Menggali Kuburan Sendiri

1778 Kata
Pulang kerja kami bersenang-senang; makan, jalan-jalan, beli baju. Tapi, aku gak mood jadi yang bersenang-senang cuma Na saja. Setelah berkeliling mall gak jelas tujuan terakhir seperti biasa tempat karaoke. Na sibuk menyanyi tidak memperdulikan aku yang hanya terdiam duduk sendiri. Aku tau dia ingin membuatku bahagia tapi, rasa bahagia tidak akan datang saat tumpukan masalah memakan otakku. Ibuku menelpon. Keraguan memenuhi rongga hatiku, mengerogoti keinginanku untuk mengangkat telponnya. Bukan karena aku membencinya tapi, semua yang aku lakukan, pikirkan, bicarakan akan berakhir dengan perdebatan. Kami akan saling tersakiti. Miss prejudge ini sudah tertanam dalam otakku. Keluar dari bilik tersebut. Aku menghela nafas panjang sebelum mengangkat telpon. Mencoba untuk tenang. “Hallo… aku makan diluar sama teman… gak… kerjaanku belum selesai… baiklah. Bye.” aku menutup telpon dan kembali masuk ke dalam ruang karaoke. Bersyukur kami tidak berakhir dengan sebuah pertengkaran, aku menjatuhkan tubuhku keatas sofa. Aku terduduk menatap wanita yang sedang menikmati karokean itu menari dengan penuh kebahagiaan. Na berusaha menghidupkan moodku dengan menarik tanganku untuk ikut menari bersamanya. Banyak sekali gaya yang ia lakukan tapi, tubuhku tidak bergerak secenti pun. Wajahnya mulia tidak menyukai sikapku “apa kamu mau kayak gini terus?” tanyanya serius. Ia seperti menjejalku dengan rasa bersalah “Na kapan yang lainnya akan datang” ucapku mengalihkan perhatiannya. “Sebentar lagi” matanya fokus pada jam tangan berwarna silver yang ada dilengan kirinya. Ekspresi wajahku yang masih tidak begitu senang dengan suasana yang ada membuatnya menyerah. Duduk disebelahku. Merangkul tanganku. Menyandarkan wajahnya lembut pada bahuku yang lebih pendek. Aku berusaha keras untuk terlihat bahagia, wajahku sendiri yang menghianatiku sehingga senyuman itu malah terlihat aneh. Semua beban menghimpit otakku. Aku ingin menangis tapi, bagaimana aku menjelaskan air mataku nanti? Mataku fokus menatap layar. Na mengadahkan wajahnya. Menatapku dengan sneyumannya. Merasakan tangannya menyentuh wajahku, aku pikir dia akan membelaiku lembut. Tapi, dia malah mencubit pipiku dengan keras sambil berkata: “Kamu itu sangat menyebalkan” “Aaaaw, sakit” rengekku. Wajahnya terus mendekatiku beruntung getaran hp di celananya menghentikannya. Tangannya segera meraih hp di sakunya dan melihat pesan yang ada didalamnya. Beranjak dari duduknya, tangannya mengusap rambutku. Mengacak-acaknya tanpa ampun “aku akan menunggu Kha didepan jangan kemana-mana!” “Ya” pipi kembungku tidak bisa disembunyikan. Tanganku sibuk merapikan rambuku yang diacak-acak olehnya. Ia pun menghilang dari bilik berukura 5x8meter. Tak lama setelah ia pergi ada seorang pria asing masuk. Masih muda, ia membawa sebotol minuman. Aku pikir dia adalah pegawai karaoke yang akan mengecek sesuatu. “Ada apa?” tanyaku heran. “Kamu mau ini?” tangannya mengulurkan sebotol minuman bening dengan tulisan berwarna putih yang artistik. “Kamu siapa?” “Aku pelayan disini. Kamu mau gak nanti aku kasih sebotol?” Aku menganggukan kepala karena aku pikir airnya seperti air putih biasa. Rasa pahit, panas di tenggorokan muncul setelah aku menenggak minuman itu “Gak enak” ucapku. “Coba sekali banyak biasanya enaknya di akhir” ujarnya. Aku menenggak tanpa memikirkan berapa banyak air tersebut yang masuk ke dalam perutku. Tiba-tiba aku merasa sedikit pusing, dia memintaku untuk terus meminumnya walau pun aku sudah bilang aku tidak mau. Merasa terbakar, sedih aku gak ngerti semua perasaan ini. Sekumpulan orang datang kebilik. Samar-samar mataku melihat seseorang berkelahi dengan pria yang baru saja memberiku air minum. Mulutku terus berucap untuk mereka menghentikan perkelahian ini tapi, tubuhku terasa sangat aneh. Rasa sedih yang teramat sangat muncul layaknya bom yang meledak. Air mataku mulai mengalir didepan mereka semua. Aku terus menangis sampai ia terlihat kebingungan. Aku cuma ingin menangis sampai lukaku menghilang, lupa dengan semua masalahku, tenggelam dalam diriku sendiri. - Sebuah kehangatan terasa. Aroma yang sama setiap kali aku terbangun dipundak seseorang. Tanganku semakin erat memeluknya. Aku tidak ingin melepaskan punggung ini. “Harusmnya” ucapku. Sebelum mataku kembali terlelap dalam gendongannya. Seharusnya aku mengucapkan banyak sekali terima kasih pada orang yang menggendongku hampir setiap hari ini. -o0o- Mataku berlahan terbuka. Menatap cahaya matahari yang sudah mengintip dari balik tirai jendela. Angin pagi yang segar juga sudah menyelusup dari lubang ventilasi. Kamar serba putih yang sering menjadi tempat aku mengawali hari menambah beban dalam hatiku. Banyangan yang akan terjadi setelah aku kembali pada gubukku lebih menakutkan dari gunung meletus. Sakit menyengat otakku saat tubuhku berusaha untuk bangun. Rasa emosi membuat kondisiku semakin parah. Air mataku menetes. Tubuhku bersikeras bangkit dari tempat tidur. Tanagnku meraih jas dan sepatuku yang ada didekat lemari. Kakiku bergegas menggunkan speatu lalu keluar dari kamar ini. Tepat saat aku membuka pintu sesosok mahluk yang paling aku benci terlihat sedang bermain hapenya. Matanya menatapku keheranan dengan keadaanku yang sangat kacau. Rambut yang berantakan. Wajah yang masih bengap karena menangis semalam. Hal ini bagiku tidaklah terllau buruk sampai nanti aku sampai dirumahku sendiri. Berbalikku menutup pintu berlahan. Klik. Aku menutup pintu. Melangkahku menjauh dari pria yang sendang menatapku. Mengabaikannya tanpa memandangnya sedikit pun. Tangannya memasukan hpnya kedalam saku piyama hitan dengan jahitan emas. Kemudian menggenggam lenganku erat, menarikku cepat dan kuat kehadapannya. Kami berhadapan, ia menatapku lembut. Mempertanyakan keadaanku hanya dengan memandangku. Mengkhawatirkanku dengan hanya menunjukan guratan diwajahnya. Tes. Lagi-lagi air mataku keluar tanpa aba-aba. Tanganku berusaha keras menyeka air mataku yang tidak berhenti. Pria yang masih menggenakan piyama hitam mewah itu menatapku heran. “A…a…hiks.hiks.hiks” aku berusaha mengatakan aku baik-baik saja tapi, kata itu tidak bisa berlanjut. Air mataku terus berjatuhan. Aku emrasakan pengangan tangannya melemah. Tanganku mendorongnya kuat. Tidak tau karena terkejut atau apa aku dengan mudahnya menjauhkan tubuh kuatnya itu dariku. Berlari dengan cepat menuruni tangga keluar dari rumah. Didepan rumah. Sebuah taksi datang. Secepat itu pula aku masuk kedalamnya. Rasa sakit yang aku rasakan semakin besar dalam kediamanku. Bersandar pada pintu mobil, tak berdaya seperti seorang pesakitan yang sebentar lagi akan menemui ajalnya. -o0o- Tepat saat mobil taksi meninggalkan aku sendiri berdiri disebrang jalan menatap kontrakanku. Kalau bisa aku tidak ingin memasuki rumah itu. Rasa takut menjalar keseluruh tubuhku. Mengalir dalam darah. Menarik nafas dalam-dalam menguatkan seluruh jiwaku untuk mampu menghadapi semua yang akan terjadi nanti. Tapi, seberapa aku berusahanya menguatkan diri hatiku tidak akan mampu untuk bertahan. Kakiku melangkah berlahan menuju kontrakan yang sudah menjadi tempat tinggalku lebih dari 1 tahun. Nafasku seperti tertindih oleh batu raksasa. Hatiku terus memohon pada tubuhku untuk tidak memasuki rumah itu tapi, kakiku tidak berhenti melangkah sampai aku berada tepat didepan pintu. Berdiri didepan pintu rumahku. Menarik nafas dalam-dalam agar paru-paruku bisa berkerja lebih baik. Klik. Pintu terbuka, aku masuk ke dalam rumah tanpa memberi salam sesaat setelah keberanianku muncul. Detak jantung yang semakin tidak beraturan menarik nafasku lebih dalam. Seorang wanita paruh baya telah menunggu sedang duduk diatas sofa sendiri dengan semua kerisauan yang ia miliki. Wajahnya memerah seperti apel yang tertunduk itu langsung melirikku tajam melihat kehadiranku. Berjalan menuju kamarku, menguatkan hatiku untuk bersikap dingin pada orang yang telah melahirkan aku. Mengantukkan bibirku, menatap lurus. Jariku mulai membuka kancing bajuku melepskan pakaianku. Membuka olemari aku tidak perduli pakaian apa yang aku ambil, aku langsung mengenakannya begitu saja. Ibuku menghampiriku dengan wajah penuh emosi, memarahiku tanpa ampun. Memberikan ceramah yang beruntun tanpa henti. Aku yang tidak memperdulikan perkataan ibuku terus ganti baju. “Kamu tuh perempuan pulang pagi, badan bau…” Ibuku terus memarahiku tanpa henti. Kepalaku sakit. Telingaku mendengung. Aku benar-benar tidak tau apa yang ibu katakan kecuali menghujaniku dengan penghinaan dan juga mengungkit masa lalu yang menajdi senjata saktinya. Aku tidak menjelaskan apa pun sampai sebuah ketukan pintu mengejutkanku. Syok dengan suara yang tiba-tiba mengheningkan suasana itu. Mataku terbelalak, jantungku berdetak sangat kencang. Tok tok tok. Aku berlari keluar menuju sumber suara itu dengan sangat cepat sebelum ibuku melihat siapa yang datang. Na berdiri disana dengan senyuman di wajahnya. Wajahku saat ini sangatlah ketakutan lebih takut daripada melihat setan yang gentayangan. “Vi…” “Ada apa?” suaraku terdengar sangat berat. “Ini, jam tangan sampai Hp ketinggalan di rumahku” ia mengulurkan sebuah tas cangklek berwarna hijau yang berisikan barang-barangku. Tanganku meraih tas tersebut. Senyuman masam yang aku berikan padanya tidak membuatnya merasa kalau ini bukan saat yang baik untuk berbicara “Terima kasih” segera menutup pintu tapi, kaki kecilnya menahan dengan pintu. “Masa karena dimarahin orang tua kamu ampe segitunya!” ia berusaha untuk mencoba untuk bersikap angkuh disaat seperti ini. Aku sangat ketakutan saat ini, ketakutan sampai tidak bisa menahannya. Air mataku mulai menetes “aku mohon pulang lah!” suaraku gemetar dan berat. “Vi…” panggilnya lirih memohon agar ia bisa membantuku. Apa yang sanggup ia laukan saat ini kelain memberikan aku berjuta masalah baru. Mataku yang tajam tidak memberikan kesempatan padanya seidkit pun untuk mendekatiku. Mungkin ia baru sadar situasi yang ia hadapai saat ini. “Na…” air mataku kembali terjatuh. Ia berusaha mendorong pintu tapi, aku tetap menahannya menggunakan tubuhku. “Na! Aku mohon” rengekku berlahan agar ibuku tidak mendengar. Membersihkan wajahku yang penuh dengan air mata “Sob….sob….sob…” “Aku bakalan jelasin” ucapnya berlahan. “Sekali kamu melangkah masuk. Saat itu juga, aku gak akan mau ketemu kamu lagi!” ancamku. “Vi” “Sekali aku mengatakan. Aku gak akan mundur!” tegasku. Ia terlihat syok dengan ancamanku, berlahan dorongannya melemah. Kakinya ia tarik “Apa kamu akan berangkat kerja hari ini?” Aku hanya menganggukan kepala. Memastikan ia tidak menggunakan kekuatannya untuk mendobrak pintu. “Aku akan bilang ke Kha kalau kamu akan dateng terlambat” Kepalaku kembali mengangguk sambil menutup pintu tanpa berkata apa pun. Wanita rentan yang hanya terdiam melihatku memperlakukan Na seperti itu merasa kalau ada sesuatu yang berbeda aatara aku dengan Na. Masuk ke kamarku, bersiap-siap dandan. Mata tajam ibuku tidak lepas dari yang semua pergerakanku. Matanya seperti sudah mengunci sasarannya seperti tidak akan lepas. “Apa semalam kamu sama dia?” aku tidak menjawab pertanyaan yang ibu lontarkan terus menerus sampai sebuah kalimat yang membuat aku sedikit terkejut “kalau karena dia kamu pulang pagi terus, ibu gak ingin melihatnya dia lagi!” Menatap ibuku sambil menahan semua emosi yang sudah memuncak, kata yang seharusnya aku tahan pun terlontar begitu saja menusuk jangtung ibuku “Bu, kapan ibu bisa mengerti aku! Kapan ibu bisa tau perasaanku! Kapan ibu bisa membuat rumah menjadi tempat yang nyaman untukku. Aku pisah dari kalian agar aku tenang bukan seperti ini” “Apa kamu gak berfikir pake logika siapa penyebab ini semua? Kamu pacaran sama Tha yang membuat ibu malu setengah mati, apa kamu akan melakukan ini terus pada ibu?” “Ya, aku tau aku yang melakukan itu. Aku pacaran dengannya. Aku bahkan menikmati waktu bersamanya. Itu dulu! berapa kali aku bilang itu dulu!” bentakku. “Kalau begitu berhenti bukannya malah cari perempuan lain!” “Perempuan mana yang ibu maksud? Na? Dia cuma temanku? Aku biilang aku akan berusaha keras untuk smeuanya tapi, kenapa setiap kalian datang hanya untuk menghancurkan hidupku? Sampai kapan?” “Perempuan macam apa yang pulang pagi? Tidur bersama perempuan? Selalu diantar mobil oleh orang lain ke gubuk kecil?” Entah darimana ibu mendapatkan informasi itu tapi, sepertinya ia sudah mengintrogasi tetanggaku habis-habisan untuk ini. “Perempuan macam anakmu bu. Perempuan yang lebih terlihat p*****r daripada manusia. Perempuan yang lebih hina dari pada anjing. Perempuan yang tidak pantas lagi disebuat manusia karena dosanya yang melebihi jabal uhud. Bahkan Allah mungkin tidak ingin memiliki hambanya yang sepertiku. Wanita mana yang ibu bicarakan itu yang ada didepanmu ibu!” “Kamu tega ya Vi, ngomong kaya gitu ke ibu kamu sendiri!” Aku pergi menuju kamar, merapikan tasku. Ibuku terus saja mengikutiku sambil berkata tidak karuan. “Lihat rumah yang kamu sewa saat ini. Apa kamu punya uang banyak? Kamu seperti gelandangan sekarang ini!” “Aku berangkat” ucapku. Meninggalkannya sendiri dalam gubuk kecilku. “Kamu tuh, ya Vi kalau dibilangin kabur terus. Gak pernah mau denger kata-kata orang tua….” ibuku masih saja merepet namun, suaranya melemah semakin jarak memisahkan kami. -o0o-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN