Ketenangan

1793 Kata
Aku terbangun pukul 11 siang. Bukannya aku bangun terlambat tapi, aku memang sengaja tidak datang ke kantor. Aku tidak bisa memperlihatkan wajahku yang selalu seperti ini terus menerus terutama perkerjaanku akhir-akhir ini selalu kacau. Yang paling memberatkan dari semua alasaan yang aku buat karena aku tidak masuk adalah aku tidak berani untuk bertemu dengan Kha maupun Na. Mereka pasti akan mempertanyaan perkerjaanku yang semakin buruk. Ruangan ini masih penuh dengan aroma ibuku. Air mataku selalu saja mencoba untuk keluar setiap kali aku memikirkan itu. Berusaha keras untuk tegar, aku berjalan menuju kamar mandi. Membersihkan diriku. Berbalut handuk putih, aku memakai kemeja yang cukup besar. Kemeja lama ini adalah kemeja pertama kali yang aku beli saat mendapatkan gaji dari perushaan Khana. Setelah memakai baju, aku hanya dia dan bersadar dibedboard. Menikmati kesendirian dengan menonton film yang ada di hpku. - Lapar menyerang, perutku tidak henti-hentinya meraung. Aku belum makan dari kemarin hanya dessert yang mengisi perutku semalam. Banyaknya dessert yang mengisi perutku tanpa didampingi makanan pokok sepertinya membuat perutku sakit. Merasa tidak kuat, tubuhku memaksaku pergi menuju dapur, mengambil s**u, menenggaknya tanpa berpikir panjang. Aku merasa rasa susunya sangat aneh jadi, aku melihat tanggal kadaluarsanya dan ternyata sudah lewat. Aku meminum banyak sekali air hingga mengalir ke leherku saking banyaknya aku meminum. Aku merasa sangat kesal, duduk terdiam sambil menyandarkan punggungku ke kulkas sambil berfikir; “kalau aku ditemukan mati karena s**u basi betapa malunya aku. Apa aku bisa menatap semua temanku. Aaah, bukannya keju terbuat dari s**u basi?” pikirku lagi. Rasanya tubuhku sangat lemas. Tidak tau apa yang aku pikirkan semuanya kembali menghilang. Dimakan kegelapan. “Vi, savi, savi!” sebuah suara yang sangat hangat terdengar di telingaku. Aku merasa hilang dan lemas. Aku cuma ingin tersenyum saat ini. “Peluk aku, peluk aku!” hanya itu yang ada dipikiranku. Kegelapan membawaku kedimensi lain. Dimensi dimana semuanya terlihat kosong. Menenggelamkan aku kedalam dasar lumpur hitam tak berujung. -o0o- Uhuh. Uhuk. Uhuk. Leherku terasa sangat perih. Rasa haus mencekikku. Mataku terbuka berlahaan putihnya ruangan, cahaya lampu yang menyilaukan membuat mataku harus menyesuaikan terlebih dahulu. Samar-samar aku melihat 2 orang wanita menggenakan pakaian suster. Mereka terlihat bersemangat setelah menyadari jika aku telah sadar. Tangan mereka dengan sigap melakukan pemeriksaan terhadapku. Setelah mereka selesai mereka tersenyum padaku. Senyuman yang mereka berikan padaku terlihat seperti memiliki arti tersembunyi karena mereka terlihat begitu bahagia. Berlahan aku mencoba bangun dari tempat tidur tapi, tubuhku terlalu lemah. Rasa sakit menyerang kepalaku bertubuh-tubi berlahan tanganku memijat kepalaku. 3 orang yang selalu ada untukku kini sedang duduk bersama di sofa berbicara hal yang serius. Aku tidak tau apa yang mereka bicarakan. Suara mereka terdengar seperti gumaman tidak jelas. “Ah, sepertinya pasien kita sudah bangun dok” ucap salah seorang suster. Mereka semua langsung menatapku yang tidak berdaya diatas kasur. Hanya 1 orang bodoh yang langsung naik keatas keasur dan menarik kerahku tepat setelah ia menyadari kalau aku sudah tersadar. “Aaaa” teriak para suster yang semakin membuat kepalaku sakit. Gadis ini memang sangat cepat dalam hal memperburuk suasana hatiku. Semakin hari, bukannya aku semakin dekat dengannya malah semakin merasa kalau dia mulai terlalu ikut campur kehidupan pribadiku. “Vi!!!” ia teriak di depan wajahku dengan sangat keras sehingga membuat telingaku berdengung keras. “Ada apa, Na?” ucapku lemas. “Aku pikir aku akan mati kehilanganmu tapi, kenapa kamu malah tidur. Ada hal gak yang bisa kamu lakuin dengan normal!” tereaknya sambil mengoyang-goyang tubuhku hingga kepalaku bergoyang ke depan, belakang. Aku menatap Nai dan Kha mereka hanya tertawa kecil, pandanganku kembali pada wajah seorang wanita yang tengah dimakan emosi “ada apa?” jawabku dingin. “Saviiiiiiiiiiiii” triaknya lagi. Mereka berdua yang sebelumnya menikmati perbincangan kami bangun dan mendekati kami. Tangan besar Nai menarik Na hingga ia turun dari kasur “tenang saja aku berkerja disini jadi aku yang bayar” ucap Nai santai. “Ah, aku pikir aku juga akan mati karena minum s**u basi” ucapku. “Kamu gak minum s**u basi. Aku udah ngecek tanggalnya. Yang kamu baca mungkin tanggal pembuatannya” ucap Kha. “Ah, untunglah. Aku pikir aku mati karena s**u basi itu gak keren sama sekali” Na yang merasa bagaimana ada orang yang dengan sangat mudahnya membicarakan kematiannya seperti tidak ada masalah apa-apa kembali tersulut emosi. Aku mencoba menjauh darinya namun, saat dia menarikku keseimbanganku menghilang. Tangannya yang tidak kuat menahan tubuhku membiarkanku terjatuh. Tanganku sempat menggenggam tempat tidur, yang lain pun mencoba membantuku hanya saja smeuanya kalah cepat pada akhirnya mereka hanya melihatku tergeletak dilantai. Kepalaku semakin sakit tatkala teriakan yang keluar dari mulut Na berdengung ditelingaku. Aku yakin kalau pasti akan ada benjol yang sangat besar dikepalaku. Tanganku memegang kepalaku sambil merintih kesakitan. Na menarik kerahku hingga aku berdiri tidak, rasanya tidak ada kekhawatiran pada dirinya saat ini. Ia tidak memperdulikan rintihanku hanya peduli pada pemikirannya yang ia paksakan kepadaku. “Tinggal denganku!” kata yang memanaskan ditelingaku. “Jangan gila!” tangaku berusaha keras menepiskannya. Ia kembali menarik kerah bajuku, menatapku tajam. Aku bisa melihat kesedihan yang mendalam dimatanya tapi… ini sangat dalam sampai aku tidak bisa melihat apa itu. “Na, aku lebih suka tinggal sendiri! Jangan kaya gini atau aku bakalan benci sama kamu!” tegasku. “Apa kamu sudah gila? Berminggu-minggu kamu menangis, bersikap dingin, membuat masalah. Apa kamu gak cukup dengan membuat hidup orang lain menderita?” “Tinggalkan aku kalau begitu!” teriakku kencang. Plak. Perih menyengat pipiku saat tangan kecil itu menyentuh. Rasa sakit, kesal, emosi semakin menyulut amarahku yang kian meninggi. “Na!” bentakku. Tanganku mengusap lembut pipiku “aku biasa hidup sendiri jangan campurin urusanku!” Tangan Na bersiap menamparku lagi tapi, tangan Kha menahannya menarik lengan Na. Matanya menatap Na tajam “Na bukan sekarang” tegas Kha dengan wajah yang seriusnya. “Apa kamu gila aku harus menyadarkan orang bodoh didepanku ini kalau dia membutuhkan orang lain untuk membantunya” “Naaa, bukan seperti ini caranya” ucap Kha tegas. Na menatap kami semua dengan amarah dan kebenciannya sebelum akhirnya ia memutuskan pergi meninggalkan ruangan ini “Jangan sampai dia kabur dari rumah sakit!” tegasnya. Brak. Na mendobrak pintu sekencang-kencangnya. Nai pergi meninggalkan kami berdua. Kakinya yang berlari kecil mengejar Na yang kabur dari tempat ini terlihat sangat khawatir. 2 suster itu juga sudah menghilang entah dari kapan. Sebuah sentuhan tangan yang lembut mengalihkan perhatianku. Menatap wajah si pemilik tangan. Bibirku terkantup, tidak tau kata apa yang akan aku gunakan untuk menjelaskan kondisiku saat ini. “Vi, maafin Na” ucap Kha lembut. Berpaling darinya, aku mendekati lemari kecil disamping tempat tidur. Tanganku terus merapikan barangku, mengambi sebuah kemeja yang tergeletak didalamnya. Menatap hanya ada kemeja didalam sini aku terdiam sejenak. Memori otakku kembali, bertapa menyesalnya aku menyadari kalau aku hanya menggenakan kemeja siang ini. Seharusnya aku tidak melakukan itu, lagi pula darimana aku tau juga mereka akan datang ke rumahku? Menghela nafas panjang, aku menggenakan kemeja itu kembali sebelum melepas baju rumah sakit yang menempel pada tubuhku. Baju yang sangat besar ini memudahkan aku untuk melepas pakaian rumah sakit. Tanganku melempar baju rumah sakit ini keatas tempat tidur. Celana rumah sakit yang masih aku kenakan karena tidak memiliki celana yang lain untuk mengganti celana. Sebuah sentuhan lembut terasa dipunggungku menyentuhku lembut. Kha selalu saja tidak menggunakan kata-kata untuk meredam emosiku. Kha selalu menggenakan kelembutannya untuk meluluhkanku sebelum mengutarakan isi hatinya. Aku tidak tau kenapa aku selalu mudah terbujuk oleh sentuhannya. Setiap kali dia memperlakukanku dengan lembut dan aku menatapnya seperti ada pancaran cahaya yang menenangkan hati dan pikiranku. Tanganku menahan tangannya, berbalik menatap wajah yang terlihat lebih sedih dari diriku saat ini. Matanya seperti mengaharap sebuah senyuman dari bibirku. Kha menyantupkan kedua tanganku. “Aku mohon” bibirku terkunci “Na itu adalah nama panggilan ibunya. Dia tidak membiarkan siapa pun untuk memanggil namanya dengan nama itu kecuali keluarga kami. Itu berarti kamu sangat special untuknya” Tanganku berusaha terlepas dari tangannya. Pria lembut dihadapanku yang tidak ingin melepaskan tanganku menarik tanganku mendekati wajahnya. Lembut. Bibirnya mengecup jari-jariku dengan lembut hingga menusuk jantungku”kenapa?” otakku mempertanyakan tidakannya. Matanya menatapku serius, melihat wajahku yang tertegun tanpa kata hanya memandangnya kosong. Bibir manis berwarna merah itu kembali memancarkan senyumannya. “Kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan. Dia harus besikap tegar hidup bersama kami bukan keluarganya selama bertahun-tahun. Kadang sikapnya menjadi sangat keras, maafkan dia Vi… dia cuma ingin merawat kamu aja” Hatiku masih terbungkus ego, tidak memperdulikan setiap penjelasana yang Kha utarakan. Aku menarik tanganku tapi, dia malah menarikku lebih kuat dan memelukku kuat “aku gak bisa bernafas” ucapku dingin. “Kami sayang kamu, Vi” ucapnya lirih. Kujatuhkan kepalaku pada dadanya, tertunduk mendengar ucapnya. Rasanya kata itu melepaskan semua ego yang menjerat. Tangannya membelai kepalaku menenangkan setiap sel tubuhku. Setelah aku merasa tenang, Kha melepaskan pelukannya. Jarinya menarik daguku lembut, mengarahkan pandanganku ke wajahnya. “Kamu selalu memandang kami seperti apa adanya kami itu kenapa kami sangat menyayangi kamu jadi…” ia mengusap jempolnya ke pipiku. Matanya memandangku dalam seperti ada berjuta kehangatan didalam sana “maafkan aku yang meminta kamu untuk mengerti perasaan Na” Kepalaku tertunduk aku berkata; “aku tidak ingin berhubungan dengan siapa pun. Bagiku aku sudah lama mati jadi apa bedanya sekarang Kha?” ucapku lirih. Senyumannya kembali merekah, memberikanku sejuta harapan “then, let us make you alive” matanya penuh ketulusan. Saking tulusnya sampai aku mempertanyakan diriku sendiri apakah ini kenyataan atau cuma khayalan. Kata-kata itu seperti lagu yang terus saja di putar di otakku. Terdiam. Tidak bisa otakku mencerna apa yang dikatakannya saat ini. Kha menelpon Na, tak lama ia pun kembali. Nai juga datang untuk memberikanku beberapa vitamin untukku. Na memelukku tangannya bermain dengan rambutku entah, kenapa tiba-tiba perasaanku menghilang. Menghilang seperti aku hanyalah seonggok daging yang tidak dapat bergerak. “Vi… kamu bener mau tinggal bareng?” tanyanya lirih. “Aku gak pernah mengatakan itu” ucapku dingin. Semua orang tertegun dengan jawaban ketusku kecuali Kha, dia tersenyum. Aku tidak mengerti dia tapi mungkin ini kenapa Nai mencintai dia karena kadang saat orang lain tidak melihat hanya dia yang melihat dan mengerti. Kenapa Kha? Kenapa? -o0o- Sesampainya di rumah, aku langsung masuk kedalam. Wajah dinginku tidak memperdulikan suara Na yang masih ngotot agar aku tinggal bersama mereka. Aku melihat Kha berusaha menghentikan Na sebelum aku menutup pintu. Tiba-tiba semuanya senyap. Yang terdengar hanya suara kendaraan yang menjauh. Jam segini biasa tetangga sebelah sudah saling beradu tapi, tidak ada suara yang aku dengar. Kemana kegaduhan yang biasanya terdengar? Sepi ini seperti merenggut semua kebahagiaanku. Aku menyalakan televisi. Meninggalkannya menuju kamarku. Berbaring sendiri menikmati ruangan yang kosong dan sepi. Tanganku meraih hp, menyembunyikan rasa takutku dalam kebisingan yang aku buat sendiri. Tubuhku berbaring kekanan kekiri, rasanya ini terlalu sepi. Aku tidak bisa membiarkan mataku terjaga atau esok akan menjadi hari yang berat bagiku. Sebenarnya aku takut tinggal sendiri, itu kenapa alasannya aku suka tinggal disini. Aku takut saat malam datang, itu kenapa aku memilih rumah kecil. Aku takut kegelapan, makannya aku tidak pernah membiarkan lampuku mati saat malam. Aku sendirian. Orang macam apa yang tinggal sendiri tapi, tinggal sendiri. Ibuku, ayahku, bahkan semua saudaraku berfikir aku adalah gadis yang kuat dan pemberani. Gadis yang gak akan kenapa-kenapa saat ada hantu menghampiri, batu memukulku, atau pun saat mengangkat beban yang kuat. Aku berdiri sendiri terlalu lama hingga merasa hancur. Apa aku bisa mengharapakan sesuatu? Apa aku boleh? Apa yang Allah jawab saat aku mempertanyakan lubang di hatiku yang bahkan tidak pernah tertutup? Dan semakin aku berusaha mencarinya semakin banyak lubang yang aku dapatkan. Semua penderitaan ini sudah menjadi keseharianku. Keinginan untuk menangis, menyerah selalu ada tapi, untuk apa aku menangis sekarang bukannya dari dulu? satu kalimat terakhir itu selalu aku katakan. Seketika itu mataku akan terbuka, menyadari bahwa aku harus lebih kuat lagi dari apapun juga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN