6. Kandidat Utama

1092 Kata
Suatu hari sebelum Dinda tahu hari kematian ayah Azha, dia memang pernah bertemu dengan Kinan. Itu terjadi ketika dia kemudian memeriksakan diri ke sebuah rumah sakit yang dekat dengan rumah ayahnya. Dia datang ke depan Kinan dengan keluhan demam, flu dan rasa tidak enak di perutnya. Dia diantarkan oleh ayahnya langsung sebab Faris memang sangat protektif padanya bila soal kesehatan. "Dokter, bagaimana sakitku? Apa parah?" tanya Dinda dengan rasa penasaran tinggi. Dia adalah seorang gadis berumur 15 tahun yang duduk di hadapan Kinan. Dengan lembut Kinan tersenyum setelah memperhatikan gadis di hadapannya ini dengan saksama. Gadis yang sangat terlihat manis. Dan sudah beberapa susternya yang mengatakan bahwa ia dan gadis ini sangat mirip, pegawai baru di rumah sakit ini malah sampai mengira kalau Dinda adalah putrinya. "Sama sekali bukan sakit parah. Kamu hanya kena radang tenggorokan dan sedikit ada kenaikan asam lambung. Tapi jika kau tidak teratur meminum obat flu dan tidak mengurangi makanan pedas itu bisa membuatmu kembali ke rumah sakit, gadis manis," jawab Kinan. Sambil meringis Dinda menganggukkan kepalanya. Ketahuan sudah bagaimana kebiasannya mengonsumsi mekanan pedas seperti seblak, mie ayam, ramen, baso aci dan lain-lain. "Baik, Dokter... tapi panggil aku Dinda saja," ucap Dinda. Kinan tertawa kecil karena melihat raut menggemaskan di wajah Dinda yang terpergok olehnya mengonsumsi makanan pedas tanpa kontrol. "Kembali ke sini, jadi siapa nama orang tua kamu, Dinda? Saya butuh namanya untuk mengisi buku pendaftaran karena kamu masih di bawah umur," tanya Kinan, ia kembali memusatkan dirinya untuk mengisi detail lembar pendaftran milik gadis manis bernama Dinda ini. “Nama ayah kamu?” tanya Kinan yang sudah bersiap dengan pena di tangan kanannya. "Nama ayahku Faris Zainoel Baden, Dokter," jawab Dinda menyebutkan nama lengkap ayahnya dengan lancar, gadis ini terlihat antusias menjawabnya. "Lalu ibumu?" tanya Kinan lagi, namun dia tidak kunjung mendapatkan jawaban dari Dinan. Sementara itu Dinda sedikit terkejut. Ibu? Hatinya seketika terasa perih mendengarnya. Memorinya kembali berputar, ia mengingat ketika sebuah kecelakaan pesawat yang ditumpangi ibunya jatuh dan bertabrakan dengan gunung. Walau sebelum pesawat itu jatuh ibunya telah keluar dari pesawat itu, tapi kemudian ibunya yang selamat tidak bisa bertahan lama karena masalah kesehatannya. Ibunya sempat dilarikan kerumah sakit dalam keadaan tidak sadarkan diri. Namun sehari kemudian ibunya menghembuskan nafas terakhirnya. Meninggalkan dirinya juga ayahnya. Setiap seseorang meminta dia menyebutkan nama ibunya, Dinda masih merasakan sedih karena kehilangan. Karena saat itu dia merasakan kalau andai saja ibunya masih ada, maka mungkin hidupnya sebagai seorang remaja perempuan menjadi lebih mudah. "Dinda?" Kinan kembali memanggil Dinda yang terlihat sedang melamun. Dinda terbangun dari lamunannya. "Ah... maaf, Dokter, aku melamun," gumam lirih Dinda. "Mmm... aku seorang piatu, Dokter. Mama sudah meninggal 3 tahun yang lalu," ungkap Dinda akhirnya. Tak bisa menahan rasa sedihnya, Dina pun menunduk, airmataya juhga turut serta turun membasahi pipinya. Sontak kini giliran Kinan yang terkejut. Dia merasa amat bersalah karena sudah bertanya demikian, walau posisinya memang tidak tahu akan keadaan Dinda. "Maaf, Dina... saya tidak bermaksud—“ "Tidak papa, Dokter. Aku tahu itu pekerjaanmu untuk menanyakan data pasien," sela Dinda. Tidak mau terlihat ikut sedih di depan Dinda, Kinan pun menyunggingkan senyum di wajahnya. 4 tahun, waktu yang sama juga dengan kepergian suaminya  yang meninggalkannya hanya dengan buah hati mereka saja. Hah... kenapa bisa sama? Batin Kinan. TOK TOK TOK Suara ketukan pintu ruangan Kinan terdengar hingga menghentikan obrolan Kinan dengan Dinda. "Masuk!" ucap Kinan. Kinan tersenyum menyambut seseorang yang tadi mengetuk pintu ruangannya. Ternyata Azha, putranya. Tumben putranya datang ke rumah sakit dimana ia berkerja. “Halo, Ma,” sapa Azha yang kemudian masuk ke ruang praktek ibunya. “Halo, Sayang... tapi tunggu sebentar, Mama masih ada pasien,” balas Kinan. "Kak Azha?" Suara seseorang yang lain membuat Azha menoleh keasalnya. "Dinda?" gumam Azha. Betapa terkejutnya dia menemukan adik kelas sekaligus temannya ini di ruang prakter ibunya. Kinan memperhatikan interaksi putranya dan pasiennya ini. "kalian saling mengenal?" tanya Kinan kemudian. Azha menoleh pada ibunya dan menganggukkan kepalanya. "Iya, Ma... Kami satu sekolah, dia adalah adik kelasku,” jawab Azha. Kinan pun mengangguk mengerti karena teranyata putranya punya teman wanita yang manis. . /// Takdir Kedua | Gorjesso /// . "Terima kasih, Dokter,” ucap Faris pada Kinan, dokter yang telah memeriksa putrinya. Ia juga kemudian memberi salah pada seorang dokter perempuan yang sejak tadi tidak kunjung berhenti dipuji oleh Dinda kecantikannya. "Terima kasih, Dokter Kinan. Dan sampai jumpa di sekolah besok, Kak Azha!" ucap Dinda juga. Dia melambaikan tangannya kemudian menjauh dari depan ruangan Dokter Kinan. Dengan berjalan beriringan, tangan Faris memegang tangan Dinda karena khawatir. "Kamu kenal anak laki-laki itu, Dinda?" tanya Faris ketika mereka sudah menghilang ditikungan lorong tadi. Dan hendak berjalan menuju mobil mereka diparkirkan. "Iya, Pa... Namanya Azha, dia itu kakak kelasku di sekolah,” jawan Dinda pada ayahnya. Faris menganggukkan kepalanya mengerti. Tapi kemudian tangannya dia gunakan untuk menarik putrinya supaya berjalan lebih cepat menuju tempat parkir. "Dokter tadi cantik ‘kan, pa?" tanya Dinda dengan jahil. Tapi dia juga penasaran apa jawaban ayahnya. Tapi reaksi Faris ternyata sangat datar. "Iya, dia memang cantik,” jawab Faris masih tetap fokus menyetir mobilnya dan memandang jalanan di depannya. "Aku seneng ngobrol sama Dokter Kinan, Pa... Dokter ini sangat menggemaskan dan juga cantik.. Sama seperti Mama cantiknya," ucap Dinda. Atensi Faris sempat teralih karena perkataan putrinya. "Benarkah?" "Iya, Pa! Dokter Kinan itu menurut aku beneran mirip sama Mama... ahh tapi kayaknya aku sudah menemukan pendamping yang cocok untukmu, Pa,” Celetuk Dinda dengan senyum miring yang kemudian muncul menyusul. Faris pun terhenyak kaget karena mendapatkan pertanyaan ini. "Hei, Dinda! Apa yankau bicarakan?" tanya Faris yang teru saja menggodanya. Tapi Dinda justru terkekeh. "Hehehe... aku ingin punya mama baru, Pa... Papa bisa ‘kan menuruti keinginanku itu?" tanyanya penuh harap. "Ck... Dinda... Papa bisa mengabulkan itu. tapi papa harus menemukan kandidat yang benar-benar tepat,” ujar Faris yang tidak habis pikir akan permintaannya. "oh... ayolah, Paaa...,” rengeknya sambil memegangi lengan ayahnya. “Pilih saja dokter Kinan. Dia cantik, baik, dan sangat menyenangkan untuk diajak bicara... apa lagi yang kamu butuhkan, kan?” "Tidak bisa begitu, Dinda...." kata Faris yang menolak secara lembut. "Ayolah., Pa... aku ingin sekali punya mama seperti dia, yaa...." rajuk Dinda. "Ck! Diam dulu, sayang... Papa sedang fokus menyetir!" tegur Faris kesal,  sudah cukup dia mendengar rajukan putri satu-satunya yang berhasil membuat hatinya berdebar. Mama baru? Setelah sekian lama, akhirnya dia bisa melihat matahari terbit dan tidur tengah malam. Alhasil bentuk tubuhnya membaik bergitu juga dengan memberinya kesempatan lebih banyak juga. Namun mendadak permitaan putrinya seperti  baru saja memberikan PR yang sangat sulit di dalam dunia kerja. . /// Takdir Kedua | Gorjesso /// .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN