14. Empat Belas

1542 Kata
Semalam Rahee tidur nyenyak, sore-sore di suruh makan, terus katanya istirahat. Meski paginya badan Rahee remuk akibat nyangkul. Rahee sempat memerhatikan kamar Mr. Altarik, catnya warna abu memberi kesan maskulin, lalu terisi dengan beberapa barang saja hingga membuat kamar ini terkesan luas, seprainya warna cokelat muda senada dengan lemari dan ranjang. Tidak ada foto atau hiasan dinding lainnya. Barang-barangnya pun tertata rapi sejenis minyak wangi, sisir, ada krim wajah dan masker juga, lalu alat cukur. Rahee simpulkan, Mr. Altarik suka perawatan wajah. Orangnya juga bersih, ada tong sampah di pojok dekat pintu kamar mandi yang iseng Rahee lihat isinya cuma kertas-kertas nggak penting. Well, Rahee nyaman tidur di sana. Kasurnya empuk, selimutnya tebal, seprainya lembut, beda sama fasilitas kamar kosnya. Ya iya lah! Rahee berdecak, kemudian tersenyum. Sabar, ya. Sebentar lagi dia jadi istri sultan, kalau pun nanti jadi janda Rahee akan gondol banyak uang. Sesederhana itu kesenangannya, tapi sesederhana itu pula dihancurkan dengan kalimat Dion yang di telinga Rahee bak dengung terompet sangkakala. Yakni, "Tolong jaga anak Bang Samud, sekarang masih tidur di kamar nomor dua. Kamu ke sana aja, mereka titip anaknya di sini. Gue nggak bisa ngurus bayi soalnya." Lah, terus beliau pikir gue bisa gitu?! Pekik Rahee murka dalam hati. "Oh, ya, di rumah ini cuma ada kita. Nanti Altarik sama Chandra nyusul ke sini." "Hah? Gimana?" Rahee sampai nggak bisa berkata-kata. Dion berikan tatapan datarnya. Berdecak dan ngeluyur begitu saja. Menyisakan Rahee di depan pintu kamar nomor 9 yang sedang mengerjap. "BANG DION!" Entah keberanian dari mana Rahee teriak, dia meringis, wajahnya seperti ingin menangis. "Aku nggak bisa ngurus bayi." Gila, sih! Rahee tak habis pikir. Lagian kok orang tua bayinya tega, sih? Kalau nanti pas Rahee urus terus tiba-tiba bayinya salah urat atau terjadi pergeseran tulang bagaimana? Rahee yang disalahin, kan? Yang mana Dion balik lagi, Rahee langsung siaga detik di mana Dion berkata, "Susunya ada di tas warna biru, popok dan pakaiannya di tas kuning. Mainannya di tas cokelat. Lo atur aja, gue titip. Mau ke pasar sebentar." "Y-ya? Bang—tunggu—tapi—BANG DION!" Seperti itu, tidak Dion indahkan padahal Rahee nyusul di belakang hingga tiba di teras depan. Entah siapa istrinya Dion, Rahee merasa takjub kepada beliau karena hebat bisa bertahan hidup dengan cowok semenyebalkan ini. Yang detik itu juga deru mesin mobil terdengar. Sepeninggalan Dion, Mr. Altarik datang. Tepat sekali, suara tangisan bayi menggoncang kengerian dalam diri Rahee. "Kenapa?" Adalah Altarik yang bertanya, kata pertama ketika dia turun dari mobilnya. Heran, sebab Rahee menangis menyambutnya. Namun begitu Altarik dekati, Rahee kabur. "Kenapa, tuh?" Altarik melirik Chandra, abangnya yang baru saja mengunci mobil. Dan Altarik mengedikkan kedua bahunya tanda tak tahu, lalu berjalan memasuki rumah. Yang saat itu juga—tanpa Altarik tahu—di belakangnya Chandra mengacungkan jempol. Di balik dinding terdapat Banyu dan Marine yang sembunyi sesuai misi yang dirundingkan semalam. Pokoknya semua telah terencana, hanya tinggal dijalankan saja dengan Rahee dan Altarik sebagai tokoh utama di permainan mereka. *** "Woi, jangan nangis dong," pinta Rahee putus asa menenangkan bayi di sana. Tega nih orang tuanya. Rahee misuh-misuh dalam hati. Kalau bayi itu wafat gara-gara menangis terlalu lama bagaimana coba?! Astagfirullah, Rahee! "Ya Allah, jangan nangis." Sebab Rahee ikutan nangis. Lalu mengobrak-abrik isi tas dan menemukan dot bayi, dia berikan. Tapi si bayi menolak. Panik. Semula kabur dari Mr. Altarik sebab ingin cepat-cepat tiba di kamar nomor 2. Bayi itu nangis, Rahee nggak tega. Barangkali ada keajaiban terus bayinya terguling dari ranjang. Bahaya! Tapi sepertinya dia butuh bantuan. Rahee sudah coba menggendong, sayangnya nggak mampu. Hanya pindah-pindah tempat dan ganti posisi sejak tadi mencari posisi enak menggendong bayi. Kenyataannya, sejak tadi bayi itu menggeliat saja di kasur. Baru juga Rahee mau keluar, pintu kamar terbuka. Mr. Altarik dan Chandra muncul dari sana. "Bayinya nangis?" Pertanyaan guoblok kuadrat menurut Rahee. Yang mana dilontarkan oleh Bang Chandra. "Tolongin." Rahee mengiba. Sungguh, demi apa pun dia nggak pernah ngurus bayi. Chandra mendekat, dia juga nggak berpengalaman. Apalagi Mr. Altarik. "Ngompol, Ra. Gantiin aja popoknya." Lalu Chandra melirik Altarik yang masih diam di depan pintu. "Lo buatin s**u, Al. Bisa?" "Nggak." Tambah banyak produksi air mata Rahee. Mampus sudah riwayat bayi itu. Malang sekali. Bayi yang tidak berdosa dititipkan kepada orang-orang macam mereka. Tapi Altarik tetap lakukan. Dia mengambil apa saja yang diperlukan untuk membuat s**u sang ponakan setelah Rahee beri tahu di mana letak susunya—ehm—s**u bayi maksudnya. "Ra, itu cepet gantiin!" perintah Chandra. "Ya gimana? Aku nggak bisa!" "Perosotin dulu celananya." Rahee mencoba. "Terus gimana? Aduh ini bokongnya nggak mau diangkat, Bang." Chandra mendengkus. "Ya kamu angkat dong, Ra. Tiga lawan satu aja kamu bisa, masa menghadapi bayi satu nggak bisa." Kampret banget itu mulut. Rahee cemberut. Dengan was-was dia angkat sebisa mungkin bayinya, lalu sesuai tuntunan Chandra untuk mengganti alasnya sebab basah. Ribet. Sepertinya ada yang salah dalam cara dia merawat bayi. "Nih, susunya." Altarik datang dan berikan kepada Rahee. "Kepanasan nggak airnya?" tanya Chandra yang mengawasi. "Nggak." Rahee pun langsung memberikan s**u itu kepada anaknya Bang Samud. Hebatnya langsung anteng. Barulah Rahee bernapas lega. Sepertinya nangis karena lapar. Cuma masalahnya ... "Ini aku mau gantiin celana." Rahee menatap Altarik dan Chandra bergantian. "Tolong pegangin dotnya." Tentu saja, Chandra langsung mendorong Altarik sambil bilang, "Urusin." Mohon bersabar. Altarik tahu pasti dia sedang diuji, bukan hanya Rahee. Kerjaan abang-abangnya yang kurang asem. Kenapa giliran dia yang mau menikah ujiannya sehebat ini? Perasaan waktu Bang Dion mah lancar-lancar saja. Ah, iya, kan biang keladinya Dion. "Geser dikit, Pak," kata Rahee. Dia sudah membawa celana dan bedak. "Ini perlu dielap pakai tisu basah, nggak?" tanyanya lagi. Tapi entah sejak kapan Chandra tidak di sana. Rahee menatap sekelilingnya, lalu tiba di Mr. Altarik tatapannya. Gugup seketika, sebab Mr. Altarik memandangnya. Kok jadi gini, ya? "I-ini ... gimana?" Altarik membasahi bibirnya sekilas. "Saya nggak tau, terserah insting kamu aja, Ra." Rahee meringis. "Liat Youtube dulu kelamaan, ya?" Yang mana berikutnya—bodo amat—kalau salah jangan nyalahin. Rahee mengikuti arus saja sebisanya. Habis pipis kan perlu cebok, jadi Rahee mengelapnya dengan tisu basah. Dia fokus, yang Altarik pandangi. Memerhatikan. "Kelaminnya juga dielapin, Pak?" tanya Rahee sambil mendongak, menatap Mr. Altarik yang juga tengah menatapnya. Sesaat terjadi penghentian waktu. Detik itu pula jantung keduanya mulai berpacu. Rahee gelagapan. Dia yang sadar lebih dulu, apalagi setelah ingat pada perkataan sebelumnya. Wajib dikutuk ini mulut! Dumal dewi batinnya. Ngomong kelamin kok lancar jaya, depan cowok lagi. Mampus saja Rahee. "Mungkin itunya yang dielapin," kata Mr. Altarik tiba-tiba ketika Rahee hendak membuang tisunya. "Apa?" Mr. Altarik berdeham. Ya, gimana ya ... masalahnya yang sedang Altarik tunjuk sekarang adalah jenis kelaminnya versi mini. Aduh, agaknya dia merasa ... seperti sedang membicarakan kepunyaan sendiri. Padahal kan yang ditunjuk punya bayi. "Ini." "O-oh," gumam Rahee. Tanpa sadar menggigit bibirnya sebab jantung porak-poranda makin sekarat. Apa yang Mr. Altarik tunjuk sepertinya tidak perlu Rahee jabarkan, jadi ya ... Rahee langsung lakukan saja dengan cepat. Benar-benar kilat. Rahee bergegas. Panas wajahnya, padahal kan kemaluan lelaki yang terpampang. Tapi serius, Rahee yang malu. Sedang Mr. Altarik berdeham sesekali. Gugup. Dia alihkan pandangan, otaknya laknat malah membayangkan hal-hal nikmat. Sejenis ... bayangin, Al! Gimana kalau itu punya kamu yang lagi Rahee elus-elus? Dan bayi pun melepaskan mulutnya dari botol, tepat saat itu cairan putih keluar dari sana. Altarik panik. "Ra, dedeknya muntah." Rahee yang fokus dengan sentuhan terakhirnya memakaikan celana bayi itu pun beralih atensi. "Tisu, Pak, tisu!" Ikutan panik. Yang detik itu juga Rahee mengambil kain gendongan, dia gunakan untuk menyusut cairan putih—yang biasa disebut olab—di sekitaran mulut bayi. Altarik duduk di depan Rahee. Tisu yang dia ambil diletakkan di sisinya. Lalu di antara dia dengan Rahee ada bayi yang bibirnya komat-kamit tanpa suara, sedangkan mata bayi itu mengerjap. "Coba kamu gendong, Ra. Kayaknya bosen rebahan terus." Rahee menolak. "Abang aja." Dia mulai membiasakan diri dengan sebutan itu, yang langsung membuat pipinya merona. Altarik tertegun. Mendengar Rahee memanggilnya dengan sebutan itu rasanya ... gawat. Altarik memalingkan wajah. Jantungnya makin sekarat. Sangat gawat. Sebab pikiran Altarik malah lari ke mana-mana seperti saat bercinta nanti Rahee—STOP! Ya ampun. Berbahaya. "Ra ..." Serak. Mr. Altarik berdeham lagi. Suaranya kenapa jadi ugal-ugalan begini? "Iya?" Mencoba untuk tetap santuy. Rahee nggak boleh baper. Pokoknya harus tenang, biasa saja. Makanya Rahee stay cool. Ayolah, dia sering godain cowok kok. Dia ini barbar. Urusan malu belakangan. Pasti karena detik-detik mau menikah, pikiran Altarik jadi kotor. Tapi akhir-akhir ini sulit dikendalikan gara-gara jantungnya berdetak mengerikan. "Kenapa, Pak?" Kembali pada sebutan awalnya. Masih belajar, jadi campur-aduk. Toh, Mr. Altarik nggak keberatan. Yang detik itu juga bayi di antara mereka menangis lagi, mencuri perhatian Altarik dan Rahee. Mungkin bayinya merasa dikacangi. "Yah, gimana ini?" Rahee elus-elus paha bayi itu. Lalu Mr. Altarik mencoba ambil alih sang ponakan dengan cara menggendongnya. Altarik bisa, cuma kaku. Jadi enggan, tapi sekarang terpaksa. Yang mana sekarang bayinya ada dalam gendongan Altarik. Rahee senyum. Senang dan lega, akhirnya nasib bayi itu nggak cuma rebahan. "Kok nggak bilang, sih, kalo Bapak bisa gendong bayi?" Rahee antusias. Dia mendekat, berdiri di samping Mr. Altarik yang menggendong bayi sambil ditimang. Ih, lucu. Mr. Altarik menjawab, "Saya gendong kamu lebih bisa lagi, Ra." Praktis Rahee mendongak, lalu terkekeh. Inget, jangan baper. Mending Rahee unyel-unyel pipi bayi itu tanpa takut akan menangis sebab Rahee merasa Mr. Altarik cukup bisa diandalkan. "Lucu banget bayinya, sumpah!" Rahee nggak bohong. Hasil kloningan Bang Samud dengan Mbak Irina luar biasa sekali, original visual. Rahee tahu nama istri Bang Samud sebab pernah Marine notice dulu. Google juga banyak menotice soal pernikahan besar-besaran mereka di Korea. Yang Mr. Altarik tanggapi, "Nanti kita buat satu yang kayak gini." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN