Suara teriakan gembira Hanna membuat Angga berlari untuk melihat apa yang membuat adiknya berteriak seperti itu.
“Ada apa?” Angga menerobos masuk ke dalam kamar Hanna dan melihat adiknya berdiri di depan lemari pakaian yang terbuka.
“Aku dapat jaket menembak kak,” kata Hanna memperlihatkan sebuah jaket yang sudah lama ia inginkan.
Hanna sangat gembira. Ia tidak menduga kalau pesan yang dimaksud oleh ibu nya adalah sebuah jaket menembak yang sudah lama ia inginkan. Bagaimana pun harga jaket tersebut memiliki harga yang sangat mahal, terutama bagi dirinya yang masih berstatus sebagai pelajar.
“Keren Dek. Jangan lupa, setelah mempunyai jaket yang kamu inginkan, kamu harus lebih giat berlatih dan jangan lupa untuk belajar,” pesan Angga sebelum berlalu dari kamar adiknya.
Setelah puas mengagumi hadiah yang diberikan oleh ibunya, Hanna segera menghubungi ibunya.
“Halo Mom…Hanna suka banget jaketnya. Terima kasih,” ucap Hanna dengan lantang.
“Ya sayang…pas tidak?”
“Pas banget. Adek sayang Mom.”
“Mom juga sayang Adek.”
Hanna tersenyum melihat pantulan dirinya di cermin. Bagi Hanna sebuah hadiah yang sangat berharga untuknya mengandung janji untuk memberikan yang terbaik pada orang yang sudah memberikan dirinya hadiah, tidak peduli walaupun orang itu adalah ibunya sendiri.
Ujian akhir sekolah semakin dekat, dan Hanna sudah terlalu sibuk untuk melakukan hal yang lainnya selain belajar. Ia tidak mau kalah dengan kakaknya yang lain walaupun Ardian dan Nara tidak pernah menuntut dan memaksa Hanna agar juara umum. Mereka hanya ingin Hanna lebih bertanggung jawab karena mereka sudah memberikan kebebasan pada-nya.
Kebanggaan itu terlihat jelas di wajah Ardian dan Nara ketika mereka menghadiri malam perpisahan serta malam penghargaan yang dilakukan sekolah Hanna. Pada tahun ajaran ini, Hanna berhasil sebagai salah satu siswa terbaik. Bukan saja nilah yang dia dapatkan menjadi yang terbaik di sekolahnya, tetapi juga ia menjadi salah satu yang mendapatkan nilah tertinggi di Indonesia.
Nara melihat Hanna berdiri bersama dengan teman-temannya. Sepertinya mereka sedang merencanakan kemana akan melanjutkan pendidikannya. Sudah sejak lama Hanna mengatakan pada mereka sebagai orang tuanya bahwa Hanna akan melanjutkan sekolahnya ke fakultas hukum dan mereka semua mendukung pilihan Hanna.
***
Waktu yang terus berlalu membawa perubahan pada diri setiap orang. Hanna yang sebelumnya adalah gadis remaja kini sudah menjadi wanita dewasa yang sudah mendapatkan gelar Sarjana Hukum sementara Ardian dan Nara sudah mendekati masa pension, sementara Angga sudah meminang seorang wanita yang akan dia nikahi pada akhir tahun ini.
Keberhasilan seorang Hanna Maulidya Wangsa karena bimbingan dan pengawasan dari kedua orang tuanya dan juga dari kakak-kakaknya, terutama Angga.
Kini usia Hanna sudah 22 tahun dan ia sudah bekerja selama setahun di sebuah kantor pengacara yang memeliki reputasi yang cukup terkenal. Hanna sebagai junior sudah sering kali di ikut sertakan pada setiap kasus yang mereka tangani membuat pengalaman Hanna semakin banyak.
Hanna baru saja memasuki ruang kerjanya ketika sekretaris Pak Ilman mendatanginya, “Mba Hanna, dipanggil Bapak.”
“Baik Bu, saya akan segera menghadap,” jawab Hanna setelah ia meletakkan tasnya.
Hanna berdiri di depan pintu yang bertulis nama Ilman Hadiwijaya lalu mengetuk pintunya dengan yakin dan mantap.
Setelah terdengar suara balasan untuk masuk, Hanna membuka pintunya kemudian berjalan masuk untuk bertemu pimpinan dari kantor bantuan hukum Ilman Wadiwijaya.
“Selamat siang Pak,” sapa Hanna sopan.
“Siang. Silahkan duduk!”
“Terima kasih.”
“Bagaimana di persidangan tadi. Sukses?” tanya Ilman pada Hanna.
“Atas dukungan semua pihak, kita berhasil memenangkan kasus ibu Rahmi, Pak,” jawab Hanna kalem.
“Bagus. Saya percaya kamu bisa melakukannya.”
“Saya tidak akan bisa berhasil tanpa bantuan yang lain pak,” kata Hanna menegaskan bahwa keberhasilan yang dia capai adalah hasil kerja sama tim.
Ilman sudah lama mengagumi kinerja dari seorang Hanna Maulidya Wangsa. Sebagai putri perwira tinggi, Hanna bisa dapat diandalkan. Bukan bermaksud memanfaatkan jabatan dari orang tuanya yang justru menjadikan beban bagi Hanna, tetapi setiap kali mencari informasi, Hanna selalu mendapatkan kemudahan karena pengawalan yang dia terima dari orang yang dipekerjakan oleh ayahnya.
“Hanna, saya hari ini sengaja memanggilmu karena ada yang harus kau lakukan di luar,” beritahu Ilman tanpa melepaskan tatapan matanya pada Hanna.
“Maksud Bapak?”
“Begini, salah seorang anak kenalan lama saya mengirim pesan kalau dia membutuhkan bantuan hukum. Saat ini ia tinggal di London, ia belum menikah tetapi sudah mempunyai anak. Ketika kekasihnya masih hidup tidak ada masalah, tetapi kekasihnya sudah meninggal dan pihak keluarganya menginginkan hak asuh jatuh ke tangan mereka karena ketidak mampuan yang dimiliki oleh putri kenalan saya. Jadi saya bermaksud untuk mengirimmu dan memberikan bantuan padanya,” beritahu Ilman.
Tatapan Hanna tajam menyelidik. Ia berharap kecurigaannya tidak salah tetapi mengapa Ilman mengirimnya yang masih junior sementara ada yang lain yang lebih senior dan mempunyai pengalaman yang sangat luar biasa. Apakah Ilman sebenarnya menolak membantu anak sahabatnya karena tidak yakin bisa menang?
“Apa pun yang ada di dalam pikiranmu anggap saja benar. Pada kasus yang melibatkan Lenna Mardiana dengan keluarga pengusaha dan bangsawan dari Inggris sangat sulit memenangkan kasus tersebut. Kemungkinan besar yang bisa kita lakukan adalah memberikan teguran dan ganti rugi atau kompensasi yang harus diterima Lenna,” kata Ilman membenarkan dugaan Hanna.
“Jadi pada kasus ini harapannya sangat kecil untuk memenangkan kasus tersebut. Tapi…kalau memang seperti itu, bukankah yang kita lakukan hanya membuang waktu saja sekaligus membuat kantor yang bapak pimpin mendapatkan penilaian yang kurang baik?”
Suara tawa Ilman terdengar puas. Berhadapan dengan Hanna selalu menghasilkan perdebatan yang menarik walaupun tidak perlu memakai pasal-pasal hukum.
“Benar, resiko seperti itu sudah pasti ada. Seperti yang sudah saya katakan kalau Lenna adalah putri sahabat lama. Saya sebenarnya sudah memberikan saran bahwa dia tidak akan bisa memenangkan kasus tersebut, tetapi…dia tetap meminta kita untuk menangani kasusnya. Bukan maksud saya untuk mengorbankan kamu Hanna, tetapi saya sengaja mengirmmu agar kau lebih memahaminya dari kacamata dan negara yang berbeda.”
“Saya mengerti Pak. Dan saya ucapkan terima kasih karena bapak telah memberikan kepercayaan pada saya. Saran dan masukan yang sudah bapak sampaikan membuat saya lega. Terus terang setelah mendengar pernyataan Bapak, beban yang saya rasakan sedikit berkurang karena bapak sudah memprediksi hasil terburuknya.”
Suara tawa Ilman kembali lagi terdengar. Ia tahu bahwa di dalam hati Hanna ada perasaan ragu bahwa yang dia lakukan bisa menjadi boomerang baginya dan juga kantor pengacara yang dia pimpin.
“Yang perlu kau persiapkan adalah menggali semua informasi yang bisa kau dapatkan. Keluarga Whitaker yang menjadi siteru Lenna adalah keluarga yang sudah sangat terkenal. Lenna beruntung berkenalan dengan salah satu dari anggota keluarga tersebut. Semua yang mungkin diharapkan baik menjadi berantakan karena sikap egois yang diperlihatkan oleh Lenna hingga keluarga Whitaker mengajukan tuntutan hukum padanya.”
“Maaf saya tidak mengerti dengan maksud Bapak,” tanya Hanna mengerutkan keningnya.
“Mudah saja. Keluarga sudah menerima Lenna sebagai ibu dari putri Daniel, tetapi Lenna berharap lebih. Aku rasa kau bisa mendapatkan informasi lengkapnya setelah bertemu nanti.”
“Saya mengerti. Jadi kapan saya akan berangkat dan dengan siapa? Bapak tidak bermaksud menyuruh saya datang sendirian kesana, kan?”
“Kau akan didampingi oleh Irawan selama di London. Kau seharusnya bisa berangkat pada akhir pekan ini. Karena aku berharap tidak perlu lama untuk menyelesaikan kasus Lenna dengan keluarga Whitaker,” jawab Ilman.
“Irawan? Kalau boleh saya tahu, siapa dia?”
“Dia adalah seorang mahasiswa jurusan hukum yang saat ini masih belajar di London,” jawab Ilman.
“Baiklah Pak. Kalau begitu akan saya persiapkan semuanya. Apa saya boleh pergi?”
“Tentu.”