Membuka Tirai

1847 Kata
Setelah kejadian ini kami lebih sering bersama walau pun, aku yang paling sering ketiduran setiap mereka mengajak keluar setelah pulang kerja. Na sering menggendongku ke rumahnya karena hal itu. berharap aku tidak merepotkan mereka tapi, aku tidak bisa menahan kantukku. Setiap aku terbangun, Na selalu saja ada di sampingku. Kadang ia memelukku, kadang ia hanya tidur disebelahku. Melihatnya seperti anak kecil yang sangat imut di sampingku selalu membuat aku terbangun dengan wajah yang bahagia. Sudah lama aku tidak tinggal bersama seseorang, merasakan kehangatan senyuman orang lain, tawa orang lain, berbagi otak bersama, teriak, bercanda. Keluarga ini memberikan apa yang paling aku inginkan. Dalam hatiku aku merasa takut bergantung pada mereka semua. Bagaimana kalau mereka membenciku. Atau bagaimana kalau kita harus berpisah. Apa yang harus aku lakukan. Apa aku bisa kembali ketempatku yang semula. Hari ini adalah hari libur, malas mendekapku, sakit menusuk sekujur tubuhku. Tanganku berusaha meraih hp yang tergeletak diatas almari, melihat ada pesan di hpku. Aku segera membalasnya. “Apa yang dia lakukan semalam!” pikirku. Jariku meng-skrol hpku, melihat banyak sekali miss call. Terkejutku dengan nama yang tertera dihpku. “a***y” aku langsung membuka selimut dan berlari ke kamar mandi. - Sekeluarnya dari kamar mandi, Na masih dengan wajah ngantuknya mengeliat diatas tempat tidur. Tanagnku mendorong tubuhnya kuat bekali-kali agar ia terbangun. Wajahnya terlihat kelelahan, perasaan tidak tega muncul. Jariku mengusap pipinya yang putih, menggemaskan dengan sangat berlahan “aku harus pergi” ucapku lembut. Tangannya yang kuat menarik tanganku ketika aku beranjak dari tempat tidur. Ia mencubit pipiku “aku mandi dulu. Jangan pergi!” ancamnya. “Aku harus pergi buru-buru!” “Jangan menolak!!!”Na berlari ke kamar mandi. Tanpa sadar ternyata pakaian yang aku gunakan kotor “kenapa bisa sekotor ini?” keluhku kesal. Pantas saja Na mengganti bajuku dengan piyama ternyata pakaianku sekotor ini. Bangun dari tempat tidur, dengan kaki telanjang aku melangkah menuju ke depan kamar mandi. Memanggil seseorang yang ada didalamnya. “Na” panggilku dari depan toilet “Na” rengekku tanpa henti. Kamarmandi terbuka. Tiba-tiba ia menarik tanganku kedalam kamar mandi, mendorongku ke tembok. Dia sudah memakai handuk kimono tapi… aku gak yakin apa dia sudah memakai pakaian dalamnya. Terpaku, malu, bingung benar-benar tidak tau apa yang harus aku lakukan. Aku cuma menggenggam bahunya lebih erat lagi saat bibir nakalnya tersenyum padaku. Menundukan kepalaku, berlahan mendorongnya. Tangannya menarik pergelangan tanganku keatas, menahan keduanya. Tanganku dikunci kuat tapi, yang lebih kuat adalah matanya karena menusukku mencari celah untuk melemahkanku yang memang tidak pernah berdaya dihadapannya. Tangan satunya menarik wajahku, penolakanku tidak ada artinya dihadapannya. Dia tau aku tidak bisa berhenti menginginkan dia. Dari posisi seperti ini tubuhnya terlihat jelas menunjukan apa yang tersembunyi dibalik kimononya. Sepertinya dia tau kemana mataku tertuju, senyuman nakal nakal itu keluar. Meledekku yang mulai menginginkannya. “Nakalnya! Kamu gak mau menatapku tapi, menatap yang lain” ledeknya. “Ak_” Harum rambutnya terasa sangat kuat ketika wajahnya mendekati leherku. Tangannya turun merayap berlahan. Tangan satunya masih mengunci kedua pergelangan tanganku. Tangan putih panjang, indah itu sekarang merangkul pinggangku. “Mmph” lenguhku. Hisapan dileherku terasa sangat kuat. Lebih terasa seperti gigitan serangga. Berlahan ia berbisik padaku “bagaimana kamu bisa bilang kamu tidak menyukaiku kalau kamu terus saja mengeluarkan suara sexymu terus menerus seperti ini setiap kali aku menyentuhmu” “Jangan menggodaku Na!” suaraku semakin berat. Ia tertawa kecil “kamu yang selalu menggodaku Vi, kamu. Ingat itu!” suaranya yang lembut itu menenggelamkanku. Serangan ciumannya itu kembali dimulai. Aku membiarkannya. Lagi. Diantara kenikmatan yang sedang ia berikan padak. Aku teringat orang tuaku tapi, setiap kali menolak dia akan semakin ganas memakanku hidup-hidup. “Aaaah, Na. Mmmpfh aku harus pergi” perkataanku dengan tubuhku tidaklah berjalan bersama. Bibirku terus menolaknya tapi, tubuhku semakin menikmati itu. Tubuhku memerah, nafsuku memimpin gak ada kesempatan bagiku untuk melepaskan. Ia menatapku “Suaramu sexy, Vi” lenguhan yang keluar dari bibirnya saat memanggil namaku begitu menggoda pantas saja dia bilang suaraku sexy. Dia terus saja menggodaku. Menarik wajahku, menciumku. Tanganku melingkar di lehernya, membalas ciumannya. “Na~” aku terus saja memanggilnya melenguh menikmati ciumannya yang ganas memakanku. Air mataku keluar saat, dia semakin haus dengan ciumanku. Tangannnya bermain dengan tubuhku seakan-akan tau apa yang harus dilakukan. Tangannya lembutnya mulai turun, berlahan menurunkan bajuku, memperlihatkan bahuku yang kecil. Ia melepaskan kancing bajuku dengan sangat terburu-buru. Aku mencoba menahan tanganya. Ia tidak perduli sama sekali dengan tanganku yang lemah mendorongnya. Ciumannya semakin ganas, tubuhku terasa sangat lemas saat ini. Ia mendorongku ke tubuhku ke tembok dengan tubuhnya. Tangannya mulai menyusup ke bawah bajuku. “Aah” aku menyadari sesuatu ini akan menuju kemana. Aku tiba-tiba memeluknya “jangan!” Ia menarik bajuku semakin turun “Kenapa?” ucapnya sambil mencium bahuku “Aku takut” “Takut apa?” “Dont do that please! I beg you” Memelukku lebih erat “Vi, apa kamu tau betapa kamu membuat aku sangat ingin menyentuhmu. Aku tau aku bukan yang pertama untukmu jadi, bukannya tidak apa-apa?” ucapnya lembut. Bibirnya kembali menciumku menghisap bibir atas bawahku gantian, tangannya membelai punggungku, terasa sangat lembut.Walau pun, aku sudah menolaknya aku masih saja terus membalas ciumannya.  Sentuhan kulitnya semakin membuat aku melayang semakin membuat aku melekatkan tubuhku padanya. Pelukannya semakin erat hingga aku bisa menyentuh kulit putih tubuhnya dengan tubuhku. “Mmmmmpft Naaaa” aku melenguh. Ciumannya semakin turun semakin ganas, membuat tubuhku semakin menurutinya. “Beri aku 5 menit” suaranya terdengar sangat berat. “Aaaaaaah Naaaa” Ia mencium pipiku sebelum menyudahi ciuman panjang ini. Ia menatapku yang sudah gak berdaya dibuatnya “apa masih mau lagi?” wajahku tertunduk “apa ciumanku sangat enak?” “Aku merasa aneh” nafasku terengah-engah. Tanganku mencoba menahan tubuhku dengan memegang bahunya dengan erat. Bahunya memerah. Tangan kecil panjang Na yang merangkul tubuhku benar-benar memuat aku ingin bersandar pada tubuhnya itu. “Aku senang sekali pagi ini. Maafkan aku karena selalu menggigitmu” “Aku lemas” aku masih mencoba mengatur nafasku. “Kalau kamu liat wajahmu saat ini pasti kamu gak pernah menyalahkan aku berbuat seperti ini” punggung telunjuknya mengelap air mataku yang keuar. “Aku cuma lemas, apa ada masalahnya dengan wajahku?” ucap kesal. “Ayok kita keluar atau aku akan benar-benar memakanmu kali ini” ia memapahku keluar. Baju yang sudah basah karena air yang ada ditembok tadi dibuka. Tidak tau apa yang terjadi padaku tadi tapi, aku merasa ada sesuatu yang merasuki hinggga aku tidak bisa melakukan apa pun. “Ini” sebuah baju berwarna putih terbang ke arahku. “Aku gak punya baju perempuan jadi, cuma ini yang aku punya” Aku menggenakan bajunya dan masih kebesaran “Na” panggilku berlahan. Kekesalan yang terus bertambah menambah gusar hatiku memikirkan semuanya. Bagaimana ibuku melihat pakaian yang jelas tidak seperti milikku ini dan bagaimana aku menjelaskan kepulanganku nanti. Ia menatapku dengan senyuman yang sangat manis, Na mendatangiku berlahan memegang tanganku “Vi….” panggilnya lirih namun tegas “Ada apa?” “Na…” aku memeluknya “Ibuku datang. Aku harus mengarang sesuatu biar mereka gak marah karena aku pulang pagi” rengekanku yang tidak ada habisnya hari ini mungkin sudah mmekakkan telinganya namun, dia masih bersedia mendengarnya. Ia melepaskan pelukanku. wajahnya memutih, ia terlihat lebih terkejut dari pada aku. Matanya menatap leherku “kenapa kamu gak bilang? Apa kamu gak tau leher kamu merah semua sekarang ini?” “Terus gimana?” tanyaku panik “Ini gak terlalu jelas kok tapi, jangan sampai kamu buka baju didepan orang tua kamu. Apa kamu tau bekas gigitanku di bahumu sangat merah” ia mengerutkan alisnya. “Baiklah” ucapku polos. Otakku yang tidak bisa berkerja saat ini hanya bisa percaya pada setiap kata yang tertangkap oleh telingaku. “Apa ibu kamu matre?” “Gak” “Apa dia modern?” tanya Na lagi. “Ngak” Na menghela nafas panjang “Apa dia sangat traditional?” “Ya…” jawabku sambil merengek. “Ah, itu kenapa kamu sangat traditional” “Awww, kamu malah ngeledek aku” ucapku kesal. Mungkin ini adalah caranya agar aku tidak merasa khawatir akan semua itu lagi. Sekarang otakku bisa berfikir lebih baik daripada sebelumnya yang terus ketakutan dengan apa yang ibuku pikirkan. Bibir manisnya melemparkan senyuman yang sangat indah. Na mengancing bajuku satu persatu tapi, sesekali ia menyelipkan jarinya untuk menggodaku. Tatapan dan senyuman jahatnya bukan menakutiku malah membuat pipiku memerah. “Apa kamu malu?” ucapnya sambil tersenyum. Tubuhn kami masih berhadapan namun, wajahku sudah tidak lagi menghadapnya. Ia menarik wajahku, mataku masih tidak mau menatap wajahnya terus mencoba menggodaku. “Cute” “Aish Na~, cukup! Aku mau pulang” Aku menepisnya tapi, dia menggenggam pergelangan tanganku “lihat hamu membuat wajah seperti itu lagi!” bisiknya berlahan. “Wajah apa?” “Wajah yang sangat menginginkan aku. Kalau ibumu gak dateng aku benar-benar akan melakukannya padamu sekarang ini” aku cuma tertunduk karena wajahku sekarang semakin memerah. “Sial!” dia terdengar seperti emosi tapi, bibirnya tersenyum bahagia sambil menggigit bibir bawahnya. “Aku bakal nganter kamu pulang” ia melepaskan tanganku. “Aku harus buru-buru” melihat bibirnya digigit membuat aku senyam-senyum sendiri. Ingin sekali aku membantunya menggigit bibirnya itu. “Kamu butuh alasan!” “Baiklah!” - Setelah selesai ganti baju kami langsung bergegas menuruni tangga. Suara kaki kami terdengar sangat kencang menarik perhatian orang yang sedang sibuk sarapan. Terhenti kami didepan kedua orang yang sedang menatap kami heran. Paman sedikit terkejut melihat kehadiranku di rumah ini. Mungkin saat aku masuk kedalam rumah ini paman belum pulang. “Ah, pagi” aku mencium tangan Paman. “Pagi, aku gak tau kamu sedeket ini dengan keluarga kami?” ucapnya heran. “Aku gak kuat diluar sampai larut jadi aku selalu ketiduran dan berakhir di kamar Na. Maaf sudah merepotkan” terangku. “Kamu memang merepotkan” celetuk si pria putih pengganggu. Alisnya naik satu. Keangkuhannya mulai ditebarkan. “Aiii, Khaaaa” geramnya aku. “Kamu manggil dia Na? Kamu berani membatah Kha? Apa ada sesuatu yang aku gak tau disini?” ucap paman heran. Aku menatap Kha dan Na bergantian “Aw, apa aku salah?” aku terlihat kebingungan. “Apa Kha pernah mengantar kamu ke rumah?” aku menganggu dan Paman hanya menatap mereka berdua kebingungan. “Dia emang sekertaris yang gak sopan” “Awww, kamu yang selalu nyari masalah mulu. Tiap hari ngajak berantem sekalinya baik pasti ada maunya” “Aku kan BOS kamu kadi bebas donk” “Inikan diluar kantor bukan di kantor weeek” aku menjulurkan lidahku. “Kalian. Apa bisa sedikit berhenti berkelahi?” ucap Na. “Dia yang mulai duluan?” rengekku. Bibirku langsung manyun. Sebuah pesan mengagetkanku menginggatkanku pada orang tuaku yang menungguku di kontrakan kecilku “Ah, paman aku harus segera kembali karena orang tuaku sudah datang” aku kembali salaman pada paman. “Ah, baiklah hati-hati” ucapnya sambil mengusap kepalaku. Kakiku mendekati Kha, mengulurkan tanganku. Tidak perlu dijelaskan dengan kata-kata seluruh dunia tau kalai ini tandanya aku ingin salaman dengannya. “Apa?” “Aw” terkejut dengan pertanyaannya “salamanlah. Terus mau apa minta uang? Ini belum waktu gajian” Khana tersenyum mencurigakan sambil mengulurkan tangannya. Terpakasa aku mereaih tangannya, menyentuhkannya pada keningku. Saat aku mau lepas ia menahanku. “Apa lagi?” “Kenapa gak kayak gini tiap hari?” “Huuuft. Hm. Aku akan melakukannya setiap hari jadi, lepasin” “Kamu yang membuat janji” “Kalau aku inget” ucapku angkuh. Aku berusaha melepaskan tanganku  tapi, dia tetap saja mengunci tanganku “eh, aku janji” Khana melepaskan tanganku “cepat pergi. Kasihan ornag tua kamu udah nunggu” “Awww, terus aja salahin aku, bapakku, ibuku, tetanggaku semuanya!!! ayo, Nai!” tanganku emraih tangan kecil Na. “Aku ngater dia ya paman” ucap Na dengan semangat. “Aku pulang paman” hampir saja aku lupa pamitan. “Huft, kalian ini selalu saja berantem” “Cepaaat” kami berlari menuju bagasi mobil keluarga Na. Sementara Na mengambil motornya yang super mahal. Mataku jelalatan mencari kendaraan yang akan kami digunakan. “Na, kenapa motor kaya gitu?” teriakku kesal. “Kenapa emang?” Aku melihat motor supra biasa bertengger “itu punya siapa?” “Scurity disini” Aku langsung menuju tempat skurity dan meminjam kunci motornya. Tak lama aku kembali mendatangi Na dan memberikan kunci motor tersebut ke Na “anter aku pake motor itu!” ucapku dengan wajah yang meyakinkan. “Savi!” “Naaa, cepat!” aku mengerutkan dahiku. “Oiii, kenapa motor kaya gitu! Ada banyak kendaraan keren disini” “Ibuku pasti berfikir kamu orang kaya kalau kamu pakai motor kayak gitu” “Aku emang ornag kayaaa” “Naaaa” “Aaaaaiiiisssshhh,, viiii” ia terus merengek tapi tetap pergi menuju motor jadul tersebut walau pun harus aku dorong agar ia berjalan lebih cepat. “Cepatlah, sebelum ibuku memarahiku habis-habisan!” “Ah, istriku hari ini cerewet sekali” “Na….” Ia menyalakan motor dan aku segera naik di belakangnya “pegangan yang guat!” Aku mengikuti perkataannya. Tancap gas kami meninggalkan istana ini dan pergi menuju gubuk kecil kebanggaanku. Angin yang aku rasakan semakin kencang bersamaan dengan semakin cepatnya laju motor. Apa yang terjadi hari ini? Apa kematian akan mendatangiku secepat ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN