BAB 2

1138 Kata
Ayana yang tadinya menundukkan kepalanya tiba-tiba mengangkat kepalanya menatap Sang Ayah. “Syarat? Syarat apa, Yah?” tanya Ayana dengan mengerutkan keningnya. “Besok Ayah akan kasih tahu syaratnya. Kamu mau kuliah dan jadi guru seperti Ayah ‘kan?” balas Pak Cahyo sok misterius. Ia belum bisa mengatakan syaratnya pada Ayana sekarang karena belum berdiskusi dengan Pak Budi. Ayana menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Kalau begitu kamu akan melakukan apa pun syarat yang Ayah berikan ‘kan?” tanya Pak Cahyo lagi. “Iya, Ayah. Apa pun syarat dari Ayah, Ayana janji akan melakukannya,” ucap Ayana optimis. Ia mengira syarat dari Ayahnya adalah harus menjaga diri dengan baik dan tidak boleh bergaul dengan sembarang lelaki. Kalau hanya itu, ia sudah terbiasa sejak dulu. “Ya sudah kalau begitu. Mulai sekarang kamu belajar yang rajin biar bisa lolos tes nanti,” ucap Pak Cahyo menyudahi pembicaraannya dengan Ayana. “Siap, Yah!” balas Ayana senang. * Keesokan harinya Ayana baru saja masuk ke dalam kelas. Ketiga sahabatnya langsung menatapnya dan menghampiri di mana meja bangku Ayana. “Gimana, Ay? Sudah dapat izin dari Pak Cahyo?” tanya Rere. Pak Cahyo adalah guru mereka saat SMP dulu. Ayana menganggukkan kepalanya dengan tersenyum. “Kemarin Ayah bilang aku boleh kuliah, tapi ada satu syaratnya,” ujar Ayana yang membuat ketiga sahabatnya jadi penasaran. “Apa itu, Ay?” tanya Wulan dengan mengerutkan keningnya. “Ayah belum bilang, tapi aku sudah bisa menebaknya. Paling-paling juga disuruh jaga diri baik-baik. Jangan bergaul dengan orang asing. Kayak gitu lah. Ayahku kan posesif banget. Takut anaknya yang cantik dan manis ini digoda orang ...,” ucap Ayana sembari memuji dirinya sendiri dengan percaya diri. “Hweek!” Rere, Wulan, serta Mala berekspresi muntah. “Memang kamu cantik kok!” Tiba-tiba terdengar suara celetukan dari Mario yang baru saja masuk ke dalam kelas. Ayana menatap Mario dan tersenyum malu. “Kamu jadi kuliah di mana, Rio?” tanya Rere. “Di Malang aja. Biar nggak jauh-jauh kalau pulang,” jawab Mario santai sambil menaruh tasnya di atas meja. “Oh .... Yakin nggak ngikut kita ke Jogja?” sahut Mala. Sebenarnya ia ada rasa pada Mario. Namun, ia sadar diri kalau beda kasta dengan Mario. Sampai kapan pun ia tidak akan bisa mengimbangi Mario. “Nggak. Di Malang juga banyak kok perguruan tinggi yang bagus,” balas Mario dengan tersenyum simpul dan menatap Ayana. Ayana yang ditatap pun menjadi malu. Ia menundukkan pandangannya lalu menoleh ke arah jendela yang ada di sampingnya. Jantungnya terasa berdenyut tidak biasa. Siapa pun tidak ada yang bisa menolak pesona Mario Hutama. Dia adalah laki-laki yang tampan, tinggi, dan cerdas. Sejak dulu ia selalu rangking satu di kelas. Orang tuanya sangat kaya raya. Namun, itu semua tidak menjadikannya anak yang sombong. Di sekolah ia juga aktif mengikuti beberapa organisasi dan kegiatan seperti OSIS, PRAMUKA, olahraga basket, dan lain-lain. Semua guru dan murid mengenalnya dengan baik. “Kamu jadi kuliah ke Jogja, Ay?” tanya Mario. Ayana menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Iya dong. Kita kan sahabatan sejak SMP. Jadi, sampai kuliah pun kita akan tetap sama-sama. Iya kan, Ay?” sahut Wulan sembari merangkul pundak Ayana. “Ya sudah. Semoga kalian semua bisa diterima di sana ya. Biar nggak terpisahkan,” pungkas Mario dengan tersenyum. “Terima kasih Mario sayang. Duh ... andai kamu ikut sama kita-kita. Pasti rame,” ujar Wulan. Ia adalah sepupu Mario. Jadi, tidak ada rasa sungkan saat ia menyebut Mario dengan sebutan sayang. * Saat jam istirahat, Pak Cahyo beberapa kali menengok ke arah pintu ruang guru. Ia sudah tidak sabar ingin segera berbicara empat mata dengan Pak Budi. Pak Budi adalah seorang guru matematika di SMPN 1 Anggrek. Jika bel tanda istirahat atau pulang sudah berbunyi, ia tidak segera mengakhiri pelajarannya sebelum selesai menjelaskan pada murid-muridnya. Karena itu ia selalu telat masuk ke ruang guru. “Ck, lama sekali sih Pak Budi ini. Keburu bel masuk berbunyi nanti,” gerutu Pak Cahyo pelan. Sesekali ia menengok jam di pergelangan tangan dan di dinding ruang guru. Beberapa saat kemudian Pak Budi pun memasuki ruang guru. Pak Cahyo pun bernapas lega. “Pak, bisa bicara sebentar?” tanya Pak Cahyo saat Pak Budi baru saja mendaratkan bokongnya di atas kursi. “Iya, ada apa, Pak?” balas Pak Budi seraya menoleh pada Pak Cahyo. “Maaf, saya mau bicara empat mata, Pak. Bisa ikut saya ke lab biologi sebentar?” tanya Pak Cahyo dengan penuh harap. “Oke,” balas Pak Budi setuju. Pak Cahyo pun segera bangkit dari duduknya lalu keluar dari ruang guru menuju lab biologi. Pak Budi mengekor di belakangnya. Kebetulan lab biologi selalu sepi saat jam istirahat. Ditambah lagi lokasinya yang sangat dekat yaitu bersebelahan dengan ruang guru. Jadi, mereka tidak perlu berjalan terlalu jauh. “Begini, Pak. Apa anak Pak Budi yang belum menikah itu si Kenzo, yang dulu selalu dapat beasiswa dari sekolah karena selalu berprestasi?” tanya Pak Cahyo setelah sampai di lab biologi tanpa basi-basi karena sebentar lagi bel masuk akan berbunyi. “Iya, Pak. Pak Cahyo masih ingat si Kenzo?” sahut Pak Budi senang. Pak Cahyo mengangguk sambil tersenyum. Kemudian ia pun menceritakan perihal kekhawatirannya pada Ayana yang ingin kuliah di Yogyakarta. Namun, ia tidak mengizinkan lantaran khawatir dengan pergaulan anak zaman sekarang. Hingga akhirnya ia mengutarakan maksudnya untuk menikahkan Ayana dengan Kenzo. Dengan begitu ia tidak merasa khawatir lagi jika Ayana kuliah di luar kota karena sudah ada yang menjaganya. “Tapi, Kenzo jadi dosen di Malang, Pak, bukan di Jogja,” sanggah Pak Budi. “Iya, saya mengerti, Pak. Nggak apa-apa, Pak. Biar nanti Ayana kuliah di Malang saja. Yang penting dia ada yang menjaga,” tukas Pak Cahyo. “Memangnya Ayana sekarang umur berapa, Pak? Apa nggak apa-apa kalau dia menikah muda?” tanya Budi. “Sekarang sudah delapan belasan, Pak. Mau ke sembilan belas. Nggak apa-apa dia menikah muda. Toh suaminya juga orang baik ‘kan? Saya yakin sama bibitnya Pak Budi,” balas Pak Cahyo seraya tersenyum pada Pak Budi. “Wah ... cocok kalau begitu. Jadi, saya nggak perlu susah-suah lagi nyarikan jodoh buat si Kenzo. Saya sangat setuju dengan rencana ini, Pak. Nggak nyangka ya, Pak, sebentar lagi kita akan menjadi besan,” sahut Pak Budi sangat senang. “Kalau begitu mari segera kita laksanakan rencana ini secepat mungkin. Hari ini hari Kamis, kan? Minggu besok, saya akan ke rumah Pak Cahyo untuk lamaran. Saya sudah sangat tidak sabar ...,” imbuh Pak Budi gemas. Pak Cahyo tersenyum puas karena Pak Budi menyetujui rencananya. Kemudian mereka berdua kembali ke ruang guru karena bel masuk sudah berbunyi. Ada rasa lega di dalam hati Pak Cahyo. Kini ia merasa tenang untuk membiarkan Ayana kuliah di luar kota. ‘Maafkan Ayah, Ay. Ini semua demi kebaikan kamu juga, Nak,’ gumam Pak Cahyo dalam hati sambil berjalan menuju kelas untuk mengajar kembali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN