Pedas

1826 Kata
Dor. Dor. Dor. Aku terbangun karena suara ketukan pintu yang sangat kencang dari luar. Aku yang masih belum sadarkan diri pun langsung gerinjal bangun, keluar untuk melihat siapa orang yang memekakan telingaku. “Yaaaa, sebentar” teriakku. Melihat dua mahluk yang sedang berdiri didepanku sambil tersenyum gak jelas saat pintu terbuka. Aku hanya menghela nafas panjang. Wajahku yang bersemangat langsung berubah seketika. Bete. “Duduk dimana aja kalian suka!” Aku pergi ke dapur dan kembali dengan beberapa gelas s**u, juga snack untuk mereka. Menaruhnya di meja televisi. Mereka terus menatapku kemana pun aku melangkah membuatku kesal. Otakku menaruh pikiran buruk terhadap sikap mereka yang aneh. Mempertanyakannya. “Eh, ada apa?” ucapku angkuh. Alisku mengernyit. Mataku menatap tajam mereka. “Lapar” ucap Na. “Apa kamu gak mau mandi?” Kha menimpali. Perkataan Kha menyadarkanku tubuhku yang masih bau keringat malam “aaah, benar juga” aku langsung bergegas pergi menuju kamar mandi. - Sekeluarnya dari kamar mandi, aku melihat ada banyak sekali bahan makanan seperti, sayuran, ayam, buah-buahan. Melihat segudang bahan makanan tergeletak dilantai, aku sudah bisa menebak apa yang diotak mereka. Pantes aja gelagat mereka mencurigan dari tadi. Aku menghela nafas panjang melihat tindak-tanduk mereka yang suka memaksa aku melakukan apa yang mereka inginkan. Sambil mengeringkan rambutku dengan handuk, aku berjalan mengambil bungkusan plastik yang ada dilantai. Banyaknya bahan makanan yang ada membuat aku heran. Sebenarnya masakan apa yang ingin mereka makan? Saat aku ingin menanyakan hal itu, wajahku terkejut melihat ekspresi wajah mereka yang aneh. Yang tanpa aku sadari mereka tengah menatapku tidak ada habisnya dari tadi. “Muka kalian kenapa?” kata itu terlempar begitu saja. Mereka tidak menjawab pertanyaanku. Aku pikir mungkin pertanyaanku membuat mereka bingung jadi aku mengubahnya. “Ada apa dengan kalian dateng kerumah aku udah gitu bawa segunung bahan makanan. Apa kalian pikir aku bisa masak sebanyak ini!” Mereka masih tidak menjawab pertanyaanku namun, mereka berdua menganggukan kepala bersamaan. Bibir mereka yang penuh senyuman. Mata mereka yang berbinar membuat aku semakin heran. “Apa yang ada di otak mereka berdua saat ini sih?” Semakin kesal dengan sikap kakak beradik yang kompak. Aku hanya bisa meninggalkan mereka yang membiarkan aku membawa semua barang berat ini ke dapur. “Awas aja kalo mood gue udah baik gue kerjain balik” gumamku. - Di dapur aku masak sendiri. Mereka sedang asik menonton tv terus saja memanggilku. Komplain dengan semua yang ada di rumahku. Dari sofa cuma 1, panas, bukan tv kabel, sampai diluar berisik. Aku terus memasak sambil menjawab semua pertanyaan dengan 1 kata ajaib “hm” setiap kali mereka komplain atau pun memanggil namaku. Mereka berdua datang ke dapur karena tidak mendapatkan perhatianku dan apa yang mereka inginkan. Mereka terus saja berdebat dengan hal bodoh. Haish, kondisiku yang sedang tidak begitu baik tidak pernah ada diotak mereka. “Apa kamu benar-benar bisa masak?” tiba-tiba Kha mengubah topik pembicaraan. “Masakannya enak” balas Na. Mereka terus berbicara tanpa henti, saling bersahut-sahutan. Aku gak ngerti kenapa harus kesini kalau mereka ngomong berdua. Mendengar mereka yang ngomong mulu gak berhenti membuat aku semakin kesal “Aiiiih, kalian itu ngomong terus. Sebenarnya kalian mau apa sih?” gerutuku. “Berenang, nonton film, meeting dengan klient jam 1 nanti jangan lupa, jalan-jalan, karokean” “Jangan lupa makan malem di restoran yang waktu itu” ucap Kha. “Ya, udah. Cepat kalian ke depan dan berhenti ngomong terus. Aku mau masak” “Toilet dimana?” ucap Na. “15 langkah dari tempat kamu berdiri!” ucapku kesal. Ia pun langsung pergi ke kamar mandi. Aku menuangkan makananku ke mangkuk. Mata Kha masih menatapku. Kadang melihat tatapannya berbeda seperti ada sesuatu. Perkerjaanku yang masih banyak mengabaikan semua tindakannya yang mencurigakan. Semua peralatan masakku aku taruh semua di sink kemudian mencucinya, hingga Busa untuk mencuci peralatan masakku memenuhinya. Si tinggi putih menyebalkan disebelahku membantuku menaruhnya di rak. Tidak biasanya dia membantuku seperti ada sesuatu yang tersembunyi di otaknya. Tiba-tiba semuanya senyap. Na datang penuh semangat. Ayam dari oven pun sepertinya sudah matang. Aku mengeluarkannya dan terlihat sangat enak. Aku membuat 2 sambal yang satu sambal tomat dan yang satu lagi sambal cabai rawit merah. Aku membawa semua makanan itu ke depan dan menaruhnya diatas lantai, dibantu dengan 2 orang gak jelas ini. “Eh, kenapa di taruh dibawah?” “Ini lebih enak” ucapku. “Lagian mau ditaruh dimana lagi?” Mereka saling menatap dengan wajah penuh tidak kepercayaan padaku tapi, sepertinya gak perduli. Akhirnya kami pun menikmati makanan yang ada. “Wuuuiiih, enak banget. Gak nyangka kamu jago masak” ucap Kha. “Apa aku bilang” Na menimpali. Kha mencoba mengambil sambal yang dari tadi aku makan “Jangan Kha!” ucapku. “Hah, kenapa?” “Ini sambal extra pedas punya kalian yang itu sambal tomat” “Aku mau nyoba” ucap Kha penasaran. Na pun mengambil karena mereka berdua keras kepala jadi aku membiarkan mereka menikmati pedasnya sambal buatanku. “Uhuk. Uhuk. Uhuk. Sambal macam apa ini?” tanya mereka berdua dengan ekspresi wajah mereka terlihat panik. Mereka batuk, wajah mereka berdua memerah dengan sangat cepat. Mempunyai tubuh yang putih di saat seperti ini tidaklah membantu sekali. “Hahahahah” aku tertawa puas sambil menuangkan mereka minuman daripada berakhir dengan pertengkaran karena rebutan air minum “aku kan udah bilang. Ini tuh cuma cabe rawit merah gak terasa banget tapi, mendalam pedesnya” Mereka buru-buru minum, mulut mereka menganga seperti ikan yang kehabisan air. Setiap kali aku meuangkan air selalu saja menghilang dalam sekali tenggak. “Ini benar-benar gila” ucapnya berat. “Kenapa wajah kamu biasa aja waktu makan?” Kha sangat kesal. Aku tersenyum “Makasih semuanya” mereka yang tadinya kesal pun kini tersenyum manis padaku. Bahkan hal bodoh ini seperti ini masih bisa membuat orang dewasa tertawa. -o0o- Hari ini aku benar-benar melakukan semua yang mereka minta. Kami juga sempat mengunjungi rumah sakit Nai, memberinya bekal makan siang. Nai sepertinya senang tapi, dia sangat sibuk jadi kita gak bisa ngobrol banyak. Sekarang jam 11 malam aku mulai mengantuk sedangkan mereka asik karokean. Melihat pesan di hpku, aku yang malas memperhatikan mereka pun memilih untuk tidur dari pada ikut karokean. Merasakan sebuah punggung yang luas dan hangat membuat aku semakin menguatkan pelukanku. Memeluknya, merasa sangat nyaman, merasa semuanya akan baik-baik saja, merasa bahwa semua ini tidak akan berakhir. “Terima kasih” -o0o- Keesokan harinya aku lagi-lagi bangun di kamar… tapi berbeda. Kali ini aku sendiri gak ada Na. Bangun tidur aku mandi seperti biasanya. Sekeluarnya dari kamar mandi aku langsung mengacak-acak lemari pemilik kamar ini, mencari pakaian yang bisa aku gunakan. Tidak biasanya Na keluar sebelum aku. Keluar dari kamar. Aku menuruni tangga menuju ruang makan. Benar saja mereka sedang berkumpul di ruang makan. Bahkan paman. “Pagi” sapaku. Aku salaman dengan paman. “Kamu nginep disini lagi?” tanya Paman. “Ah, iya. Aku berakhir disini” ucapku canggung. “Kamu gak melakukannya ke aku?” ia mengulurkan tangan kanannya. Bibirku langsung manyun tapi, aku tidak menolaknya dan melakukan apa yang dia minta. “Puas?” “Kamu yang janji?” “Aku bilang kalau gak ada orang” alisnya diangkat setinggi-tinggginya. Kepalanya mengangguk sepertinya Kha tidak memperdulikanku. “Duduklah kita makan bareng. Kalian selalu aja berantem kalau ketemu? Aku masih gak peracaya kalau kamu sekertaris Khana” ucap paman. “Iya, yah. Mereka emang selalu begitu dari dulu” “Aku juga gak tau kenapa bisa menjadi sekertarisnmya. Seingatku aku gak pernah mengatakan setuju” ucapku. Tanganku meraih kursi dan duduk disebelah Na. “Ya, tapi, kamu pindahkan?” balas Kha angkuh. Tidak ingin terbawa pertengkaran anaknya paman mengalihkan pembicaraan kami “aku dengar masakan kamu enak banget” “Ah, biasa aja Paman. Aku cuma suka masakan kampung aja. Ayah, ibuku kan bukan orang kaya. Mereka dulunya juga petani jadi, kami lebih suka sesuatu yang alami dan kampung seperti, pecak jantung, lalap, urap” ucapku. “Paman juga suka walau pun paman bukan orang pedesaan” ucapnya memeperbaiki kosa kataku. “Aku dengar orang tua kamu punya sawah?” Aku mengangguk “iya, Paman” jawabku berlahan. “Aku pikir gajimu juga cukup baik tapi, kamu memilih tinggal di kontrakan kecil seperti itu?” tanya lagi paman heran. Aku tidak tau kalau paman mencari tau kehidupanku sampai segitunya. Apa mereka membicarakan tentang aku dibelakangku? Mereka berdua memang. Ah tapi, paman tau keluargaku sementara aku gak pernah cerita apa-apa tentang keluargaku ke mereka. “Aku… tidak suka spasi yang tidak digunakan. Kalau aku tinggal ditempat mewah akan ada banyak spasi” “Alasan yang masuk diakal walau sulit diterima” jawab paman datar. Na mengambilkan makanan untukku “ini makan dulu!” “Yah” jawabku. “hmmm, aku suka tempatnya. Anggap aja begitu” menimpali kebimbangan paman akan jawabanku sebelumnya. “Mungkin uangnya habis karena porsi makannya yang banyak yah. Kalau ayah lihat waaaah, dia tuh kalo udah makan segudang” Khana melebih-lebihkan ekspresinya. Tangannya membuat gunung yang sangat besar seakan-akan aku sanggup menghabiskan makanan sebanyak itu. “Ah, Kha apa kamu bisa bersikap normal” “Aku normal kamu yang enggak” “Hiiii, kamu yang bersikap berlebihan” “Kamu kan emang makannya buwaaaannnnyaaak banget” ledeknya. “Kamu juga makannya buwaaannnyaaaaak banget” “Kapan?” “Aku ngarang” “Mana boleh kayak gitu” “Tapi, paman gak tau” “Sekarang dia tau” Aku melirik paman “aaaaah, awas aja nanti” ucapku kesal sambil menunjukan tinjuku. Kha menunjukan kepalan tangannya lebih besar. Aku menggepalkan kedua tanganku bersamaan. Saat Kha akan melakukan hal yang sama paman menghentikan kami. “Hahaha. Jarang-jarang loh anak paman deket sama orang luar” Aku tersenyum “Iya Paman” “Jadi gimana ceritanya kalian bisa dekat?” Aku menatap semuanya “Ah, aku gak tau Paman tiba-tiba aja dia memintaku menjadi sekertaris dan baik denganku. Na aku juga gak tau seingatku dia menolongku dan aku tidak tau kenapa dia dekat denganku” penjelasan singkatku sepertinya tidak bisa diterima keduanya. Wajah mereka terlihat sangat kesal. “Bukan gitu ceritanya!” ucap Na. “Ah, aku cuma inget bagian itu doank” ucapku datar. “Iya, emangnya kamu gak inget kejadian sebelumnya?” ucap Kha. Aku berfikir sejenak “Eh, aku cuma menolongnya dan tiba-tiba kamu jadi baik apa lagi setelah kita makan di restoran bareng temenmu?” ledekku. Mereka menjelaskan dengan cerita mereka yang sangat berbeda dari cerita Kha  aku terlihat gadis superbisa yang aneh sedangkan dari Na aku terlihat gadis lemah tak berdaya yang bodoh. Aku tidak tau bagaimana mendescripsikan diriku sendiri jadinya. Sementara paman hanya tertawa melihat anaknya sangat bersemangat menceritakan kehidupanku padanya. Ia terlihat sangat dewasa dan berkharisma. Melihat mereka seperti ini membuat aku merindukan hal yang sama. Aku pernah tertawa dengan adikku. Aku pernah tertawa dengan ibuku. Aku pernah tertawa dengan ayahku. Tapi, semua itu dulu. Sebelum dosa menghancurkan segalanya. -o0o- Setelah selesai kami berangkat ke kantor bersama. Perlakuan mereka yang sangat baik padaku membuat aku merasa seperti bagian dari keluarga mereka meski aku adalah gadis biasa yang tidak memiliki harta yang banyak. Mereka tetap mau tertawa denganku. Paman juga tidak seperti orang kaya pada umumnya yang langsung mengejudge seseorang. Paman malah mendengarkan anaknya dengan baik bahkan aku yang bukan dari keluarganya. Aku benar-benar iri dengan keluarga ini.  Duduk dibelakang bersama Na. Dia tidur bersandar pada bahuku, gadis yang beda setahun lebih muda denganku ini menikmati lenganku. Merangkulnya erat. Melihat Kha yang sesekali memperhatikan dari kaca mobil, sedikit mengherankanku. Mataku berpaling darinya. Bibirku terkunci. Na terus saja memainkan hpnya. Mataku sibuk menghadap ke jalanan yang padat. Sesampainya kami masuk bersama. Semenjak aku berteman dengan mereka memang gak ada yang berani melabrak aku lagi. Tapi, aku tau itu tidak menghentikan gosip yang bertebaran. Aku segera ke pantry, mempersiapkan minuman untuk Kha. Setelah itu berjalan menuju keruangannya sambil membawa secangkir kopi. Semuanya terasa sangat tenang sampai tiba aku mendengar Kha teriak. Ia langsung melompat ke atas kursi. “.…” Pria keren berwajah manis itu pun terlihat seperti orang bodoh dengan pose yang aneh diatas kursinya. Menyadari aku yang menatap aneh ia pun memperbaiki pose tubuhnya yang aneh. “Kecoa” ucapnya lirih. Malu diwajahnya tidak dapat disembunyikan ketika melihatku masuk kedalam ruangannya dengan wajah terkejut. Aku menahan tawa karena tidak ingin membuatnya semakin merasa buruk. Aku mengulurkan tanganku sambil tersenyum “Turun! Kalau ketemu nanti aku bakalan memukulnya” ucapku. Wajahku menatapnya dengan penuh keyakinan agar membuatnya percaya kalau aku tidak membohonginya. Berlahan ia meraih tanganku, kemudian turun dari kursi. Matanya terus menatapku keheranan. Mungkin dalam otaknya kaget karena aku tidak takut dengan kecoa. “Makasih” “Hm” aku mengangguk sambil tersenyum. Matanya tidak berhenti menatapku. “Vi” “Ya” Ia mengusap pipiku “terima kasih” “.…?!”

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN