Tetesan

1492 Kata
Air mataku tak terbendung lagi. Tidak ada jalan keluar tidak tau bagaimana menyelesaikan masalah ini. Dalam keheningan aku menagis. Kedua tanganku sibuk menyeka air mataku yang mengalir tanpa henti. Merasa semua keindahan itu menjadi sesuatu yang menyakitkan. Bodohnya aku karena kembali terjebak oleh perasaan yang di buat oleh diriku sendiri. “Bagaimana aku menyelesaikan semua ini saaat masa lalu masih merantaiku?” hanya itu yang ada di otakku. “Savi!” dalam kediamanku sebuah suara memanggilku. Aku berbalik dengan sangat cepat karena terkejut tapi… Byurr  Tubuhku jatuh ke kolam renang. Keseimbanganku hilang saat berbalik melihat orang yang memanggilku. Untung kolamnya tidak terlalu dalam sehingga aku bisa berenang ke tepi kolam renang. “Ah, Khana kamu gak bisa gak ngagetin aku?” teriakku kesal. Ia berlari ke arahku “apa kamu gak bisa 1 kali aja gak buat masalah. Hahaha” ia tertawa puas. Berusaha keluar dari kolam. Khana mencoba membantuku dengan memberiku tangannya. Tapi. tanganku menepisnya. Berjuang keras ke tepi kolam sendiri. Walau sepatu tinggiku sangat menyusahkan. Terdiam sejenak, tanganku melepaskan sepatu hakku, kulemparkan ke tepi. Lalu kembali naik ke tepi kolam renang. Khana tetap membantuku meski aku telah menolaknya. Bajunya sedikit basah terkena cipratan tubuhku. Tanagnnya meraih sapu tangan disakunya. Aku pikir itu untuk bajunya tapi, ia mnegguankan itu untuk mengelap wajahku yang basah. “Apa kamu marah?” pertanyaannya terdengar biasa saja tapi, senyuman penuh kebahagiaan yang terlihat jelas diwajahnya membuat aku merasa curiga. Melipat tanganku, manyun, mengalihkan wajahku kearah lainnya. Berharap dia pergi meninggalkan aku. Tangannya yang besar mencubit kedua pipiku “ngambek muluuuuu” “Aku kedinginan. Aku mau kembali ke kamar” ucapku bete. “Aku anterin kamu, udah jangan ngambek lagi!” ledeknya yang semakin membuat aku kesal. “Khana, aku kan perempuan nanti apa kata yang lain!” rengekku. “Aku anterin kamu sampai depan kamar aja” ucap pria berjas hitam dengan garis abu-abu. “Aaah” rengekku “aku gak mau!” ucapku kesal. “baiklah biar…” “Eh, kamu kenapa?” Narita memotong pembicaraan kami. Ia sangat terkejut melihatku basah kuyup gak jelas seperti ini. “Dia pengen berenang katanya” ucapnya sambil tertawa. “Khanaaaa!” teriakku kesal. “Dia jatuh gara-gara aku panggil” Narita memberikan jasnya untuk menutupi tubuku dan mengusap air yang yang membasahi wajahku. Beda sekali dengan perlakuan Bosku “Udah jangan marah-marah ayok kita kembali ke villa” mendengar cara bicaranya yang seperti orang dewasa, nada yang sangat lembut itu bagaimana aku bisa menolaknya. Aku membiarkan dia mengantarku kembali ke villa. Tangan panjangnya merangkulku mencoba menghangatkan tubuhku yang mengigil kedinginan. -o0o- Keluar dari kamar mandi, berbalut handuk kimono tubuhku terasa jauh lebih kecil dari biasanya. Bibirnya yang tersenyum menatapku mengunci bibirku seperti orang bodoh. Emosi atas kejadian sebelumnya masih menyulut hatiku, wajahku tidak mampu berbohong padanya. Pipi yang seperti balon. Bibir yang manyun. Juga, tingkah lakuku yang kurang menyenangkan pasti sudah bisa ditebak olehnya. Narita yang semenjak tadi sibuk dengan hpnya kini menatapku. Menaruh hpnya di meja, mendatangiku membawaku ke tempat tidur. Dengan lembut ia mendudukanku diatas tempat tidur. Kedua tangannya mengeringkan rambutku dengan handuk. Wajah kami saling berhadap-hadapan. Kelembutan wajahnya yang terlihat sangat manis membuatku ingin menyentuhnya. Menyadari bahwa ia tersenyum karena diriku yang sibuk memperhatikannya aku pun mengalihkan pandanganku. Pipiku kembali memerah. “Kenapa?” pertanyaan kecil dari Na itu membuat aku gugup karena tidak ada jawaban yang bisa aku sandingkan padanya. Ia menarik wajahku hingga kami saling bertatapan. Tangan kecilnya mengusap pipiku “Kenapa kamu gak bisa menatapku?” ucap bibirnya yang lembut, merah dan berkilauan. Wajahku memerah, nafasku memburu. Kami sangat dekat saat ini. Mataku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari bibirnya itu, terkunci oleh keindahannya. Tiba-tiba tubuhku bergerak sendiri melingkarkan tanganku pada lehernya. Sekarang aku merasa yang entah otaknya sudah benar-benar dalam kontrolannya menciumnya. Bibirku menikmati setiap sentuhan yang bibirnya berikan. Memakannya berlahan, menghisapnya, memainkannya. Ia membuka mulutnya, mengijinkan lidahku masuk untuk bermain didalamnya. Kami saling mengaitkan lidah kami seolah-olah menari didalam kenikmatan yang beradu. “.….” “?!” Tersadar. Mataku terbelalak menyadari kebodohanku. Aku langsung melepaskan ciuman nikmat begitu saja membuatnya bingung dengan sikapku yang berubah mendadak. Wajahku sangat syok begitu juga dengannya. “Ah, maafkan aku” grogi, deg-degan, kebingungan. Setiap kali tubuhku berusaha menjauhinya dia menghadangku. Matanya menatapku tanpa henti, tertunduk karena tidak tahan dengan pesonanya. Matanya mencari celah agar aku bisa melihatnya.  Kedua tanganku menopang tubuhku yang terus berusaha kabur dari pandangannya. Tidak behenti ia terus mendekat hingga aku terjatuh keatas tempat tidur. Matanya menatapku lembut namun, tangan kecilnya memegang punggung tanganku mengarahkannya ke bibirnya. Jantungku berdebar sangat kencang, sebuah kecupan pada jariku, membelalakan mataku. Berlahan bibir manis itu menciumi jariku satu persatu. Aku bisa merasakan setiap sentuhan yang ia buat memberikan aliran listrik yang sangat kuat padaku sampai-sampai sekujur tubuhku terasa sangat lemah. Matanya fokus menatapku tajam. Tangannya menuju bahuku, aku meraskan tangannya sangat lembut menjelajah. “Narita” panggilku lirih. Mata sayu, wajah memerah, juga nafas yang memburu. Aku sudah tidak dapat mengontrol diriku yang terlalu menginginkannya. Si putih yang mengggoda mendekatkan wajahnya padaku sambil tersenyum nakal, menggodaku dengan belaian tangannya yang lembut ke wajahku. Mataku terpejam menikmati setiap sentuhan yang ia berikan saat aku menggosokan pipiku ke tangannya seperti kucing. “Ini bukan pertama kalinya kan?” aku mengangguk tanpa sadar. Nafas yang sangat panas itu tergantikan oleh kelembutan yang terasa di bibirku sangat dalam hingga aku tidak bisa bernafas. Ciuman ini terasa lebih panas hingga tubuhku mengeliat mendorong tubuhku ke tubuhnya. Jarak antara tubuhku dan kasur pun melebar bersamaan dengan tangannya yang merayap ke bawah bajuku dari pinggang menuju punggungku. “Na~” lenguhku semakin berat. Entah kenapa saat kenikmatan ini menjeratku dengan sangat rakus kilasan masa lalu terlintas dalam benakku. Aku mencoba mendorongnya. Tenagaku terkalahkan oleh nikmat yang terus saja membanjiri tubuhku menenggelamkanku pada keinginan nakal yang lama tertahan. Kaki kanannya mencoba memisahkan kakiku mendorong hasratku semakin dalam lagi. Bibirnya menjelajah turun ke leher menghisapku seperti lintah. “Mmmmpft Na…” Aku melenguh, menggeliat mencoba menahan hasrat yang terdorong saat dia menggodaku dengan tubuhnya. Air mataku keluar karena ribuan kenikmatan ini menyengatku beruntun. Ia melepaskan ciumannya menggantikannya dengan senyuman nakal yang keluar dari bibirnya. Aku benar-benar sudah kehilangan kendali atas diriku; tidak tau mana yang lebih banyak antara dia melihat wajahku atau mulutku yang tidak bisa mengatur nafasku. “Aku bahagia” ucapnya berlahan namun dengan senyuman yang benar-benar membuat aku semakin hilang kendali. Tanganku meraih lehernya, menarik wajahnya. Bagaimana aku bisa berhenti menciumnya kalo aroma tubuhnya, kelembutannya, mengggodaku seperti ini dan bagaimana ciuman ini bisa menenggelamkan aku. Aku benar-benar sudah tidak tahan lagi. Aku ingin tenggelam bersama dirinya.  Kali ini. “Na~” “Vi, jangan berhenti memanggil namaku” -o0o- Pagi hari, aku terbangun dalam pelukannya. Tubuhku rasanya sakit seperti habis tertindih truk. Kepalaku juga sakit namun, cahaya yang sudah mulai mengintip dari jendela itu memaksaku untuk bangun. Tanganku melepaskan pelukannya kemudian berlahan menyandarkan punggungku pada bedboard. Baru saja aku melepaskannya, ia sudah kembali memelukku erat. Bayangan semalam masih saja terlintas dipikiranku membuat aku merasa bersalah padanya. Pandanganku teralihkan pada wajahnya terdapat banyak sekali bekas garis-garis kain. Kalau dilihat dia memang ganteng banget. Senyumannya juga sangat manis. Aku pikir aku sudah menyukainya tapi… aku tidak bisa. Tidak bisa melanjutkan semua ini. Aku merasa ada penolakan yang besar tapi, aku tidak bisa mengabaikan perasaan ini. Darah fujoku juga merasa galau bagaimana seorang lesbian yang menjadi penikmat fujo. Gak jelas kali. Melihat diriku dari kaca rias yang berdiri tepat sejajar denganku saat ini. Rasanya gak ada perubahan antara diriku yang saat ini dan sebelumnya. Tanganku menyingkirkan tangannya, beranjak dari tempat tidur, menuju ke kamar mandi. Seusai mandi, aku keluar sambil mengeringkan wajah dan leherku. “Dorrr” teriaknya. Dia mengagetkanku, hampir saja jantungku lepas. “Naritaaaa!!!” teriakku kencang. Ia memelukku dari belakang saat aku berusaha mengabaikan dia. “Aku bahagia sekali” ucapnya dengan sneyumannya yang merekah. Dengan sangat cepat dia menghujaniku dengan ciuman. “Stop! Mandi sana!” ia membalikan tubuhku hingga kami berhadap-hadapan. Ia mau mencoba menciumku tapi, aku langsung menghentikannya “Cepat! Mandi! Dulu! Sana!” ucapku sambil memukul kepalanya. “Baiklah, baik! Pacarku pelit sekali” ucapnya kesal. Walau pun ia terlihat kecewa ia tetap saja tersenyum bahagia meninggalkan aku ke mandi. Sedangkan, aku bersiap-siap karena jam 9 bus akan berangkat ke Jakarta lagi. Aku merapikan pakaianku juga barang milik Narita setelah itu aku hanya duduk ditepi tempat tidur sambil bermain Hp. Keindahan semesta terpampang dilayar hpku membuat aku terpukau dan sangat terharu melihatnya. Narita sambil mengeringkan lehernya. Tubuhnya yang kecil itu terlihat lucu dengan kaos putih yang besar itu. Menyadari kedatangannya aku pun langsung memasukan hpku ke dalam kantong celana dan tersenyum padanya. “Kamu juga ngerapiin punya aku?” ucapnya sambil tersenyum. Wajahnya menujukan kalau dia sangat bahagia. Bahkan, pori-porinya juga terlihat bahagia. “Bagaimana aku bisa menolak orang seindah ini?” keluhku dalam hati. Bahkan tanpa berbuat apa pun dia sudah mempesona. Tapi, kenapa aku baru menyadarinya? Itu yang gak aku mengerti. “Ini udah jam 8.30 kamu gak mau sarapan?” “Ah, aku ada snack” Ia memberiku roti dengan selai kacang. Aku terdiam “aku gak suka” ucapku. Ia memberikanku rumput laut rasa washabi “Aku juga gak suka” dia terdiam sejenak. “Aku gak suka ini so…” Ia menunjukan sebuah kripik yang sangat pedas. Aku pun mengambil makanan itu “Aku suka” Aku memakannya dengan lahap walau ditemani dengan air putih. “Pagi-pagi udah makan pedas nanti sakit perut?” “Aku suka, jangan khawatir perutku kebal” “Ah. Kita pulang bareng yuk….!” “Ah, aku mau tidur di bus jadi, aku gak bisa” “Itu alasan yang konyol untuk sebuah penolakan” tegasnya. “Apa kamu mau aku berbohong?” tanyaku kesal sambil menatap matanya. Dia tersenyum “Bodoh, baiklah aku percaya. Aku juga gak mau kamu kelelahan. Apa kamu orang yang seperti itu?” Aku menganggukan kepala dan melanjutkan memakan snack pedesku. Sebenarnya Narita dan Kha membelikan banyak cuma yang tersisa tinggal ini saja karena kemarin aku didalam kamar sepanjang hari. Setelah selesai aku pun kembali ke bus dan menikmati perjalanan ke Jakarta dengan tidur sepanjang perjalanan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN