Sepasang Kaki Indah Kinanti

977 Kata
Dimas yang hendak berenang, turun dari lantai kamarnya. Dia melewati ruang yang berdekatan dengan halaman belakang. Suara langkahnya menyita perhatian Kinanti dan Arsa yang kini sedang duduk berdekatan di ruangan itu. Kedua pasutri itu langsung menoleh ke arah Dimas sejenak, lalu kembali bercakap-cakap berdua. Tampak tablet berada di atas pangkuan Kinanti. Jari kurus telunjuknya yang panjang dan ramping bergerak di atas layar sambil berucap sesuatu, sementara Arsa mendengarkan dengan penuh perhatian, seperti seorang siswa yang baik yang patuh kepada gurunya. “Kamu sudah selesai dengan pekerjaanmu?” tanya Arsa yang mengamati sekujur tubuh tinggi putranya. “Done, Papa. Aku ingin relaks,” jawab Dimas. Entah bagaimana, dia malah tertarik melihat apa yang sedang dilakukan keduanya, matanya sedikit mengintip ke layar tablet yang dipegang Kinanti. “Ngapain kamu?” tanya Dimas. Kinanti menghentikan sejenak gerakan tangannya, dan langsung menunjukkan layar tablet ke hadapan Dimas. “Pak Arsa ingin main permainan memotong buah-buahan dan meminta aku mengajarkannya,” jawab Kinanti menjelaskan. Kepala Dimas mendongak melihat layar tablet yang memang menunjukkan gerakan semangka yang terlempar dan teriris. Arsa ternyata ingin bermaian permainan Fruit Ninja. Arsa merasa sedikit malu di hadapan Dimas yang selalu memandangnya sebagai sosok Papa yang tegas. Dan sekarang Dimas mendapatkannya sedang ingin memainkan game anak-anak? Sungguh malu perasaan Arsa. Arsa yang menahan malu, mengetuk dahi Kinanti dengan pelan. “Nggak perlu kamu jawab sedetail itu, Kinan Sayang,” ujar Arsa dengan penuh kelembutan dan tatapan mesranya. Dimas yang seolah mampu membaca pikiran papanya, bersiap-siap melangkah menuju kolam renang. “Leherku sakit karena duduk lama barusan. Aku mau renang,” Dimas berucap dengan gaya santainya. “Ya. Ya … silakan. Jangan lupa pemanasan,” balas Arsa dengan nada lebih tegas. Tentu berbeda saat dirinya berbicara dengan istri kecilnya, nada lembut dan pelan. Dimas mengulum senyumnya, lalu berjalan menuju pintu ke luar halaman belakang, dengan baju renang yang ada di pundak. *** Tak terasa waktu menunjukkan pukul delapan malam, dan Dimas menghentikan kegiatan berenangnya. Dimas sudah lama tidak berenang. Padahal berenang sangat baik bagi tubuh, menurunkan berat badan dan meregangkan otot-otot tubuh yang kaku dan menegang. Dimas duduk beristirahat sebentar setelah lelah berenang. Dia rasakan nyeri di persendian sekujur tubuhnya, karena sudah lama tidak berenang. Dimas tidak punya waktu berolah raga karena pekerjaan yang tiada habis-habisnya. Dia duduk dengan mengenakan jubah handuk yang menutupi tubuh besarnya di tepi kolam renang. Cukup lama Dimas beristirahat. Setelahnya, dengan gerak perlahan, dia raih arlojinya dan memakainya. Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Dimas yakin papanya sudah tidur sekarang. Sejak Arsa didiagnosa menderita jantung hipertensi, dia disarankan mengikuti jadwal ketat di tiap-tiap harinya, makan teratur, dan tidur pada jam sembilan malam. Dimas beranjak dari duduknya, dan melangkah memasuki rumah. *** Posisi kolam renang dan rumah Arsa saling terhubung dengan pintu sidik jari yang berada di antaranya. Akan tetapi Dimas memasuki rumah lewat pintu samping, di mana ada sinar lampu yang sengaja dihidupkan redup, sebagai tanda bahwa masih ada orang yang berada di luar rumah. Melewati sebuah ruang di dalam rumah, Dimas melirik ke arah seekor kucing orange yang sedang meringkuk seperti bola belang di samping piring kecil merisi makanan. Dimas ingat papanya memang pecinta kucing sejak muda. Dan ini adalah kucing peliharaannya yang ketujuh, Sultan namanya. Karena Dimas berenang berjam-jam, dia merasa sangat lapar. Dia pun pergi ke dapur mencari makan. “Siapa di sana!” Suara Dimas menggelegar menakutkan orang yang berada di dalam dapur. Dimas setengah berteriak karena dia melihat pintu kulkas terbuka menutup separuh lebih tubuh seseorang, tapi sepasang kaki terlihat jelas dari bawah pintu kulkas. “Pak Dimas?” Kinanti terperangah menoleh ke arah Dimas. Dia baru saja meneguk s**u langsung dari kotaknya tanpa sedotan. Kinanti masih memegang sekantong s**u dari kulkas. Dia gugup karena menyadari sikapnya yang tidak sopan, meneguk s**u langsung dari kotaknya sambil berdiri di balik pintu kulkas. “Bapak baru selesai berenang?” tanyanya pelan. “Aku kehausan dan nggak ada air di kamar. Jadi aku turun ke dapur, mau minum ... s**u,” jelasnya sebelum Dimas menanggapi pertanyaan basa basinya. Suara Kinanti terdengar lebih lembut dan pelan, tidak bernada seperti biasanya. Mungkin karena malam, dia bermaksud merendahkan nada suaranya. Suara lembut Kinanti yang berbeda itu sedikit menggelitik perasaan Dimas. Dimas mungkin tidak terbiasa mendengar suara lembut Kinanti saat berbicara. “Bicara normal saja, Kinanti. Kamar papaku memiliki alat peredam dan kamu nggak usah khawatir bicara seperti biasa. Asal jangan berisik atau terlalu keras … dan nggak perlu menekan suara kamu,” katanya sedikit ketus dan berwajah dingin. “Baik, Pak.” Kinanti menutup kulkas dan bertanya apa yang sedang Dimas lakukan. Dimas mengatakan bahwa dia juga sedang mencari makan karena lapar setelah berenang. Setelah percakapan kecil dan basa basi, Kinanti berjalan melewati Dimas dan berucap selamat malam, lalu pergi ke atas menuju kamarnya di lantai dua. Dimas yang berdiri di pintu dapur menoleh ke arah Kinanti yang menaiki tangga. Dia amati punggung Kinanti yang bergerak naik ke lantai atas. Gadis itu hanya mengenakan celana pendek yang longgar, dan baju kaus longgar. Baju longgarnya tidak bisa menyembunyikan punggungnya yang kurus. Dimas yang kelelahan setelah olah raga berenang kehilangan fokus dan kini perhatiannya tertuju ke kaki Kinanti yang panjang dan indah. Celana yang dikenakan Kinanti memang pendek lagi longgar. Sehingga saat menaiki tangga, bagian kecil pahanya terlihat, dan betisnya yang telanjang terlihat sangat ramping dari sisi samping. Sungguh pemandangan yang sangat menyejukkan mata. Kinanti sudah benar-benar memasuki kamarnya. Dimas mendecakkan bibirnya dan meraih roti dari atas meja makan, kemudian membawanya ke kamar tidur. Setelah berada di dalam kamar, Dimas langsung menikmati rotinya. Lalu kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya sampai terasa makanan benar-benar tercerna di dalam perutnya. Hanya setengah jam Dimas bekerja, Dimas lalu mematikan lampu kamar dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Malam itu sangat pekat dan kabur, akan tetapi pikiran Dimas jelas mengingat kejadian seharian yang dia alami. Sampai pada akhirnya terbayang oleh Dimas akan sepasang kaki indah milik sang Ibu tiri kecil Kinanti. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN