Katakan!

859 Kata
Pagi-pagi aku sudah sampai di kantor. Rasanya damai sekali. Tidak ada orang yang memandangku dengan tatapan sadis lagi. Mungkin karena mereka aku pukul habis-habisan jadi, mereka ketakutan. Aku jadi merasa bersalah. Berkerja seperti biasanya di mejaku yang penuh dengan tumpukan kertas. Hari yang cerah membuat aku sedikit bermalas-malasan. Perkerjaan hari ini juga tidak terlalu banyak. Narita mendatangiku. Senyumannya sudah terlihat dari ujung jalan. Aku tau pasti dia kesini selain ngasih tugas pasti untuk menggodaku. Kadang aku heran padanya karena tidak pernah memperdulikan tempat. “Hi, ini buat Pak Khana dan ini untuk kamu!” ucapnya dengan semangat sambil mencium pipiku. Aku terus menatap komputer tanpa memperdulikannya “Taruh aja. Aku mengantarnya nanti” ucapku datar dan masih terus dalam mode fokus. “Baiklah” ia terdengar kecewa karena aku seperti mengusirnya. Wajahnya dengan cepat kembali normal walau pun, aku tau pasti dia merasa kalau aku mengabaikannya. Aku masih belum siap dengan semuanya. Aku mengabaikan Narita semenjak kami kembali dari puncak. Ini sudah 2 minggu setelah kejadian itu. Wajahnya terlihat murung setiap aku bersikap buruk padanya. Namun sekalinya aku bersikap baik padanya, senyumannya tidak ada habisnya. Aku hanya ingin fokus pada perkerjaanku dan juga Khana. Setiap kali kehadirannya hanya membuat aku merasa bersalah padanya. Aku tidak ingin semuanya kembali terulang. Bisakah kamu menghentikan hal bodoh ini. Pada akhirnya kita akan saling menyakiti satu sama lain. Akhiri dengan cepat dan bahagia akan datang lebih cepat! -o0o- Di ruang Pak Khana beberapa file sedang aku rapikan. Beberapa yang sudah ia periksa dan tanda-tangai aku kumpulkan sesuai perintahnya. Wajahnya terlihat sangat serius setiap kali ia menghadapi perkerjaannya. Moodku yang sedang buruk membuat apa pun yang aku lakukan terasa tidak menyenangkan. Aku hanya melakukan apa yang ia perintahkan. “Menurut bapak bagaimana?” “Aku pikir ini perlu di check ulang. Aku mau tau siapa penanggung jawabnya” Aku hanya mengangguk sambil menggigit pulpen. Matanya melirikku, mempertanyakan ketidakseriusanku “ada apa denganmu?” ucapnya penasaran. “Ah, aku gak papa. Emangnya kenapa?” “Aku liat kamu murung terus? ngindarin Narita juga? Emang dia bikin masalah apa?” tanyanya serius. “Tidak ada” jawabku lirih. “Aku pikir kamu jadian sama dia. Di pesta kemarin kalian terlihat mesra sekali” “Apa bisa kamu memeluk aku?” pintaku memelas. Wajahnya terlihat kebingungan dengan permintaanku saat ini. Aku tertawa aneh untuk menyembunyikan kesedihanku. Berbalik, menghindari kontak mata dengannya “sudahlah aku cuma bercanda” aku beranjak pergi tapi… Sebuah kehangatan terasa di punggungku, nyaman “aku senang saat kamu bahagia. Kalau ada seseorang yang membuat kamu sedih aku dan Nai akan membantu kamu” bisiknya berlahan. “Hm. Terima kasih” menganggukku. Berlahan aku melepaskan pelukannya dan pergi meninggalkan ruangan ini begitu saja. Otakku terus saja memikirkan tentang Na. Aku gak bisa menghindari dia terus tapi, aku juga gak mungkin bersamanya. Aku tidak tau apa yang akan aku lakukan. Benar-benar depresi dan stuck. Sebenarnya ada seseorang yang aku bisa hubungin untuk membahas masalah ini. Tapi, aku gak mau mengganggu dia karena setiap kali aku menghubunginya cuma saat aku ada masalah walau pun, dia tidak pernah komplain. -o0o- Jam 5, aku bersiap-siap untuk pulang. Aku sibuk merapikan mejaku. Setelah selesai tanganku langsung meraih tas dan berlenggang pergi. Kakiku baru saja melangkah. Pak Khana mendatangiku, menyeret kerahku seperti kucing. Semua orang menatap kami keheranan dengan perlakuannya. Jangankan mereka aku saja heran. Dia tidak pernah menganggapku seperti manusia. Moodku semakin memburuk. Pipiku mengembung, dan manyun sepanjang jalan. Kami berdua berdiri didepan lobi tanpa berkata apa-apa tak lama setelah sebuah mobil datang. Ia melemparkan tubuh kecilku ke jok belakang. Sedangkan dia duduk disebelah Nai. Mereka mengobrol seperti biasa. Aku hanya manyun di belakang seperti orang bodoh. Ingin sekali merengek minta pulang tapi, aku malas untuk berdebat dengan mereka. Sesampainya didepan sebuah restoran, kami semua masuk.setelah duduk tak lama seorang pelayan mendatangi kami dan mereka pun memesankan makanan. Mereka terlihat bahagia sekali.  Moodku yang buruk tidak mengijinkan hatiku untuk tersenyum pada mereka. Yang aku inginkan saat ini adalah pulang dan menikmati malamku hanya dnegan diriku. Makanan datang semuanya terlihat sangat nikmat. Mereka melahap makanan dengan nikmat. Aku pun menikmati pesananku dengan sangat lahap. “Savi!” teriaknya. “Aw” aku terkejut “ngapain kamu kesini?” tanyaku heran “Aku ngeliat Khana ngelempar kamu ke mobil aku pikir kalian ada masalah?” “Ah, kita temen gak mungkinlah aku sekasar itu ke dia” ucap Khana sambil tertawa kecil. Aku rasa dia sudah melupakan kejadian beberapa menit yang lalu dengan gampangnya padahal leherku masih merah karena tarikannya itu. Bibirku semakin manyun mendengar perkataan bosku. “Heeeiii, kenapa muka kamu?” tanya Khana heran. “Gak” ketusku. Na menyipitkan matanya, menatapnya serius “aku aduin ke ibu loch?” “Eh, jangan bawa-bawa ibu” ucap Khana kesal. Aku menatap mereka berdua keheranan “Kalian kenal?” “Apa kamu gak ikut acara di puncak?” “Apa aku melewatkan sesuatu?” tanyaku penasaran. “Anggep aja dia keponakanku” ucap Kha. “Memang” ia langsung duduk dengan wajah bete “Kemarin dia sempet ninggalin aku sesaat sebelum Paman manggil jadi, dia gak ada pas aku ngenalin diri ke staff yang lain. Yang aku tau aku ngeliat dia sudah basah kuyup” “Apa aku boleh pergi?” pertanyaanku mengejutkan semua orang. “Ayolah, Savi!” ucap Khana kesal. “Pergilah!” suara Nai terdengar sangat ketus. Aku menatapnya “Pergilah kalau kamu gak ngerasa nyaman!” tambahnya “Naaai!!!” Kha merengek. Narita terlihat sangat kesal “Kak, apa paman di rumah?” ucap Narita sambil matanya terus menatapku. Aku terus saja menunduk. “Kayaknya ayah baru pulang week end ini” ucapnya santai. “Jangan pulang!” ucap Narita. Narita menarikku dengan sangat cepat sampai lenganku memerah. Kami berhenti di parkiran dan dia memakaikan aku helm. “Aku lelah sama kamu!” Dia naik motor dan menarikku untuk duduk dibelakangnya. Wajahnya memerah hingga telinganya, dia terlihat marah sekali. Aku yang ketakutan pun hanya menuruti perintahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN