Dimas diam-diam membandingkan kaki indah Kinanti dengan kaki semua perempuan yang pernah tidur dengannya. Entah kenapa dia berpendapat bahwa kaki Kinanti adalah kaki seorang perempuan yang terindah yang pernah dia lihat dan tidak bisa dia lupakan.
***
Sabtu ini Kinanti bebas dari rutinitas kesehariannya sebagai mahasiswi. Sementara Arsa tentu saja selalu libur. Sejak mengalihkan semua manajemen perusahaannya ke putra satu-satunya, Arsa benar-benar istirahat dari pekerjaan. Akan tetapi, terkadang keberadaannya masih tetap dibutuhkan dan dipertanyakan. Sedangkan Dimas sendiri tidak pernah libur dari pekerjaan. Meskipun dia merupakan CEO sekaligus pemilik utama perusahan papanya, yang semestinya tidak perlu datang setiap hari ke kantor seperti karyawan biasa lainnya, Dimas merasa dia tetap harus bekerja dan mengawasi perkembangan perusahaan.
“Jadi Papa dan Kinanti pergi ke bioskop?” tanya Dimas yang baru saja selesai dari sarapan. Dia terlihat buru-buru.
“Ya. Papa sudah lama sekali nggak nonton,” balas Arsa dengan senyum hangatnya.
Dimas melirik ke arah Kinanti yang masih menikmati sarapan paginya. Tampaknya Kinanti tidak begitu antusias dengan rencana suaminya. Film yang dipilih papanya pasti menjenuhkan. Dimas tahu selera papanya.
“Aku buru-buru, Pa,” ujar Dimas yang sudah berdiri dan meraih tas kerjanya.
Arsa mengangguk pelan. Ada senyuman tipis ke arah punggung anaknya yang sudah berlalu dari ruang makan.
Saat mobil yang dikendarai Dimas baru saja ke luar dari gerbang perumahan, Dimas melihat sosok pemuda yang sedang berjongkok tidak jauh dari gerbang keamanan lewat kaca spion depan mobilnya. Pemuda itu menarik perhatian Dimas karena penampakannya yang tidak biasa, berambut pirang kemerahan, bertubuh tinggi kurus dan kuat. Akan tetapi, dia berpakaian rapi. Yang mengherankan, pemuda itu bangkit dari jongkoknya, lalu mondar-mandir gelisah sambil beberapa kali menghisap rokok.
Deru mesin mobil Dimas membuat pemuda itu mengalihkan perhatian mengarah ke mobilnya. Lalu dia berlari ke arah mobil Dimas. Tapi, beberapa satpam keamanan mencegahnya untuk tidak mendekati mobil Dimas.
Tampak mata pemuda itu menyipit ke arah kaca jendela mobil Dimas, seolah ingin memastikan orang yang berada di dalam mobil tersebut.
Sikap agresif dan pemberontak yang ditunjukkan pemuda itu membuat Dimas merasa tidak nyaman. Dimas bunyikan klakson mobilnya dengan kasar ingin menunjukkan rasa ketidaksukaannya. Dimas perbaiki letak kaca mata hitamnya sejenak sambil melirik ke arah pemuda itu.
Sadar bahwa orang yang berada di dalam mobil bukan orang yang dicarinya, pemuda itu dengan santai membuang puntung rokoknya, lalu mengangkat tangan dan melambaikannya ke arah mobil Dimas seolah ingin berucap maaf.
Dimas melajukan mobilnya lebih cepat dan tidak menghiraukan pemuda itu.
Beberapa saat kemudian, barulah mobil yang ditumpangi Arsa dan Kinanti muncul dari gerbang perumahan. Satpam keamanan dengan sigap menekan gerbang perumahan otomatis sambil mengangguk hormat ke arah mobil yang dikendarai Bona, sopir pribadi Arsa.
Tampak pemuda berambut pirang yang ternyata masih berada sedikit jauh dari sekitar gerbang perumahan, mengamati ke dalam mobil Arsa. Dia seolah sedang menunggu seseorang untuk menjemput.
***
Arsa tidak ingin istrinya terus menerus menghabiskan waktu akhir pekannya di rumah saja. Karenanya, dia mengajak Kinanti ke luar jalan-jalan dan menonton di cinema. Arsa pernah muda dan sering berkencan dengan kekasih-kekasihnya. Dia yakin dengan mengajak istri mudanya jalan-jalan ke luar dan menghabiskan waktu berduaan akan menambah romantisnya hubungan pernikahan mereka. Sesampai di bioskop, Arsa dan Kinanti mendapatkan posisi duduk terbaik.
Arsa genggam tangan Kinanti saat menonton. Sejak bangun di pagi hari hingga bersiap-siap pergi, dia merasa sangat bahagia karena Kinanti memenuhi ajakannya.
Sebenarnya Kinanti sudah berencana akan berenang di rumah pagi ini, karena tak lama lagi dia akan mengikuti tes kursus renangnya di kampus. Melihat Arsa yang semangat mengajaknya, Kinanti tidak kuasa menolak. Meskipun dirinya tidak begitu menyukai menonton, Kinanti tetap patuh dan mau menemani suaminya pergi jalan-jalan.
Tidak lama juga Arsa dan Kinanti berada di dalam mall. Setelah berbelanja seperlunya dan nonton di bioskop, mereka langsung pulang.
“Kamu suka filmnya, Kinan?” tanya Arsa yang masih terkesan dengan film yang baru mereka tonton.
“Ya, Pak,” jawab Kinanti sambil memperbaiki kerah baju kaos Arsa yang terlihat tidak rapi.
Arsa tersenyum hangat. Kinanti begitu memperhatikannya.
“Lain kali kita jalan-jalan khusus berbelanja. Kamu belanja nggak banyak,” ujar Arsa sambil memperhatikan dua tas kertas berukuran sedang yang berada di kaki Kinanti. Kinanti hanya membeli alat-alat tulis untuk keperluan kuliahnya.
Kinanti tersenyum mengangguk.
Lalu Arsa melanjutkan perbincangan tentang film yang dia dan Kinanti saksikan di bioskop. Kinanti menanggapinya dengan penuh perhatian dan menjawab seadanya. Mungkin karena Arsa sudah lama tidak menonton di bioskop, Arsa semangat membahasnya.
Sambil mendengar dan menanggapi pertanyaan Arsa, mata Kinanti tidak lepas dari pemandangan luar jendela mobil. Saat mobil hendak memasuki area perumahan tanpa sengaja mata Kinanti tertuju ke sosok laki-laki berambut pirang yang tengah jongkok di poisisi yang agak berjauhan dari gerbang perumahan.
Kinanti merasa tenggorokannya tercekat, hingga menimbulkan bunyi di rahangnya dan reaksi wajah Kinanti yang berubah.
Tentu saja hal ini mengundang reaksi Arsa.
“Ada apa, Kinan Sayang?”
“Nggak papa, Pak Arsa.”
Kinanti yang merasa tidak nyaman, menoleh kembali ke arah depan mobil sambil merogoh tasnya. Dia raih kaca mata hitamnya dan memakainya agar menutupi sebagian wajahnya.
Arsa tersenyum kecil melihat Kinanti yang kini memakai kaca mata hitam pemberiannya.
“Tenggorokanku nggak enak, Pak,” jawab Kinanti.
“Oh. Kamu kurang minum tadi.”
Kinanti mengangguk pelan sambil meraih botol kecil berisi minuman dari tasnya dengan posisi membungkuk. Kinanti sengaja menurunkan tubuhnya saat mobil melewati pemuda berambut pirang. Ternyata pemuda itu tidak memperhatikannya sama sekali. Lagi pula Kinanti dan Arsa duduk di bagian belakang mobil.
Kinanti teguk sebentar air minumnya, ingin mengusir perasaan gugupnya.
Pemuda itu adalah Jeffrey, saudara tiri Kinanti. Jeffrey yang bertubuh tinggi kurus ini berusia delapan belas tahun. Dia akan segera menyelesaikan SMAnya dan ikut ujian masuk perguruan tinggi.
Kinanti menghela napas lega setelah mobil benar-benar melewati Jeffrey dan sudah memasuki gerbang perumahan. Namun, tanpa dia sadari, telapak tangannya berkeringat karena cemas sekaligus khawatir. Kinanti tampak berusaha meredam kecemasannya dengan menanggapi pertanyaan-pertanyaan kecil dari suaminya yang masih terkesan dengan film yang mereka saksikan beberapa waktu lalu.
***
Malam harinya, Dimas memperhatikan gelagat Kinanti yang agak aneh. Beberapa kali dia menangkap Kinanti yang tampak linglung dan melamun saat makan malam di ruang makan. Sementara Arsa mempertanyakan apakah Kinanti merasa khawatir dengan tes renangnya. Kinanti malah mengatakan tidak apa-apa tapi dengan raut wajah khawatir yang tidak bisa dia sembunyikan. Perasaan dan pikiran Kinanti sebenarnya bercampur aduk, memikirkan tes kursus renang, juga persiapan dirinya memasuki kuliah program pasca sarjana. Kinanti adalah gadis yang pintar, di samping dia mengambil sejarah, dia juga mengambil kuliah di bidang hukum. Kini pikirannya dikacaukan oleh kehadiran Jeffrey di sekitar perumahan elit Arsa.
Saat ditanya suaminya tentang apa yang sedang dia khawatirkan, Kinanti tepis bayang-bayang Jeffrey.
“Aku agak khawatir, karena kurang percaya diri di tes renang. Aku akan berlatih lebih sering di rumah nanti.” Kinanti memang sangat berharap bisa mendapatkan hasil terbaik di tes kursus renangnya.
“Kamu nggak bisa berenang?” tanya Dimas menyela.
"Kinanti punya kelemahan saat menentukan arah," jawab Arsa mewakili Kinanti. "Dia bilang kadang sulit kosentrasi saat berenang dan selalu saja berakhir di jalur yang salah. Jadi dia tidak percaya diri lulus tes."
Kinanti mengangguk membenarkan ucapan suaminya. “Kalo hari-hari biasa aku nggak papa. Tapi semakin mendekati hari tes, entah kenapa akhir-akhir ini aku sulit kosentrasi,” ujarnya.
Dimas mengulum senyumnya. Ini menarik, pikirnya. Selama ini dia melihat Kinanti adalah sosok yang tenang dan pendiam, lalu berenang tanpa tujuan di kolam?
Tak tahan dengan pikirannya akan sosok Kinanti, Dimas tertawa kecil dan Kinanti hanya diam mengamatinya.
Bersambung