BAB 4

1130 Kata
“Nggak ada. Ini hari yang sangat bagus untuk melangsungkan pernikahan mereka. Nggak perlu acara yang mewah. Yang penting sah saja dulu,” balas Pak Karyo, kakek Kenzo. Yang lain pun akhirnya setuju untuk menikahkan Kenzo dan Ayana tanpa pesta. Yang penting sah. Ayana yang mendengar diskusi dan keputusan mereka pun mendelik seketika. Namun, ia tidak berani protes. Hanya bisa menelan saliva dan rasa sesak di d**a. ‘Apa-apaan orang-orang ini? Main ambil keputusan sendiri tanpa tanya dan tanpa minta persetujuan pengantinnya. Langsung oke-oke aja. Ngeselin! Kira-kira Mas Kenzo-nya tahu nggak?’ gerutu Ayana dalam hati. Usai mendapatkan kesepakatan yang diinginkan, rombongan keluarga Pak Budi pun pamit pulang. Tadinya Ayana sangat penasaran dengan rupa laki-laki yang bernama Kenzo. Namun, sayangnya laki-laki itu tidak ikut dalam acara lamaran ini karena belum pulang dan masih sibuk di Malang. Nyatanya, keluarga Pak Budi belum memberitahu Kenzo kalau akan segera dinikahkan dengan Ayana tiga minggu ke depan. Di dalam kamar, Ayana memandangi cincin pertunangan yang disematkan ibu Kenzo di jari manis tangan kirinya. Cincin itu sangat indah. Entah siapa yang memilih dan membelinya. Sangat begitu pas dan cocok di jarinya. “Semoga ini awal yang baik. Aku nggak peduli dengan pernikahannya. Yang penting aku bisa kuliah sekarang,” gumam Ayana pelan. * Keesokan harinya Ketiga teman Ayana berebut tangan kiri Ayana untuk melihat cincin pertunangan yang tersemat di jari Ayana. Mereka masih tidak percaya kalau Ayana sebentar lagi akan menikah. “Ay, kamu beneran mau nikah?” tanya Wulan seraya menatap Ayana. Ayana menganggukkan kepalanya. Entah ia harus merasa bahagia atau bersedih saat ini. “Katanya mau kerja biar nggak jadi nikah? Gimana sih?” tanya Mala. “Ayah nggak bisa membatalkan rencananya. Udah terlanjur sepakat sama Pak Budi. Mau gimana lagi?” jawab Ayana pasrah. “Kamu udah tahu rupa dan wajah calon suami kamu? Jangan-jangan ... gendut, pendek, item, botak. Ih ... syerem amit-amit jabang bayi,” ujar Rere seraya mengetuk-ngetuk meja bangku beberapa kali. Ayana pun tiba-tiba memberengut mendengar deskripsi fisik calon suaminya dari Rere. Wulan dan Mala malah tertawa mengakak. “Ay, kamu tahu ‘kan kalau nikah nantinya kamu bakal diajak begituan sama suami kamu. Emang kamu mau? Berani?” ujar Mala tiba-tiba. Sontak Ayana pun terlihat panik dan menggelengkan kepalanya. Kenapa ia tidak berpikir sampai ke sana. Yang dipikirkannya hanya kuliah, kuliah, dan kuliah. “Udah-udah. Jangan nakut-nakutin Ayana dong, Genks. Yuk ah pulang. Bosen nih. Dari tadi nyari-nyari info di papan pengumuman nggak ada apa-apa,” ujar Wulan. Ia tidak mau Ayana terlalu banyak beban pikiran. Dilarang kuliah ke Yogyakarta saja Ayana sudah stres. Ditambah lagi sekarang harus nikah dengan orang yang tak dikenalnya. * Hari berganti hari. Tidak terasa hari pernikahan Ayana kurang dua hari lagi. Semua persiapan sudah sembilan puluh persen. Surat nikah pun sudah jadi, hanya tinggal tanda tangan saat akad pernikahan nanti. Semua bisa berjalan dengan lancar lantaran beberapa saudara Pak Cahyo ada yang bekerja di kantor kelurahan, catatan sipil, dan KUA. Sehingga semuanya bisa diproses dengan cepat. Untuk makanan dan minuman, para tetangga selalu saling bantu membantu saat ada orang yang sedang hajatan. Semuanya jadi terasa mudah dan cepat meskipun hanya ada waktu tiga minggu saja. Tenda berwarna putih kombinasi emas sudah berdiri di halaman rumah Pak Cahyo. Ayana menatap tenda itu seakan tak percaya kalau lusa ia akan menikah. Padahal baru beberapa hari yang lalu ia wisuda kelulusan SMA. * Sementara itu di sebuah rumah mungil berukuran tipe 50/84, seorang laki-laki tengah berkutat dengan laptopnya. Dia adalah Kenzo Naufal Maulana. Hari-harinya disibukkan dengan membuat materi kuliah dan menilai tugas mahasiswa mahasiswinya. Tiba-tiba ponselnya berdering pertanda ada telepon masuk. Kenzo pun segera melihat nama penelepon yang ada di layar ponselnya. “Bapak? Tumben telepon,” gumam Kenzo seraya mengerutkan keningnya. Dengan segera ia meraih ponsel itu lalu menempelkan pada telinganya usai menggeser tombol hijau. “Assalamu’alaikum, Pak,” ucap Kenzo lembut. “Wa’alaikum salam, Ken,” sahut Pak Budi di seberang telepon. “Ada apa, Pak? Tumben telepon? Biasanya ‘kan Kenzo yang telepon Bapak,” tanya Kenzo. Ia khawatir terjadi apa-apa pada salah satu anggota keluarganya. “Besok kamu harus pulang, Ken!” ujar Pak Budi, tepatnya perintah. “Kenapa, Pak? Ada apa?” tanya Kenzo penasaran dan mulai khawatir. “Pokoknya besok sore atau malam, Bapak tunggu kamu di rumah. Awas kalau nggak pulang, Bapak coret kamu dari KK!” ancam Pak Budi tanpa memberitahu Kenzo kalau akan dinikahkan. “Loh, kok gitu, Pak? Kenzo usahakan ya, Pak. Kalau nggak sempat ya hari Minggunya ya, Pak,” ucap Kenzo mencoba bernegosiasi. “Halah. Kerjaan kamu bawa pulang saja. Kerjakan di rumah. Pokoknya, kamu harus pulang sebelum hari Minggu, Ken! Wassalamu ’alaikum,” pungkas Pak Budi lalu memutus sambungan teleponnya tanpa menunggu jawaban dari Kenzo. “Wa’alaikum salam,” gumam Kenzo pelan lalu meletakkan ponselnya kembali di atas meja. “Ck. Ada apa sih sebenarnya? Bikin orang penasaran saja,” gerutu Kenzo. * Keesokan harinya Kenzo bergegas mandi usai pulang dari kampus. Untungnya, hari Sabtu ia hanya perlu mengajar satu mata kuliah di Universitas Mawar Malang. Dengan begitu ia bisa segera pulang untuk menemui Bapaknya sebelum dicoret dari KK. Usai berganti pakaian dan menyisir rambutnya, Kenzo menyambar tas laptop, dompet, serta ponselnya. Setelah itu ia bergegas masuk ke dalam mobil. Ia tidak membawa pakaian ganti karena di rumahnya masih ada beberapa setel pakaian miliknya. Tidak lama kemudian mobil itu melesat meninggalkan rumah usai Kenzo mengunci pintu rumah dan pintu gerbang rumahnya. Rumah mungil itu adalah rumah yang dibeli Kenzo secara tunai satu tahun yang lalu. Ia sangat bangga. Meskipun tidak besar, tapi rumah itu adalah miliknya yang dibeli dari hasil keringatnya sendiri. Begitu juga dengan mobil Avanza hitam yang ditumpanginya. Ia baru membeli mobil itu enam bulan yang lalu. Meskipun bukan mobil baru, tapi masih sangat layak untuk ditumpangi. Kenzo melajukan mobilnya melalui jalur tol agar cepat sampai di rumah. Dua jam kemudian sampailah Kenzo di depan rumahnya. Ia mengerutkan kening saat melihat ada tenda biru di sana. “Ada apa ini? Nggak ada yang meninggal ‘kan?” gumam Kenzo pelan. Ia pun buru-buru turun dari mobilnya dan melihat Pak Budi tengah mengatur letak-letak kursi untuk walimah nanti malam. “Assalamu ’alaikum. Ada apa ini, Pak?” tanya Kenzo. Kemudian ia meraih tangan Pak Budi dan mencium punggung tangan itu. “Wa ’alaikum salam. Akhirnya kamu pulang juga, Ken!” sambut Pak Budi senang. “Ayo masuk dulu. Kita ngobrol di dalam!” ajak Pak Budi. Kenzo pun patuh dan mengekor di belakang Pak Budi. Ketika memasuki ruang tamu, bau bunga sedap malam, pandan, dan bunga melati masuk ke indra penciumannya. “Ada apa ini, Pak? Kok kayak ada orang yang mau nikah?” tanya Kenzo ketika melihat berbagai macam seserahan dan mahar berada di dalam kamarnya. Pak Budi sengaja mengajak Kenzo masuk ke dalam kamar Kenzo untuk bicara empat mata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN