8. Sepak Bola

2066 Kata
Jangan disesali yang sudah pergi, jangan ditangisi yang sudah tiasa.  Bangkit, lihat syukuri apa yang masih ada. -Merry Riana- . Azha masih memasang wajah mode kesal walau sudah 3 jam berlalu. Bukan tanpa alasan kekesalannya ini. Dinda, bocah cebol itu meminta tolong padanya, tapi cenderung memaksa, untuk ikut bersama dirinya dan Kevin bermain bersama lagi sepulang sekolah seperti waktu itu. Bahkan mengikutinya hingga ke rumahnya juga. Alasan Dinda sih hanya satu, yaitu bertemu dengan Dokter Kinan lagi. Namun tak ia temukan wanita itu di sana, padahal Azha juga sudah mengatakan itu berkali-kali padanya jika mamanya akan pulang terlambat hari ini. Tapi tentu saja Dinda dan kelakuan ngeyelnya tetap tidak terbendung. "Dinda!" teriak Azha ketika menemukan gadis itu menyentuh gitar kesayangannya yang tergeletak di pojok ruangan di kamarnya. Dinda menarik tangannya kembali dan menatap pada Azha. "Hehe... Kalo ada gitar di sana ngapain ada juga di sini?" tanya Dinda tanpa ada rasa bersalah telah menyentuh salah satu barang berharga milik Azha. Azha menghela nafasnya. Dia ingin marah, tapi dia harus memahami kalau Dinda memang tidak mengetahui kalau gitar ini adalah hal yang tidak boleh sembarangan orang lain sentuh. "Keluar, Lo... kita main PS di luar aja!" tegur Azha. Tanpa menunggu diperintah lagi, Dinda pun menurut. Ya, ia juga harus menghargai privasi Azha. Tapi karena dia tadi terlalu penasaran jadi sempat melewati batas. TING TONG Suara bel yang berdenting cukup keras menghentikan aktivitas Dinda dan Azha yang tengah sibuk saling mengumpat karena mereka saling curang untuk memenangkan game yang sedang mereka mainkan. Azha bangkit berdiri tapi sempat menatap tajam peruh peringatan pada adik kelasnya satu  ini. "Gue buka pintu dulu. Lo jangan curang!" ancam Azha lalu setelahnya meninggalkan Dinda yang mengerucutkan bibirnya karena dituduh ingin curang. Azha cukup terkejut ketika mendapati mamanya dan seorang pria tengah berbincang di teras rumah mereka, sepertinya sedang mengucapkan salam perpisahan satu sama lain. Tapi wajah pria itu cukup familiar bagi Azha. Tapi siapa? Dirinya masih belum menemukan wajah pria asing ini di otaknya. "Oom!" teriak Azha, seketika membuat Kinan maupun pria itu menoleh cepat padanya. "Putrimu ada di sini!" teriak Azha lagi. Sekarang dia tahu siapa pria asing yang wajahnya familiar ini. Baik Kinan maupun pria itu, mereka sama-sama tengah menautkan alis mereka karena pernyataan Azha. "Putriku?" tanya pria itu. Azha menganggukkan kepalanya mantap. "Iya. Maksud saya Dinda ada disini, Oom,” jawab Azha, memperjelas maksudnya. Pria yang dipanggil oleh Azha Oom ini kemudian mengerti, tapi dia perlu memastikan. "Maksud kamu Dinda?" Azha menganggukkan kepalanya sekali lagi. Dia kemudian bersama Ibu dan ayah dari Dinda ini masuk ke dalam rumah. “Dinda, kamu ada di sini?” Alis Dinda tertaut sempurna lebih dulu sebelum menyadari sosok yang memanggil namanya. Sempat menyangkal itu adalah suara milik ayahnya karena terdengar mirip, tapi mana mungkin ayahnya ada di sini juga. Namun setelah ia menolehkan kepalanya ke belakang, ternyata memang benar itu memang Ayahnya. Namun kini sebuah tatapan tajam penuh tuduhan ia layangkan pada Azha. Dan Azha pun langsung menyadari betapa banyak tuduhan yang tersirat dari wajah Dinda kini. "Gue nggak nelpon bokap lo buat jemput lo di sini," elak Azha sebelum kesalah pahaman terjadi dan akan membuat Dinda pasti akan mengusilinya besok di sekolah seharian penuh. "Bener?" tanya Dinda, ia perlu memastikan kebenarannya padahal ada Kinan dan Faris di sini, tapi mereka sudah siap untuk bertengkar saja. "Iya lah, ngapain gue jadi tukang ngadu," tegas Azha. "Sejak kapan kamu ada di sini, Dinda?" tanya Kinan menghentikan perbincangan yang hampir menjadi pertengkaran itu, cukup wajar bagi mereka yang masih dalam usia remaja. Dinda seketika menoleh pada Kinan setelah menyadari sang dokter ada di antara mereka juga. Dia kemudian langsung berjingkat dari sofa dan menghampiri Kinan, senyumnya langsung merekah melihat ibu dari Azha yang dia jadikan kandidat ibu barunya. Bodoh, kenapa sejak tadi ia tak menyadarinya? Batin Dinda yang sudah lupa akan ayah dan Azha. "Sejak beberapa jam yang lalu, Dokter," jawab Dind lembut dan ceria, beda sekali ketika berbicara dengan Azha tadi. Ah... begitu gembiranya ia bertemu dengan dokter wanita ini lagi. Bak seorang anak kecil yang mendapat gaun princess impiannya. Faris saja sempat terkejut melihat perubahan sikap Dinda yang berubah sangat cerah begitu menemukan Kinan yang memang berdiri di sebelahnya. Bahkan putrinya itu sama sekali tak menjawab panggilan papanya itu. Sepertinya niat putrinya untuk membuat sang dokter menjadi ibu barunya tidak main-main. Pikir Faris dalam kepalanya. "Kamu sudah makan?" tanya Kinan lagi, menyambut keceriaan Dinda yang membawa efek positif juga padanya. "Sudah dong, Dokter!" jawab Dinda, tidak lupa dengan anggukan kepalanya yang semangat. Lagi-lagi membuat Faris terkejut, tak pernah ia mendapati Dinda bisa terlihat senang dekat dengan seorang wanita yang seumuran dengan ayahnya sendiri. Karena Dinda pasti akan mengira jika itu adalah kekasihnya dan akan menjadi mama baru bagi putrinya itu. Namun yang tampak kali ini jelas sangat berbeda. "Kalo gitu pulang sana!" celetuk Azha, mengusir Dinda. Dan langsung saja Dinda menendang kaki Azha karena kesal. Dinda menatap sengit pada Azha setelah memberi serangan. "Lo ngusir gue, hah?!" pekik Dinda mulai misuh-misuh. "Kamu nggak boleh bicara kayak begitu, Azha. Biarin aja Dinda di sini kalo emang dia masih betah,” sela Kinan memberi nasihat pada putra semata wayangnya. Dan itu diikuti Dinda yang mengangguk penuh kemenangan karena mendapat pembelaan. "Ck! Kenapa mama malah bela Dinda, sih?!" protes Azha tak percaya dia tidak dibela. "Ekhem!" Faris berdehem cukup keras karena merasa terabaikan keberadaanya di rumah ini. Mungkin dia justru transparan. "Papa sakit?" tanya Dinda cepat mendengar deheman ayahnya yang sedikit serak. Kesehatan Faris bagi Dinda adalah nomor satu. Dan ia akan selalu cemas jika sudah mengenai hal ini. Namun tiba-tiba saja pikirannya terarah pada sesuatu yang gila menurut dirinya sendiri. Dokter Kinan itu kan seorang dokter. Jadi kalau ayahnya menikah dengan dokter Kinan, maka ia tak perlu repot-repot mencemaskan kesehatan ayahnya, itu pun jika ibu Azha ini menjadi mamanya juga. Pikiran Dinda mulai menggila karena membayangkan skenario ini. "Enggak. Papa cuma merasa terabaikan di sini,” ujar Faris. Kedua tangannya ia masukkan lagi ke dalam kedua saku celana hitamnya. Berpura-pura kesal dengan memasang wajah jutek pada putrinya. Tapi Dinda justru sama sekali tidak terpengaruh akan hal itu. "Maafin Dinda, Papa,” ucap Dinda kemudian terkekeh geli. Segera saja dia berdiri di sebelah ayahnya itu. Melihat keakraban Dinda dengan Faris membuat Kinan tanpa sadar tersenyum. Dia merasa senang melihat keakraban seorang anak dengan ayahnya karena pasti meski tanpa ibu, Dinda hidup dengan baik bersama ayahnya. Kinan melirik jam yang menggantung di dinging ruang tamu lalu berpikir sejenak. "Ini sudah pukul 6 sore. Bagaimana jika kalian makan malam bersama kami?" tawar Kinan setelah menimbang tawarannya lebih dulu. Mendengar tawaran itu, mata Dinda langsung berbinar menatap Kinan. "Iya, aku mau!" pekik Dinda, dia langsung setuju dengan tawaran Kinan untuk makan bersama. Tapi kemudian ia melirik ayahnya. "Papa pasti setuju. Iya ‘kan, Pa?" rayu Dinda, ia juga sampai menyikut perut Faris pela guna meminta persetujuan. Pokoknya ayahnya ini harus bersamanya di sini juga. "Ah iya... baiklah jika tidak merepotkan," sahut Faris pasrah. Padahal dia merasa tidak enak karena sepertinya ada yang kurang setuju akan kehadirannya di tempat ini. Namun dirinya selalu tak bisa menolak suatu keinginan Dinda jika itu akan membuat putrinya ini bahagia. Apalagi sekarang tampak begitu cerianya putri satu-satunya itu saat ini. Faris dibuat tak berhenti mengulum senyum, seolah dia akhirnya bisa melihat Dinda seperti kembali bernyawa. "Kalau begitu Azha dan Dinda bisa lanjutkan saja permainan game kalian. Mama akan memasak dulu," ujar Kinan melirik pada putranya. Azha hanya bisa tertunduk malu sekaligus merasa bersalah, ia ketahuan bermain game lagi oleh mamanya yang melarangnya bermain game beberapa hari ini karena harus fokus belajar. "Aku udah bosen main sama kak Azha... Jadi aku pengen bantu dokter Kinan masak aja," ujar Dinda yang kembali menyentuh lengan Kinan tanpa sungkan. Kinan pun mengangguk dengan senang hati dia mendapatkan bantuan orang lain. Segera mereka berdua menuju dapur untuk mempersiapan hidangan makan malam yang akan mereka santap bersama. Tidak banyak, namun mempersikapkan beberpa hal tentu butuh bantuan seseorang. Sementara itu pada lelaki, Faris dan Azha duduk bersama di sofa ruang tengah yang dilengkapi sofa dan televisi besar. Mereka berdua menikmati acara bola yang sedang disiarkan. Sudah tidak bisa dihindari lagi rutukan, u*****n, cacian, makian dan teriakkan pun kerap terdengar dari mulut mereka berdua saat tim kesebelasan yang ternyata sama-sama mereka sukai kehilangan bola mereka. Beberapa kali itu membuat Kinan dan Dinda terkejut, tapi mereka segera memaklumi saja. Padahal kalau Azha menonton sendirian, dia tidak akan begini. Mungkin karena da teman menonton bola, rasa antusiasnya berbeda. "Agghhh!!! Seharusnya mereka nendang yang keras!" teriak Azha kesal, ia juga sampai mengacak rambutnya frustasi. Sudah tidak terbentuk tatanan rambutnya saat ini. Faris menoleh pada Azha lalu terkekeh, sudah lama ia tak punya teman untuk menikmati tontonan sepak bola. Karena bila di rumah, Dinda pasti akan mengganti saluran televisi dengan apa saja yang tidak berkaitan dengan sepak bola. Maka dia pun harus mengalah. Pandangan Azha dan Faris kembali terfokus pada layar televisi yang cukup besar itu. Bahkan semakin menyipit saja mata mereka menatap tajam mengikuti alur permainan yang semakin menegangkan, karena saat ini tim kesebelasan kesukaan mereka sudah berhasil menggiring bola semakin mendekat menuju kotak penalti. Berkali-kali mereka mengumpat meminta para pemain sepak bola itu agar menyudahi hal menegangkan ini dengan sebuah gol. "Ayolah.. lebih cepet lagi...," gumam Azha merasa gemas. 1 2 3 "GOAL!!!! YEY! GOALLLLL!!!!!" teriak Azha dan Faris bersamaan. Bahkan teriakan itu terdengar hingga dapur dan membuat Dinda langsung mengumpat pelan karena terkejut. Ia pun mencoba melihat keadaan di ruang televisi. Sebuah senyuman langsung tersungging dari bibirnya sekarang ini. Melihat betapa akrabnya 2 orang yang ia sayangi di hadapannya, papanya dan juga Azha sedang melakukan high five, lalu juga berpelukan untuk saling memberikan selamat atas goal yang didapat tim sepak bola yang Dinda ketahui memang kesukaan milik papanya. Teriakan kemenangan juga masih bergema di bibir mereka. Dinda kembali tersenyum saat membayangkan hal baik akan terjadi nantinya jika mereka ber-empat adalah sebuah keluarga. Tentu ia tak perlu lagi repot-repot mengawasi tv yang akan ditonton papanya untuk melihat siaran pertandingan sepak bola. Karena jika sudah melihatnya, bukan keadaan seperti ini yang ia dapatkan, melainkan ia akan melihat papanya menangis tanpa suara sambil memandangi layar tv. Karena dulu katanya ibunya lah yang selalu menemani papanya menonton. Hal itu Dinda ketahui saat dia merasa haus dan minuman di kamarnya sudah habis, terpaksa dia harus keluar kamar untuk mengambil di dapur. Namun saat melintasi ruang televisi, dia melihat ayahnya sedang menangis. tadinya bersuara, dengan sesenggukan juga tapi lama-kelamaan hanya air mata yang mengalir. Yang malah kemudian menghancurkan hati Dinda karena melihat semua itu. Tapi sekarang, Dinda pikir papanya telah menemukan teman menonton yang tepat. Semoga saja dia bisa membuat Dokter Kinan dan Azha menjadi keluarganya. Keadaan kembali normal karena siaran sepak bola itu sudah selesai dan ditutup dengan skor telak 4-1 kemenangan untuk group favorit mereka. Tidak terhindarkan lagi eforia kemenangan yang dirasakan keduanya. Mereka bahkan menyanyikan lagu khusus suporter sepak bola bersama mereka yang ada di tribun, menonton langsung di tempat. "Itu foto papamu, Azha?" tanya Faris, ketika ia melihat sebuah figura besar terpajang di tembok di atas televisi. Ditanya begitu, tatapan Azha langsung menjadi sendu. Pertanyaan yang masih saja sensitif baginya. Tapi tak apa lah, ayah Dinda ini memang tidak tahu, jadi wajar saja jika ia bertanya. "Iya, Oom,” jawab Azha dengan senyum tipis yang menyiratkan sebenarnya menyiratkan kepedihan di dalam hatinya. Namun karena saking terbiasanya dia untuk menyembunyikan hal ini. Dia pun makin terbiasa tampil dengan wajah baik-baik saja. "Dia berprofesi menjadi seorang tentara?" tanya Faris lagi sambil mengamati wajah ayah Azha di dalam foto. "Iya, Oom. Tapi itu empat tahun yang lalu,” jawab Azha, yang membuat Faris menyerit bingung mendengar kalimatnya yang terasa menggantung itu. Azha menghela nafasnya, sepertinya dia harus menjelaskankeadaan ayahnya. “Papa sudah meninggalkan kami selama-lamanya, Oom,” jelas Azha, menjawab pertanyaan  untuk mengurai raut wajah bingung Faris dengan lirih dan sarat akan kesedihan. Langsung saja Faris terlihat salah tingkah setelah mendengarnya. Ia menanyakan hal yang tak sepatutnya, karena tentu saja ini sudah membuat rasa sedih menyeruak di d**a anak laki-laki ini. "Maafkan Oom, Azha," ucap Faris meminta maaf, dia juga mengusap punggung Azha, memberi kekuatan pada anak laki-laki ini. 4 tahun, tentu bukan waktu yang cukup singkat. Hal yang sama dengan apa yang dirasakan Dinda juga. Faris mengamati wajah Azha dan menemukan satu hal yang pasti. "Kamu pasti sangat menyayangi papamu," ungkap Faris. Dilihatnya Azha hanya tersenyum sebagai balasannya. Dan Faris cukup mengerti itu, dia tidak perlu mendengar penjelasan apapun lagi. . /// Takdir Kedua | Gorjesso /// .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN