Lubang kesakitan

1066 Kata
Di depan rumah, aku turun dari motor, berlari menuju kontrakanku. Aku berusaha membuka pintu namun pintunya masih terkunci. Kekhawatiranku semakin bertambah saat aku melihat sekitar dan tidak ada tanda-tanda kehadiran Ibuku. Tanganku merogoh saku kananku dan mengambil hpku, mencoba memanggil ibuku sambil melihat keadaan sekitar. “Hallo… aku udah di depan rumah, ibu dimana?….Ah, baiklah” Aku membuka pintu dan langsung membersihkan rumahku walau tidak banyak yang ahrus dibersihkan karena sebenarnya tidak ada apa-apa disini kecuali tivi dan sofa. Na hanya duduk sambil menikmati tayangan televisi dengan santainya. Aku tidak berharap membantuku karena aku tau orang-orang seperti mereka pasti tidak tau yang namanya bersih-bersih. Tok tok tok Suara ketukan pintu terdengar. Aku berlari keluar dan membuka pintu. Walau pun keringatku bercucuran aku mencoba bersikap biasa di depan orang tuaku. Sikapku yang sangat berbeda sepertinya membuat Na sedikit heran. Ia berdiri dibelakangku tapi, matanya tidak lepas dariku. “Savi” panggil ibuku. Kami pun berpelukan menyiratkan betapa saling merindunya kita setelah beberapa tahun tidak bertemu. Aku salaman dengan ibuku  dan juga adikku. “Masuk semuanya, maaf kontrakannya kecil” “Hallo Tante” ucap Na. Ia pun salaman dengan semuanya. “Ini temanku kami satu kantor” “Iya, kami baru pulang dari acara kantor” “Udah duduk aja dulu!” ucapku. Aku menaruh semua barang ibuku ke kamarku sendiri. Melihat aku keberatan dengan semua barang Ibuku dia berusaha membantu tapi, aku melarangnya karena tidak ingin ibuku berfikir macam-macam “Ibu kalau mau istirahat, istirahat aja nanti aku masakin. Kamu juga dek.” “Aku mau jajan” ucap adekku. “Eh, ini uang jajan sana!” aku memberinya uang 100k dan ia pun langsung ke tersenyum. “Ah, kakakku memang sangat baik seeeeeekaliiiii” ucapya sedetik sebelum ia menghilang dari rumahku. “Kamu bener-bener mau masak?” wajahnya meragu ketika kata masak keluar dari mulutku. Aku memukul kepalanya “Iya! Ayo mau ikut gak!” jawabku ketus. “Tentu aja. Aku bakalan memastikan kalau kamu masak masakan manusia” “Awas entar kalo makan!” “Ah, pelit banget” Kami meninggalkan rumah menuju warung sayur yang tidak jauh dari sini. Tangan jail Na membuat kami tidak berhenti berkelahi sepanjang jalan. -o0o- Seusai belanja aku langsung mempersiapkan semua bumbu dan bahan. Dia hanya membuat aku tertawa terus menerus tapi, tidak membantuku sama sekali. Aku meragukan juga kalau dia bisa membantuku. Setelah pengorbanan yang panjang. Bertarung dengan minyak dan api akhirnya masakan kami pun selesai. Aroma nikmatnya seperti memenuhi seisi rumah senyumku pun membumbung tinggi. Aku pergi ke kamar untuk memanggil ibu dan adikku tapi adikku sudah terkapar dengan semua jajanan di tangannya. Aku pikir membiarkannya tertidur sepetri itu adalah pilihan terbaik. “Ibu ayo, kita makan!” “Iya” Ibu pun keluar dan kami duduk di lantai tepat di depan tv. Ibuku sepertinya kaget melihat dia belum pulang. “Tante” Na terlihat sangat normal maksudku dia terlihat tidak canggung. “Ayo, ayo, masakan Savi emang gak begitu enak tapi lumayan” ucap ibuku. Aku tersenyum “ayo, makan semuanya!” Semuanya menikmati makanan “Aw, ini enak” ia pun makan dengan sangat lahap “Besok kamu harus masakin buat aku!” “Aku bukan pembantu kamu!” tegasku. “Apa kamu gak mau berbaik hati dengan temanmu yang sangat manis ini” Aku menendang kakinya dengan kakiku “Eat this!” “Vi, gak sopan ih!” tegur ibuku. “Dia mah emang gitu Bu” ucapku santai. “Ohya, kamu tinggal dimana?” tanya ibuku. “Lumayan jauh Tante tapi gak begitu jauh dari perkerjaan” “Apa orang tua kamu gak khawatir” tanya ibuku lagi. “Ah, kedua orang tuaku udah meninggal. Aku tinggal bersama Paman dan dia yang selalu menjaga aku sampai saat ini” “Udah makan aja” tegurku. Makan kali ini terlihat sukses. Ibuku terlihat tidak mempermasalahkan kedatanganku yang terlambat. Kami menikmati makanan walau pun disela-sela waktu kami tetap berkelahi. Seusai makan Na pamitan pulang, aku pun mengantarnya kedepan rumah. Aku sangat lega hari ini terasa lebih menyenangkan tanpa masalah sedikit pun. -o0o- Malam hari, aku berbaring di sofa hitam satu-satunya hal yang ada di kontrakan kecilku. Aku tidak tidur hanya menghadap sandaran sofa dengan mata terpejam. Dalam keheningan malam, aku mendengar suara langkah kaki mendekatiku. Mendengar langkahnya saja aku tau siapa yang sedang mendatangiku. Duduk dibelakangku berlahan. “Vi..” panggil ibuku. Ia tau kaalu aku bukanlah ornag yang mudah tidur di jam segini terutama siang tadi aku sduah menghabiskan banyak waktu untuk tidur “Kamu tuh udah….” “Bu… bisa gak kita gak usah bahas itu lagi!” tau apa yang ingin ibuklu bicarakan mulutku tidak tahan untuk memutus arah pembicaraan kami. Ia terlihat sangat kesal “Kamu tuh gak ngerti orang tua ngomong baik-baik tapi,  kamunya malah kaya gitu!” ia meninggikan nadanya. Aku bangun dari tidurku dan menatap ibuku “Bu kan udah selesai. Aku gak suka bahas masa lalu. Aku nyoba maafin semua orang tapi kenapa malah Ibu yang bahas itu lagi, itu lagi. Aku udah ngelewatin masa itu, Bu!” tegasku. “Kamu tuh, Vi gak pernah ngerti orang tua. Kalo dibilangin selalu aja ngelawan!” “Bu, terserah Ibu ngecap aku anak durhaka atau enggak. Tapi, udah lah. Kalo udah ya udah. Aku capek bahas ini terus! Sampai kapan ibu mau ngelemparin masa lalu kekehidupanku sekarang ini?” nadaku semakin meninggi. Ibuku menangis “Kamu tuh, aku bela-belain kesini cuma buat ketemu kamu tapi malah diginiin?” “Terus aku harus bersikap gimana bu. Semuanya ngerasa ini berat bahkan buat keluar Tah ini juga berat. Apa belum cukup semua penderitaan yang dia harus tanggung karena perbuatan kami. Berhenti mempermasalahkan hal yang sudah menjadi arang!” “Viii, aku itu ibu kamu. Kamu kok malah bentak ibu sih?” “Bu,a ku bersikap baik asalkan jangan bahas hal ini. Aku udah berkali-kali bilang. Bukan mungkin ini jutaan kali. Sampai kapan?” “Kamu! Suatu saat, kamu bakalan tau rasanya kalau punya anak ngomong kaya gitu ke kamu” Ibuku masuk ke dalam kamar dengan mata yang berkaca-kaca. Menyadari betapa sadisnya kata-kataku, air mataku keluar. Ini bukan aku baru menyadarinya tapi, setiap kata yang keluar dari mulutku, hatiku menyadarinya. Rasa bersalah disetiap kata yang aku keluarkan menyesakanku. Tangisan yang ibuku keluarkan merobek hatiku. Aku tau pasti dia sangat marah saat ini dan kecewa dengan perkataan aku tadi. Tapi, aku ingin penderitaanku berakhir. Bisakah aku memohon pada keluargaku untuk hal ini? Berjuta permintaan maaf dariku tidak akan pernah cukup untuk mengobati luka ibuku tapi, kapan pertengkaran ini akan berakhir ini sudah lebih dari 3 tahun dan tidak ada perubahan sama sekali. Aku yang semakin jauh dengan keluargaku, kedua orang tuaku yang semakin kecewa denganku. Kami seperti minyak dan api yang akan terus saling membakar sampai tidak ada yang tersisa dari kami. Kami semakin lihai dalam menyakiti masing-masing setiap kalinya. Kami saling mencintai tapi, pemikiran kita berbeda. Era yang kami ambil terlalu berjauhan tapi, tidak ada dari kami yang ingin memahami. -o0o- Keesokan paginya, aku menggunakan kacamata untuk menutupi mataku yang bengkak. Aku salaman dengan ibuku. Dia sudah bersikap biasa namun, aku masih sedikit emosi dengan kejadian semalam. Meninggalkannya dalam kondisi yang emosi tidaklah baik karena bagiku restu orang tua tetap nomer satu. Bibirku berpamitan padanya berusaha mengubur kemarahanku sejenak. Pergi meninggalkan rumah, aku berharap matahari menyinari tidak hanya bumi namun, jiwa dan ragaku yang gelap gulita.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN