Menahan diri

1365 Kata
Turun dari ojek seperti biasanya. Tanganku langsung mengulurkan uang. Hari ini aku tepat waktu datang ke kantor tapi… seharusnya aku datang lebih awal. Khana selalu saja datang lebih awal dariku. Itu sering membuat aku kesal. Memasuki kantor dengan penuh semangat, aku langsung disambut dengan beberapa orang sedang sibuk bergosip. Gerombolan wanita muda sexy, janda kegatelan dipimpin oleh si gendut ini pun langsung melirikku dengan tajam. Aku yang sadar diri kalau kebencian mereka terhadapku lebih besar dari gunung uhud. Aku berusaha menggunakan jurus bayangan, denagn pura-pura tidak melihat mereka. Niat mereka yang tinggi untuk menjatuhkanku membuat semuanya percuma. Tidak tepat waktunya aku akhir-akhir ini, baiknya Kha terhadapku saat dihadapan mereka. Perkataan Kha yang selalu membuat aku terpojok dan membuat mereka berfikir yang tidak-tidak. Hari ini pasti aku berakhir. “Ehem” Sebuah batuk tanpa alasan terdengar sangat jelas di telingaku. Kode keras yang mereka lakukan sampai 3 kali itu tidak menghentikan. Wajah mereka terlihat semakin kesal dengan kepura-puraanku. 1 langkah lagi aku bisa mengakhiri penderitaan ini tapi… “Saviiii!!!” panggil seorang wanita dengan suara menggoda namun ketus. Nama yang mereka sebutkan tidak mungkin untuk mengabaikan semuanya akan semakin memburuk. Langkahku terhenti, berbalik, tersenyum pada mereka. Dalam hati aku ingin memasukan mereka ke komputer terus mendownload virus kemudian membiarkan mereka dimakannya tapi, itu tidak mungkin. “Ada apa?” ucapku penuh dengan senyuman kepalsuan. Berharap mereka tidak membaca pikiranku. Melihat aku yang sedang teramat sangat marah dengan mereka. 1st Round (banyak kata) “Kenapa gak telat aja” “Kan bosnya bisa serve dirinya sendiri” “Iya, masa ayang bebnya suruh kerja keras sih?” Aku mencoba tersenyum “ah, makasih” ucapku sambil menggaruk kepala. Melihat aku yang tidak terprovokasi dengan mereka. Mereka semakin terlihat kesal dan mendekatiku. 2nd Round (semua bergabung) “Dasar gak punya malu!!!” ucap yang lainnya. “Masih bisa santai gitu” “Berapa kali aja kita denger lu njilat Pak Khana!” “Lu gila kali ya?” “Pake pelet apa sih lu?” mereka terus-terusan menyerangku sampai aku kebingungan mau mendengarkan yang mana. Yang aku pikirkan bukan bagaimana melawan mereka. Aku tau apa yang aku katakan saat ini hanya akan dianggap angin oleh mereka. Terdiam sejenak untuk mengambil nafas agar emosiku stabil. “Baiklah” ucapku berlahan. Semakin memanas mereka, semakin marah, semakin menempelkan diri mereka. Mata mereka benar-benar melotot tajam, terlihat jelas kalau mereka ingin memakanku. 3rd Round. (Banyak kata dan bayak orang) “Kamu dibayar berapa sama Pak Khana?” “Gaya mau nolongin gue diembat sendiri aja” “Dasar w***********g” “Murahan banget lu!” “Godain terus Pak Khana” “Ngapain aja lu tiap malaem lembur terus” “Apa kelakuaan keluarga lu kayak gitu” “Pelacurlu!” Sekali mulut mereka berbicara tentang keluargaku. Emosiku seperti meledak naik. Mataku menatap mereka semua serius. “Sebenarnya kalian marah karena aku gak mendengarkan kalian? Apa karena aku gak marah melihat reaksi kalian?” ucapku sadis. Narita muncul. Bibir manisnya tersenyum padaku tapi, aku tidak tau kenapa bibirku terkunci seakan-akan tidak bisa membalas senyumannya itu. Aku ingin berkata “toloooong, tolooong, tolooong” tapi, tertahan karena pasti terdengar sangat aneh dan juga lebay. Tiba-tiba Tika menghadangku dikala otakku memikirkan hal yang aneh-aneh hingga membuatku terkesimak. Terdiamku mencoba mencari nafas yang semakin menjauh. Tika dengan wajah polosnya mendorongku dengan sangat keras hingga aku terjatuh. Senyuman yang tidak pernah aku lupakan itu adalah senyuman menjijikan yang pernah aku lihat. “Aw” rintihku sambil menatap Tika dengan wajah yang penuh dengan emosi.  Emosi benar-benar tidak terkontrol saat ini. Tapi… “Kamu gak papa, Vi?” sebuah suara menghentikan tubuhnya yang bersiap untuk bangun dan menghajar mereka habis-habisan. Suara itu menyejukanku disaat kobaran api kemarahan sudah tidak dapat terbendung lagi. Narita tiba-tiba ada disebelahku, membantuku untuk berdiri. Ia membelakangiku menatap mereka semua. “Kenapa kamu dorong Savi! Kalian gak bisa kayak gitu….” bentaknya. Ia terus saja memperingatkan mereka untuk tidak menyakitiku. “Kenapa?” pikirku. Menatapnya dari belakang seperti ini. Melihat orang lain menyelamatkan apa seperti sebuah cerita dongeng. Dia berteriak untukku, memarahi mereka untukku, berdiri untukku. Wajahku, mataku memerah namun bukan karena emosi lagi tapi, perasaan aneh yang tidak bisa dijelaskan yang membuat aku ingin menangis. Ia berbalik menatapku “Ada apa Savi?” tangannya meraih pipiku. Sentuhan tangannya yang lembut semakin meruntuhkan pertahananku. Tertundukku menyembunyikan air mataku yang sudah hampir menetes. “Dia pura-pura banget” ucap Dini. “Tadi sok kuat sekarang malah nangis” tambah yang lainnya. Mereka pun pergi karena tidak ingin terlibat dengan masalah. Gadis tomboy ini semakin tersulut emosi. Ia melirik mereka tajam tapi, matanya kembali ke arah seseorang yang ada di pelukannya “Apa kamu gak papa?” ucapnya lembut. Aku menggelengkan kepala dengan sangat keras seperti anak kecil. Suaranya, sentuhannya, kehangatannya yang lembut itu membuat aku ingin sekali memeluknya. Tapi… aku tidak mungkin melakukan hal itu. Tanganku tanpa sadar menggenggam bajunya sangat erat. Merasa bisa menggantungkan semua beban hidupku padanya, tanganku tidak ingin melepaskan dirinya begitu saja. Dia seperti pangeran berkuda yang sangat tampan. Genggaman tangannya yang sangat lembut seperti seorang wanita yang suka pergi ke salon tapi, tetap kuat. Aku tidak menyangka dia bisa sesempurna ini bahkan untuk staff biasa. Tersadar dengan semua pemikiran yang bodoh ini, genggaman tanganku melemah. “Ah, sudah jangan tanya aku lagi” ucapku. Wajahku berubah drastis tanagku menepiskan tangannya yang berusaha untuk menghiburku. Guratan wajahnya meperlihatkan kesedihannya yang tersembunyi dibalik wajahnya yang kebingungan dengan sikapku, saat langkahku menjauh meninggalaknnya. Sebenarnya, aku menangis bukan karena sedih. Tapi, aku menangis karena bahagia akhirnya ada orang yang menolongku. Selama ini kalau aku disiksa, disakiti aku harus berdiri sendiri, tidak ada yang menolongku sama sekali. Aku harus  berpura-pura tersenyum padahal aku ingin menangis, marah, dan teriak. Sekarang tiba-tiba dia memberikan semua apa yang aku inginkan. Bahkan pada saat dia tidak melakukan apa-apa. Setelah ini harapan apa yang akan aku gantungkan padanya? Seharian aku kerja tapi, otakku absen. Hal itu membuat Khana sempat menegurku beberapa kali. Aku terus saja meminta maaf, tetap saja kesalahan yang dilakukan olehku tidak berlanjut. Jam istirahat pun aku hanya melamun di kantin dan minum air putih aja. Otakku selalu aku paksakan untuk fokus pada perkerjaan karena tidak ingin terbawa oleh sentuhan Na. Wajah dinginku terus terpasang namun, otakku tidak bisa berhenti memikirkannya semenjak kejadian pagi tadi. Aku sangat menginginkanmu sampai tak ada sedikit waktu untuk otakku beristirahat dari gambaranmu. -o0o- Waktu terus bergulir, hari terus berganti hari. Menatap matahari yang bersinar terang melalui kaca jendela, menginggatkan aku pada kelembutan yang aku rindukan. Riuh tempat ini yang sangat penuh dengan manusia membuat aku tak terlihat. Mungkin ini adalah hal yang terbaik karena aku tidak dapat melakukan apa pun. Seharusnya aku menyadari hal itu dari awal. Bukan, aku hanya melupakannya berulang kali. Terdiam aku sendiri seperti kehilangan arah. Melihatnya dari kejauhan. Seorang wanita dengan wajah yang sangat tulus itu tersenyum, semakin menggodaku hatiku untuk bersandar padanya. Namun saat dia dihadapanku, yang ada hanya ketakutan akan tersakiti atau menyakitinya lagi. Mengingat setelah kejadian waktu itu aku jarang menegur Narita. Semakin menjauh darinya karena keegoisanku. Sebenarnya aku jadi merasa bersalah karena hal itu tapi… apa boleh buat. Aku tidak ingin Na dijauhin oleh temannya. “Hi” Aku hampir loncat karena seseorang mengagetkan aku dari belakang. Wajahku menoleh ke arah sumber suara itu “Ah, Na!” aku pikir dia yang berjalan mendekatiku itu hanya fatamorgana. “Ups, aku gak tau kalau kamu gampang terkejut. Maaf aku duduk disini karena semua tempat penuh” Narita senyam-senyum sendiri. Aku tau pasti dia menertawakanku dalam hati. Ia menaruh nampannya di atas meja kemudian duduk. “Ini bukan kursiku jadi gak masalah” jawabku datar. “Jadi kalau ini kursi kamu, ini akan menjadi masalah?” dia memulai pertengkaran denganku. Sejak kapan dia berubah menjadi seperti ini. “Heiii, aku lagi gak nyari massalah, nih” ucapku kesal. “Jadi, kamu udah gak marah sama aku?” “Aku gak ngerasa marah sama kamu?” ucapku sambil memalingkan wajahku seperti orang yang habis mencuri uang terus mencoba untuk berbohong. Ia langsung mengerutkan dahinya, mendekatkan wajahnya padaku “Kamu gak nyapa aku, selalu aja fokus ke hal lain kalau aku nemuin kamu, mengabaikan aku, masang wajah dingin mulu. Sekarang, kamu ngomong kayak gitu?” Tidak bisa mengelak pada orang yang mengatakan apa yang ada di hatinya tepat di depan aku. “Aku lagi kerja pasti mukaku berubah” jawabku lirih. Masih berusaha ngeles dari semua yang ia katakan. Tidak perlu menjadi pakar wajah aku tau kalau aku cuma ngeles. Wajahku yang tidak sanggup menatapanya ketika semua kata itu terucap mewakili bagaimana malunya aku atas semua kebohongan ini. “Aku senang” Melihat wajahnya yang berseri-serii, tersenyum indah membuat aku menjadi merasa senang dan malu bersamaan. Keinginanku untuk menghindarinya pun menghilang begitu saja terbawa oleh kelembutan senyumannya itu. Dia seperti gadis yang tidak pernah memiliki masalah. Hidup bahagia selamanya. Sangat polos, pengertian. Seharusnya saat ini ia sedang bersanding pria ya, mungkin seperti Pak Khana. Sangat berbeda denganku, seperti pisau. Yang setiap sentuhanku akan melukai banyak orang. Otakku mengerti dengan sangat jelas tapi, hatiku mengabaikan hal ini lagi. Aku merasa sangat lebay hari ini. Apa aku sangat gembiranya karena memiliki teman? Aku takut menyakitimu dan juga takut tidak melihatmu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN