Pesta Karyawan.

1828 Kata
Kami pergi kesebuah villa yang cukup bagus menggunakan bus karyawan. Semua orang bersenang-senang hari ini. Terlihat jelas saat mereka menurunkan barang dan langsung berlari masuk ke dalam villa yang super besar dan mewah ini. Rumah putih bergaya eropa dengan taman yang indah didepannya. Tidak akan pernahku bermimpi mempunya rumah seperti ini. Siapa pun pemiliknya pasti orang dengan kekayaan luar binasa. Hanya membawa sebuah tas ransel berisi beberapa pakaian, aku tidak perlu kerepotan seperti mereka. Turun paling terakhir untuk menghidari berebut tempat tidur. Aku yakin akan ada 1 kamar hanya untukku karena mereka membenciku. Menuruni bus dengan wajah penuh kesombongan. Dalam hatiku aku berkata sekencang-kencangnya: “makanya jadi orang yang dibenci. Hahahaha” aku melingkarkan tanganku dipinggang dengan sangat sombong, sengak, dan belagu menjadi satu. “Ciiiiiiiit” Suara rem yang mendecit memekakan telinga terdengar saat sebuah mobil melaju dengan kecepatan yang sangat kencang kemudian berhenti didepanku dengan keangkuhannya. Mobil BMW class berwarna hitam elegan itu terlihat sangat mengkilat. Belahan kaya mobil mewah itu dibuka. Ku tundukan kepalaku untuk melihat monyet siapa yang membawa mobil dengan sembarangan ini. Sebuah wajah sombong yang tidak asing bagiku terlihat sedang memegang setirnya seperti menungguku melihatnya. Ia menurunkan kaca matanya. Melihatku sedang menatapnya ia melambaikan tangannya sambil tersenyum. “Hi” sapanya santai. “Selamat siang Pak, ada apa?” ucapku menahan emosi yang bergejolak karena sifat kekanak-kanakannya ini. “Apa sebahagia ini bisa melihat villa?” “.…” Menegakkan tubuhku, senyum kecut sudah terlukis di bibirku dengan sangat jelas. Ia menutup kaca mobilnya dan pergi begitu aja. “Dasar Bos sialan” ucapku geram sambil mengepalkan tanganku ke arah mobilnya. Aku sangat emosi kali ini. “Ada ya orang cuma nyapa cuma buat ngolok-ngolok doank. Emang dia kata gue apakah sehingga adinda dibeginikan? Dasar Bos sue” teriakku dalam hati. Geramnya aku hingga ingin melemparkan dia dan mobilnya kejurang. Dari gosip yang beredar Narita datang menggunakan motor. Sepertinya gosip di tempat ini seperti angin bagiku karena menyebar sangat cepat. Tubuhku jadi merinding ketakutan sendiri. “Hih” -o0o- Sampai dikamar paling tidak menyenangkan diantara kamar lainnya. Jendela dengan pemandangan pohon, ruang kecil untungnya masih ada lemari, meja rias, meja santai, kamar mandi didalam dan kasur king size. Ac disini terasa sangat dingin, mungkin karena ruangannya yang tidak cukup besar. Tanganku langsung meraih remot Ac dan menaikan suhunya. Berbaring di kamar sendiri dengan nyaman sambil melihat film-film yang sangat memuaskan jiwa dan raga. Tidak seperti mereka yang menikmati tempat ini, bagiku ini sudah mewakili segalanya. Setelah mereka merapikan tempat tidur mereka bersama gangnya masing-masing. Mereka berenang yang muda-muda, sedangkan yang sudah tua mereka menikmati udara di taman yang cukup luas. Bruk. Seseorang tiba-tiba membuka pintu dengan sangat kasar membuat aku terperanjat dari kasur. Menatapnya seperti orang bodoh. “Ada apa?” teriakku kaget. “Kamu kenapa sendirian disini?” ucapnya sambil ngos-ngosan. Tangannya melempar tas dan jaketnya keatas tempat tidur. “Kenapa kamu gak sama yang lain tidurnya?” tanyaku heran. “Yang lain penuh” ia menjatuhkan tubuhnya ditempat tidur. Wajahnya menoleh ke arahku, menatapku dan tersenyum manja walau, nafasnya masih terengah-engah. Tangan kecilku memeluk lututku “aku biasa sendiri jadi kamu gak perlu khawatir” jawabku lirih. Tidur menyamping, tangan kirinyanya meyangga kepalanya, bibirnya tersenyum lembut “Apa kamu mau ikut?” uluran tangannya padaku membuatku sedikit terkejut “Kita melihat pemandangan indah disini” Kebencianku terhadap perhatiannya yang membahagiakan aku. Bangaimana bisa aku meleleh dengan mudahnya? “aku gak bisa, aku juga mengurusi acara ini” ucapku tertunduk. Bangun dari tempat tidur “ok. Ok” ia menyentuh kepalaku mengusapnya dengan sangat lembut “kalau gitu aku bakalan cari snack buat kita menghabiskan waktu bersama. Bye” tanpa menunggu jawabanku dia langsung pergi begitu saja meninggalkan aku. Beraninya dia meninggalkan aku setelah ia mengusap kepalaku dengan lembut. Apa dia tidak memiki perasaan sehingga aku harus selalu menanggung rasa sesak ketika aku bersamanya. Perasaan yang mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Gayanya semakin seperti anak laki-laki saja, itu membuat aku sulit bernafas. Bagaimana dia memperlakukan aku itu menyebalkan. Aku gak ngerti kenapa dia bisa seperti ini padahal dulunya kami gak kenal sama sekali. Aku bukan wanita yang lemah jadi, aku gak butuh penjagaan. Tapi… kalau dia memperlakukan aku seperti ini lama-lama aku tidak akan bisa bertahan. -o0o- Selesai mandi aku menonton tv. Menatap tas yang tak bertuan itu membuat aku penasaran kenapa dia lama sekali kembali kesini. Dalam otakku aku masih tidak percaya kalau dia akan tidur kesini. Ada banyak acara hari ini tapi, aku tidak mengikutinya karena aku malas. Walau pun aku panitia, kerjaanku hanya menyampaikan laporan saja ke Khana jadi gak masalah kalau aku tidak turun langsung. “Kadang memanfaatkan jabatan itu bagus” pikirku senang. Nikmatnya di kamar sendirian menikmati kasur yag sangat empuk. Aku ingin terus berada disini untuk saat ini tidak ingin meninggalkan untuk sesuatu yang tidak penting. Tok tok tok. Seseorang mengetuk pintu, padahal aku malas sekali tapi… aku gak mungkin berdiam diri begitu saja. Dengan berat hati aku bangun dari tempat tidur, berjalan menuju pintu kayu kecil. Wajah ganteng nan rupawan muncul dihadapanku ketika pintu terbuka yang tak lain dan tak bukan adalah Khana. Ia tersenyum manis padaku tapi, aku cuma bisa tersenyum kecut gara-gara inget kejadiannya tadi. “Ada apa?” tanyaku kesal. “Apa itu sikap kamu ke bosnya?” “Nai ikut?” aku melihat keluar kamarku. “Hmmm, nanti malam dia datang. Maaf aku tinggal di luar villa” “Terus ngapain kamu kesini?” tanyaku heran. “Aw, sadis banget” ia mengusap kepalaku “aku kesini cuma mau ngasih ini” ia memberiku banyak makanan, sepertinya sebuah dress lengkap “Aku tau kamu gak bawa sesuatu yang bagus. Acara setiap tahun kamu adalah yang paling gak jelas so…” Ah, aku ingat setiap tahun aku selalu menjadi pusat perhatian karena hanya aku yang memakai kaos atau pakaian kerja sementara yang lainnya memakai pakaian yang sangat bagus. Otakku masih belum bisa melupaka lawakan yang mereka ucapkan padaku. “Aku juga minjemin beberapa make up punya temanku. Sekarang kamu adalah sekertarisku penampilan juga dibutuhkan!” tegasnya. Ia memaksaku menerima semua barang-barang ini. Semua barang itu ia genggamkan ke tanganku sehingga tidak ada cara lain selain menerimanya. Pengertian dia itu membuat aku merasa kesal “Ah, makasih” ucapku pura-pura baik. “Baiklah sampai besok malam” ia mengusap kepalaku dengan sangat keras sampai semua rambutku berantakan. “Apa kamu gak bisa sedikit baik sama aku?” gerutuku. Tanganku sibuk memperbaiki rambutku; bibir manyun, pipi langsung berkembang saking kesalnya. Tangannya yang lembut dan kuat itu mencubit pipiku sangat keras. “Aaaw” rengekku lagi. “Hahaha. Aku sudah membelikanmu banyak barang masih aja kamu koment hal buruk” tangannya menarik wajahku. Mengempeskan pipiku dengan tangannya seperti balon. “Berhenti!” ucapku semakin kesal. “Jangan upa pakai semua itu atau aku benar-benar akan marah. Sudah aku harus pergi ke suatu tempat bye” Ia pergi meninggalkanku yang masih kesal dengan sikapnya, sadar diri karena aku jarang membeli dress. Bukannya gak mau tapi, aku selalu merasa bajunya terlalu berlebihan jadi, aku merasa tidak pede. Mungkin aku diciptakan untuk hidup dalam batasannya sehingga aku sendiri tidak memiliki keberanian untuk menggunakan barang-barang mewah. Hal mewah yang aku miliki hanya makanan. Sesuatu yang akan hilang setelah seperkian detik. Dengan berat hati aku menaruh semuanya didalam lemari. Melihat dari tasnya saja aku tau ini bukan barang murah. Baru aja aku menutup lemari gank berbusa dateng. Masalah datang dengan cara yang indah. Mereka mendobrak pintukku dengan sangat kencang. Wajah penuh emosi mendatangi ku. Setiap makiannya membuat mereka melangkah lebih dekat padaku. “Oooh, jadi itu caranya biar bisa deket sama bos. Munafik banget sih lu?” ucap Rose “a***y najis banget sih lu. Sok suci banget!” tambah Tika. “Ngapain dia kesini?” tanya Dini. “Taek sok imut banget lu” “Sok-sokan manyun. Jijik gue ngeliatnya” Mereka terus mendorongku ke tembok hingga aku gak bisa bergerak. Aku cuma bisa terdiam mencoba untuk menenangkan diriku. Mereka yang memcahkan pertahananku satu persatu. “Jangan-jangan kamu udah tidur ya sama Bos” “Pela*ur lu!” “Anji** lu dasar!” “Pantes gak pernah dimarahin” mereka terus saja mengumpat tanpa henti. Mereka tidak melihat aku yang sudah sangat terpojok. Punggungku sudah menempel dengan tembok aku tidak bisa menghindar dari dorongan, cubitan, juga jambakan mereka. Padahal aku ingin menikmati malamku dengan kenikmatan yang hakiki tapi, ini bener-bener membuat moodku hilang. Semakin aku diam mereka semakin mengolok-olokku dan semakin menyakitiku. Merasa sudah diujung kesabaran. Mataku menatap mereka dengan tajam. “Udah berani dia sekarang?” “Sifat aslinya sekarang udah kelaiatan” “Ular berbisa” Tangan mereka tidak berhenti menyakiti tubuhku. Mereka fikir aku masih sama dengan aku yang saat itu. Menepis tanagn mereka dengan mudahnya. “Emang kenapa gue kan sekertarisnya. Terus kenapa? Apa kalian iri?” kalimatku semakin memprovokasi mereka. “Oh, jadi sekarang udah pinter ngelawan ya!” “Bagus” “Keliatannya baik tapi, ternyata kayak gini kelakuannya” Mereka mendorongku lebih kuat “Berhenti” mereka semakin kuat menyakitiku “Stop!” ucapku berlahan namun tidak ada satupun yang perduli. mereka kembali mencubit, menampar, menjambak. Berantem ala-ala wanita jaman salon. “Kenapa nyerah? Takut? An**ng? Pe**cur lu!” umpat mereka tidak ada hentinya. Sebenarnya aku tidak mendengar apa yang mereka katakan karena mereka berbicara bersamaan. Yang aku tau tidak ada satu kata pun dari mereka yang baik. Wajahku mendongak, menatap mereka sadis dalam-dalam “Pay back” aku menginjak kaki mereka dan memukul mereka sampai terjatuh. Pukulan, tendangan terus aku lancarkan tanpa henti. Mereka melakukan apa pun untuk menyerangku tapi, aku tidak kehabisan akal untuk menyerang titik lemah merek. Setiap kata yang ingin mereka katakan langsung aku tahan dengan sikutku, pukulan maupun dengan tentangan sehingga mereka tidak sempat berbicara satu kata pun. Memukul mereka bergantian hingga mereka babak belur. Mereka terkejut dengan gaya pukulanku yang berbeda dengan anak-anak salon. Atas, bawah. Atas, bawah terus saja tanpa henti. Hingga semuanya terkapar diatas lantai. Setelah puas tanganku menarik kerah gadis berwajah polos namun, berhati iblis yang sedang berbaring “gue gak lemah gue cuma diem g****k!” teriakku dengan wajah yang bengis. “Savi?” Teiak Narita kaget. Ia berdiri di depan pintu menatapku seperti orang bodoh. Tanpa sdar tanganku melepaskan kerah Tika dengan sendirinya. Tubuh wanita yang ada dibawahku terlihat sangat ketakutan sampai badannya gemetaran. Dengan air mata yang berlinang ia mengajak temna-temannya meninggalkan kamarku. Mataku tertuju pada cewek tomboy yang sedang menatapku. Terpaku, terdiam melihatnya yang syok melihatku seperti iblis yang sedang melampiaskan kemarahannya. Mataku ke kanan dan ke kiri. Menatap sekitarku yang tanpa sadar sudah menarik perhatian karyawan lainnya dan membuat mereka semakin berfikir kalau aku adalah mahluk mengerikan. Dalam kebingungan aku pun memutuskan untuk berlari, bersembunyi dibawah selimut. Meringkuk ketakutan. Klik. Dia mengunci pintu. Langkahnya yang berat terdengar sangat jelas memenuhi ruangan ini. Kali ini pasti dia akan menyalahkan aku. Tuk. Tuk. Tuk. Kreeeet. Ah, dia sudah duduk dibelakangku. Tangannya mengusap kepalaku dengan lembut. “Aku gak nyalahin kamu kok. Mereka emang udah keterlaluan” tanagn putihnya mencoba untuk membuka selimutku namun aku menahannya “aku beli banyak sekali snack. Apa kamu gak lapar?” Membatu. Terkejut dengan pernyataannya, aku tidak mempercai apa yang aku dengar saat ini. Apa dia serius menagatakan itu? Bagaimana kalau dia berbohong? Bagaimana kalau dia hanya mempermainkan perasaanku? Tangannya yang lembut menggenggam tanganku erat. Seolah-olah mengatakan padaku untuk yakin padanya. Sesaat aku merasakan ini mimpi tapi, rasa sakit yang mereka berikan padaku benar-benar terasa. “Apa kamu mau terus berbaring?” Tak ada sedikit pun kata yang keluar dari bibirku. Melihat aku yang gak ada reaksi sama sekali, dia pergi meninggalkan aku sendiri di kamar. Merasa aman aku pun membuka selimutku “hah. Hah. Hah. Aku gak bisa nafas” ucapku sambil mengambil nafas sebanyak-banyaknya. Aku heran kenapa dia itu sangat percaya denganku padahal aku tidak terlalu dekat dengannya. Sakit. Seperti ditikam dengan sebuah bilah yang panjang jantungku terasa begitu sakit. Apa ia benar-benar percaya padaku? Perasaan takut akan kekecewaan terus saja mengusikku. Setelah otakku sedikit waras dan menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Hal ini, semakin malas keluar. Aku menyerahkan perkerjaanku kepada salah satu staff disana. Besok kami cuma mengadakan outbond aja so, gak masalah kalo gak ikut. Aku juga gak bawa baju banyak. Tanganku memeluk guling dengan sangat erat, mencoba memejamkan mataku. Mungkin karena lelah di perjalanan aku pun tidur dengan mudah. “Tidur? Huft? Ini cuma caraku agar bisa melupakan semuanya”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN