menjadi guru les Sinta, maka dia harus profesional meski dia pernah juga diantar oleh Doni waktu itu. Helaan naas terdengar dari Doni, dia tidak habis pikir dengan alasan yang Andin buat. “Oke kalau lo maunya gitu,” ujar Doni merasa kesal sehingga nada bicaranya menjadi ketus. Andin hanya bisa meringis merasa bersalah karena menolak tawaran dari Doni. Dan kini dia hanya bisa melihat Doni yang sudah melajukan motornya menjauh dari posisinya berdiri. Mungkin banyak orang mengira dia bodoh, beberapa siswa laki-laki mendekatinya dan menawari bantuan. Tapi Andin tahu kalau di balik bantuan itu kadang tidak hanya karena murni panggilan karena sama-sama manusia, tapi juga ada perasaan untuknya. Dan Andin belum bisa membalas perasaan seperti itu sekarang, ada banyak tanggung jawab terpikul di pundaknya. Dia tidak mau menambahi lagi dengan urusan lain yang akan membuatnya lengah. Kini Andin sudah berjalan lebih dari 50 meter dan tiba-tiba melihat Doni sudah menepikan motornya di hadapannya lagi. Tentu dia terkejut, sebab dia yakin Doni dengan motornya yang melaju cepat pasti sudah sampai ke rumahnya. “Naik,” kata Doni yang masih menggunakan helm dan tetap berada di atas motornya. “Terima kasih, Doni. Tapi aku jalan kaki aja,” tolak Andin sekali lagi. Doni menarik napas dan menghelannya pelan untuk mengusir rasa kesal di dadanya. “Gue cuma mau bantu lo supaya sampai ke rumah gue lebih cepet, bisa ngajar Sinta lebih awal dan pulang lebih awal juga nanti,” ujarnya. “Nanti gue turunin lo di deket rumah kalau lo nggak mau kelihatan bareng gue,” kata Doni, menambahkan alasannya tetap menawari tumpangan pada Andin. Andin yang sejak tadi bersikeras menolak pun jadi merasa ragu. Dia mendadak ingin mengiyakan tawaran Doni. Doni kini menjadi gregetan karena melihat Andin yang diam saja. “Gue itung sampe 10. Satu... dua....” Di hitungan ke angka 8 akhirnya Andin menganggukkan kepalannya. Dia mendekati Doni yang masih ada di motornya. “Jadi mau nebeng gue aja?” tanya Doni memastikan. Andin menganggukkan kepalanya lagi. “Iya....” Tangan Doni terlepas dari stang motor untuk melepaskan jaketnya yang berwarna biru tua lalu memberikannya pada Andin. “Pakai jaket ini buat nutupin rok elo nanti,” katanya seraya mengulurkan jaketnya. “Makasih,” ucap Andin tulus. Andin akhirnya duduk di boncengan motor Doni yang tinggi. Setelah dia memosisikan jaket Doni untuk menutupi paha dan kakinya, Doni melajukan motornya membelah jalanan yang memang tidak dilalui oleh angkot ini. Rasanya menjadi berbeda oleh Andin yang biasanya jalan kaki atau menaiki sepeda di jalanan ini. Dan merasa sedikit takut sebab tidak mengenakan helm saat ini. “Pegangan, banyak polisi tidur di komplek rumah,” celetuk Doni, memberitahu Andin sebelum mereka melewati jalanan yang tidak rata lagi. “Oke,” sahut Andin. Dia dengan ragu berpegangan pada bahu Doni karena tidak ada lagi tempat untuk berpegangan. Dan saat itu lah Doni merasakan ada aliran listrik yang seolah mengaliri tubuhnya. Karena sentuhan tangan Andin di pundaknya. . /// Epiphany | Gorjesso ///
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN