7. Donor Darah

1140 Kata
Tibalah Dinda dan Faris di pemakaman. Ada satu batu nisan yang tengah mereka tuju dengan Langkah yang sudah tidak seberat dulu lagi namun tetap saja membuat kedua hati mereka diserang kerinduan yang hebat. Temapat ibu DInda berada di atas bukit yang ketika tiba di sana akan disajikan pemandangan yang indah. Di sebelah nisan itu tumbuh subur sebatang pohon yang memberi kesejukkan, pohon bunga bugenvil, salah satu bunga kesukaan ibunya Dinda. Maka dari itu Faris sengaja menanam pohon itu sebagai penanda untuk seorang yang sangat spesial di hatinya. "Mama,” panggil Dinda ketika matanya menemukan sebuah nisan yang bertuliskan 'DEWI ANJANI', 17 AGUSTUS 2010. Begitu juga dengan Faris, dengan mudah dia dapat mengenali makan istrinya, Anjani. Faris kemudian melepas kacamata hitam yang digunakannya. Ia berjongkok di depan makam itu lalu tersenyum ketika membaca nama istrinya di batu nissan itu. Namun air matanya yang tak sanggup lagi ia bendung. Dia menangis untuk kesekian kalianya demi meluapkan segala rasa yang terus tertahan untuk istrinya. Jujur… sampai saat ini, Faris masih belum sanggup ditinggalkan seperti ini oleh istrinya. Rasanya ini seperti masih tidak nyata, berharap kecelakaan itu tidak pernah terjadi dan serangan jantung yang merenggut nyawa Anjani pun tiada. Tapi apa boleh buat, semuanya kembali lagi pada Tuhan yang lebih berkehendak atas istrinya. Mungkin hanya sampai saat itu Faris dititipkan oleh Tuhan untuk menjaga Anjani, walaupun cinta untuk istrinya akan tetap ada berada di hatinya sampai kapanpun. Jaga dirimu baik-baik, sayang... kami disini juga hidup dengan baik walau harus selalu merasa rindu padamu. Aku mencintamu, sangat mencintaimu. Batin Faris. Setelah puas menjenguk ibunya yang telah tiada, Dinda kembali menaburkan bunga mawar yang masih tersisa di keranjang yang ia bawa. Dia berharap bisa melakukan ini setiap hari, tapi ayahnya mengatakan kalau justru Anjani akan kecewa melihat putrinya terus sedih dan tidak mau menjalani hidup dengan baik. Mama... aku tememu seseorang yang aku pengenin jadi mamaku juga. Buat nemenin Papa yang selalu sedih dan kerepotan urus aku. Tapi, Ma... jangan salah paham, ya... bukannya aku nggak sayang mama lagi, tapi bagaimana jika aku ingin dia menjadi ibuku juga? Bolehkah? Tanya Dinda dalam hatinya seraya menatap serius pada makam mamanya. Ma... Aku nggak tega ngeliat papa yang selalu mengurus kebutuhannya sendiri ketika aku harus sekolah... aku tahu ada banyak asisten rumah tangga di rumah.. tapi papa juga nggak mau dibantu oleh mereka. Aku nggak pengen liat papa sakit lagi karena nggak bisa mengurusi dirinya sendiri, Ma... Mama nggak marah 'kan kalo aku minta ini sama Mama? Aku sayang Mama... bantu aku, Ma... kalo mama setuju sama permintaanku ini... aku menyayangimu selamanya. I love you, mama. Batinnya dengan khusuk. . /// Takdir Kedua | Gorjesso /// . Kinan berjalan mengamati suster yang tengah membantunya bertugas di lapangan. Wanita ini tersenyum senang tatkala melihat begitu banyak yang datang dalam acara donor darah kali ini. Matanya menyisir keadaan yang tidak kunjung sepi sejak tadi. Batinnya begitu senang melihat antusias masyarakat umum akan pentingnya melakukan donor darah. "Terima kasih sudah ikut berpartisipasi, Bu," ucap Kinan, ia menundukkan kepalanya untuk memberi hormat kepada seorang wanita yang umurnya mungkin sekitar 40an. "Sama-sama, Dokter. Semoga ini bisa membantu tenaga kesehatan juga," balas sang ibu dengan tersenyum tulus. Beberapa orang lain juga disapa oleh Kinan sampai kemudian dia menyadari seorang berjalan menghampiri Kinan. Seseorang ini juga sebenarnya tak yakin dengan apa yang ia lihat. "Dokter Kinan?" panggil seseorang. Dan orang ini menepuk pundak Kinan dan sukses membuat wanita ini menoleh kebelakang melihat dirinya. "Uhm? Anda, anda ayah Dinda, kan?" tebak Kinan, cukup familiar dengan wajah seseorang yang menepuk pundaknya tadi. Orang itu tersenyum memberi sinyal kalau tebakan Kinan benar. "Iya, saya ayah Dinda. Nama saya Faris." Seseorang yang bernama Faris ini mengulurkan tangannya pada Kinan. "Senang bertemu dengan anda lagi, Pak Faris." Kinan pun membalas uluran tangan itu dan mereka berdua berjabat tangan. "Panggil saya Faris saja, karena umur kita mungkin hanya berbeda beberapa tahun,” ujar Faris. Kinan mengangguk paham dan menyetujui. "Kalau begitu kenapa kamu ada di sini, Faris? Apa anda juga akan melakukan donor darah?" "Eh.. Tidak.. saya hanya datang untuk mengamati jalannya acara ini. Lagi pula saya sedang dalam keadaan tidak sehat untuk melakukannya,” jelas Faris mengoreksi. Kinan tersenyum mengerti. "Mmm... sepertinya ini sudah masuk waktu makan siang,” cetusnya. "Iya,” ujar Faris singkat. "Kalau begitu saya dan semua dokter akan makan siang bersama karena pelayanan sudah selesai di jam itu, apa kamu mau ikut?" tawar Kinan. Faris terlihat menimbang-nimbang tawaran Kinan ini. "Bagaimana kalau kamu saja yang ikut bersama saya?" Kinan menautkan kedua alisnya. "Ikut kemana?" "Tentu saja makan siang,” jawab Faris. "Anggap saja ini sebagai ucapan terima kasih karena kemarin sudah membuat putri saya, Dinda... Dia sekarang sudah mau  dan rutin meminum obatnya." "Kamu tidak usah seperti itu, lagi pula itu sudah tugas saya." "Jangan menolak. Ayolah!" ajak Faris, belum juga menyerah. "Baiklah. Kalau begitu saya akan membereskan peralatan dulu." Ucap Kinan, ia pun berjalan meninggalkan Faris dan menghampiri teman-temannya dan segera mengambil tasnya. . /// Takdir Kedua | Gorjesso /// . Kinan dan Faris hanya tersenyum tipis ketika mata mereka bertemu pandang. Suasana restaurant yang mereka pilih untuk menghabiskan waktu makan siang mereka memang sepi, hanya ada mereka dan 1 meja lagi yang terisi di ujung sana. Suasana ini pun membuat keheningan yang tercipta diantara mereka menjadi semakin menguat. Bukan apa-apa, hanya sindrom dari sebuah pertemuan pertama. "Sudah berapa lama anda menjadi dokter, Kinan?" tanya Faris membuka percakapan di antara heningnya suasana yang tercipta. "Sudah sejak aku lulus dari kuliahku. Lalu bagaimana dengan anda?" tanya Kinan balik, dan itu sempat membuat yang bertanya terkekeh geli. "Saya seorang pengusaha,” jawab Faris. Tapi masih meninggalkan pertanyaan untuk Kinan. "Di?" "Johar Group." Kinan teringat sesuatu. "Jadi, perusahaan anda lah yang sudah menyelenggarakan donor darah kali ini?" "Iya,” jawab Faris singkat seraya tersenyum. Kinan mengangguk-anggukan kepalanya mengerti. "Apa kamu terkejut?" "Bukan terkejut, tapi lebih tepatnya saya sempat merasa heran kenapa anda ada di sana tadi ....” Kinan dan Faris pun menghentikan obrolan mereka yang mulai memanjang karena makanan yang mereka pesan tadi sudah datang. Lalu karena tuntutan dari perut mereka yang sudah tidak bisa mereka tahan, langsung saja dilahapnya beberapa hidangan yang tersaji di hadapan mereka. "Sepertinya Dinda dan Azha berteman sangat dekat,” ujar Kinan, kali ini dia yang membuka percakapan. "Saya pikir Juga begitu. Bahkan Dinda sering bercerita tentang Azha." "Benarkah?" "Iya, Dinda selalu berkata jika dia punya seorang kakak yang sangat menyayanginya di sekolah. Namanya Azha Orion Bagaskara, berkali-kali ia akan mengenalkan saya pada putra anda itu, tapi saya menolak karena memang saat itu masih harus berangkat bekerja setelah mengantarnya ke sekolah," jelas Faris seraya bercerita soal putrinya. Kinan tersenyum mengerti. "Dinda memang gadis manis yang sangat ceria, Pak,” puji Kinan. Cukup tertarik juga dengan putri seorang pria yang sedang duduk berhadapan dengan ini. Gadis manis yang sudah memesonanya sejak pertama kali bertemu. . /// Takdir Kedua | Gorjesso /// .  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN