BAB 3

1146 Kata
Pulang sekolah, Ayana segera berganti pakaian lalu duduk di teras rumah menunggu kepulangan Ayahnya. Ia sudah tidak sabar ingin segera mendengar syarat dari Sang Ayah. Lima menit kemudian terdengar suara motor matic Honda Vario Pak Cahyo yang melaju semakin mendekat ke arah rumah. Ayana pun semakin tidak sabar menunggu Ayahnya sampai di rumah. Ia segera berdiri untuk menyambut kedatangan Ayahnya. “Assalamu’alaikum ...,” ucap Pak Cahyo lalu memarkirkan motornya. “Wa’alaikum salam, Yah ...,” balas Ayana senang. Ia tetap berdiri menunggu Ayahnya memberitahu syarat yang akan diberikan padanya. “Kamu kenapa?” tanya Pak Cahyo. “Mm ... anu ... Ayana mau tanya, syarat apa yang akan Ayah berikan pada Ayana?” tanya Ayana tanpa basa-basi dengan tidak sabar. Pak Cahyo menatap wajah Ayana lalu berkata, “Menikah.” Tiba-tiba mata Ayana membelalak. Ia terkejut mendengar syarat yang diberikan Sang Ayah. “Menikah? Yang benar saja, Yah? Selama ini Ayah melarang Ayana pacaran. Dan sekarang tiba-tiba Ayah menyuruh Ayana menikah. Ayana harus nikah sama siapa, Yah? Pacar pun Ayana nggak punya!” cerocos Ayana sambil mengekor di belakang Ayahnya yang berjalan masuk ke dalam rumah. “Ayah sudah ada calonnya. Jadi, kamu cukup mempersiapkan diri saja. Yang penting bisa kuliah toh?” ucap Pak Cahyo dengan entengnya lalu masuk ke dalam kamarnya. Ayana mengentakkan kakinya ke lantai dengan kasar. Ia kesal terhadap Ayahnya yang mengambil keputusan sendiri tanpa berdiskusi dengannya terlebih dahulu. Dan sekarang Ayahnya malah pergi meninggalkannya sebelum dia sempat mengutarakan protesnya. “Siapa laki-laki yang akan dijodohkan denganku? Apa dia mengenalku?” gumam Ayana mencoba menerka laki-laki yang akan menjadi calon suaminya. Dengan bibir monyong lima senti, Ayana pun pergi masuk ke dalam kamarnya. Ia akan berpikir keras mencari cara agar bisa kuliah tanpa harus menikah. * Keesokan harinya Ketiga sahabat Ayana sudah menunggu Ayana di depan pintu masuk kelas. Mereka sudah tidak sabar ingin mendengar syarat apa yang diberikan Pak Cahyo pada Ayana. Karena dari mereka berempat, hanya Ayana yang paling ruwet diajak kuliah ke Yogyakarta. “Gimana, Ay? Sudah dikasih tahu syaratnya sama Ayah kamu?” tanya Wulan. Ayana menatap ketiga sahabatnya dengan sendu. Kemudian ia mengeluyur masuk ke dalam kelas melewati ketiga sahabatnya. Ketiga sahabatnya pun mengekor di belakangnya. “Udah lah. Kalian kuliah aja sana. Nggak usah pedulikan aku,” ucap Ayana dengan bibir cemberut. Tidak lama kemudian air mata menggenang di pelupuk matanya. Ia pun menyembunyikan wajahnya ke dalam kedua tangannya yang dilipat di atas meja. “Kamu kenapa, Ay?” tanya Rere lalu duduk di samping Ayana dan membelai punggungnya. “Kayaknya aku nggak akan pernah bisa kuliah, Genks. Syarat dari Ayahku sangat berat. Masa aku disuruh nikah?” ujar Ayana usai mengangkat kepalanya. Terlihat air mata mengalir dari pelupuk matanya. “Nikah? Sama siapa?” sahut Mala terkejut. “Nggak tahu. Aku belum protes, Ayah sudah pergi masuk kamar. Bantuin aku, Gens ...,” balas Ayana sambil menatap ketiga sahabatnya bergantian. “Bantuin gimana? Gantiin kamu nikah gitu?” sahut Wulan. “Ciye yang kebelet nikah,” goda Mala pada Wulan. “Nggak gitu, Mala. Lah kalo syarat dari Ayahnya Ayana harus nikah, kita-kita bisa apa? Yang jelas hanya bisa mendoakan semoga sakinah mawadah dan warohmah. Betul nggak?” sahut Wulan sambil menatap Rere dan Mala. “Aku tahu kalau kalian nggak bakal bisa bantu aku kali ini. Mungkin aku akan kerja dulu setelah lulus nanti. Biar bisa bayar kuliah sendiri dan nggak minta uang Ayah lagi,” pungkas Ayana pasrah. “Nah ide bagus itu, Ay. Aku setuju banget,” ucap Rere dengan tersenyum. Mala dan Wulan pun sependapat dengan keputusan yang diambil Ayana. * Usai salat magrib, Ayana bertekad bulat untuk bicara dengan Ayahnya. Ia pun memberanikan diri menghampiri Ayahnya yang tengah duduk di ruang tengah sambil menonton televisi bersama istrinya. Jantungnya terasa berdegup kencang lantaran ini pertama kalinya ia membantah Sang Ayah. “Yah ...,” panggil Ayana lembut memulai pembuka kata usai duduk bersimpuh di atas lantai yang ada di hadapan Sang Ayah yang duduk di atas kursi. “Iya? Ada apa, Ay?” sahut Pak Cahyo seraya menatap Ayana. “Mm ... Ayana nggak mau nikah sekarang, Yah. Nggak apa-apa Ayana nggak kuliah dulu. Habis kelulusan nanti biar Ayana langsung nyari kerja aja. Jadi, tahun depan Ayana bisa bayar kuliah Ayana dari hasil keringat Ayana sendiri. Boleh ‘kan, Yah?” ucap Ayana seraya menatap Ayahnya dengan tatapan memelas. Ia sangat berharap Ayahnya bisa berubah pikiran. “Nggak bisa, Ay. Ayah sudah terlanjur bicara sama Pak Budi kalau akan menikahkan kamu sama Kenzo. Ayah jamin, kamu nggak akan menyesal nikah sama dia,” balas Pak Cahyo. Ia tidak bisa membatalkan rencana yang sudah dibicarakannya dengan Pak Budi. Mau ditaruh di mana mukanya nanti kalau jadi orang plin-plan. “Minggu besok, Pak Budi dan keluarganya akan datang ke rumah kita untuk melamar kamu. Kamu anak Ayah satu-satunya, Ay. Ayah akan selalu memilihkan yang terbaik buat kamu,” imbuh Pak Cahyo. “Tapi, Ayana nggak kenal sama anaknya Pak Budi, Yah ...,” sanggah Ayana. Ia tetap bersikeras tidak mau menikah. Apalagi dengan laki-laki yang tidak dikenalnya. “Kamu nggak usah khawatir, Ay. Ayah tahu dan kenal Kenzo. Dulu dia pernah jadi murid Ayah. Dia anak yang baik dan pintar. Saat sekolah dulu dia selalu berprestasi. Tidak diragukan lagi kecerdasannya. Dan sekarang dia menjadi dosen di dua universitas di Malang. Kurang apa coba?” puji Pak Cahyo pada calon menantunya. “Ya udah, terserah Ayah aja,” pungkas Ayana pasrah lalu bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam kamar. Matanya terasa panas. Dadanya pun terasa sesak. Tidak berselang lama air mata meluruh dari pelupuk matanya. Ayana tahu, mengerti, dan paham. Ayahnya melakukan semua ini demi kebaikan dirinya. Karena ia anak perempuan dan anak satu-satunya di rumah ini, wajar saja Ayahnya mengekang dan mengkhawatirkannya. Ayana pasrah dengan keputusan Ayahnya karena ia tidak mau melawan dan menjadi anak durhaka. Apalagi ia seorang anak perempuan. Ia juga tidak mau macam-macam yang bisa mencoreng nama baik keluarga. Bisa saja ia kabur untuk menghindari perjodohan ini. Namun, itu tidak akan pernah ia lakukan karena takut Ayahnya menanggung malu karena ulah bodohnya. “Yah ..., semoga setelah Ayana menikah nanti, Ayah sudah nggak akan ngatur-ngatur kehidupan Ayana lagi. Ayana pengen bebas dari kekangan Ayah. Ayana pengen mengambil keputusan sendiri dan melakukan apapun seperti yang Ayana mau, Yah,” keluh Ayana sambil memeluk bantalnya. * Hari Minggu pun akhirnya tiba. Pukul satu siang rombongan keluarga Pak Budi datang. Pak Cahyo menyambut dengan sangat gembira. Acara lamaran ini diadakan dengan acara kecil-kecilan saja. Hanya dihadiri keluarga inti dan para tetua. Kebetulan kakek Kenzo bisa menghitung hari dan mencari hari yang baik untuk melangsungkan pernikahan Kenzo dan Ayana. Namun, hari baik dari yang terbaik pun jatuh pada bulan depan. Tepatnya dua puluh satu hari ke depan. “Apa nggak ada hari lain, Pak? Ini terlalu dekat harinya. Kita butuh banyak persiapan untuk melangsungkan pernikahan mereka,” ujar Pak Budi pada Bapaknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN