13. Tiga Belas

1656 Kata
Penilaian dari hasil masak ikan buatan Rahee: Lumayan. Itu kata abang-abangnya Marine yang lain. Beda dengan Bang Dion yang punya evaluasi sendiri, yakni: Gagal lo jadi cewek. Terjemahan: Nggak enak. Rahee sabar kok. Dia balas dengan senyuman. Mau bagaimana lagi? Rahee dibesarkan oleh mejikom, bukan kompor. Jadi, Rahee sadar diri. Walau kadang penginnya mundur dari medan perang dan katakan menyerah untuk satu juta dolar. Tapi Rahee butuh duit. Melewatkan uang satu juta dolar itu sulit. Semula Rahee pikir ... kerjanya cukup menikah dengan Mr. Altarik, punya anak lelaki, lalu duit ngalir selancar bayangannya. Namun kenyataan bertindak lain, membuat angan Rahee menjadi halusinasi tak berarti. Demi duit dan impian menjadi kaya rayanya, di sini kebolehan Rahee diuji, kelemahannya digempur yakni tempur bersama wajan di dapur. Semua itu tidak akan pernah terjadi kalau makhluk yang bernama Dion tidak turun ke buminya Rahee, melakukan penjajahan hakiki. Yang kadang kala Rahee pandangi penuh dendam sosok Dion dari jarak pandang terjauhnya. Seperti saat ini. Seumur-umur Rahee nggak pernah nyangkul, tapi si Iblis Dion Kusuma memberi tugas cabuti rumput halaman belakang—masalahnya rumput itu jenis rumput yang hanya bisa digarap dengan cangkul—alhasil di sinilah Rahee sekarang, nyangkul di halaman belakang yang sesekali menatap tajam sosok Dion di gazebo, ngadem sendirian. Ya ampun! Disimpan di pegadaian mana hati nurani cowok itu?! Tega sekali beliau menugaskan Rahee di bawah terik matahari, di tengah tanah lapang penuh rumput bersama cangkul, membuatnya jadi kuli dadakan. Dalam hati Rahee terus-terusan ngomong: Awas aja entar, awas! Tunggu sampe aku jadi istrinya Bapak Altarik YTH. Iya, tunggu sampai saat itu tiba. Tapi ... memangnya Rahee mau ngapain kalau sudah jadi istri Mr. Altarik? Rahee mengerjap, mendengkus. Bodo, ah! Pokoknya Rahee dendam kesumat sama Bang Dion. Titik! Pake K, bukan D, apalagi T, kalau sembarang diubah, nggak ada akhlak namanya. Sementara itu, di gazebo .... "Kalo ketahuan Altarik, bisa mampus kita," seloroh Banyu. Dia bersedekap memandang cewek cantik macul di halaman belakang rumahnya. Dion sesap kopi pahitnya. Dia letakkan lagi cangkirnya. Fokus membaca koran, tapi lisan berucap, "Nggak apa-apa. Selagi cewek itu paham kalo nyari duit tuh nggak gampang." Kai yang baru datang ikut nimbrung, dia sudah sepakat mau terjun ngerjain calon istri Altarik. Dan Kai punya misinya sendiri, memandangi Rahee sambil menyeringai mengingat betapa jahilnya perwujudan isi otak dia nanti. "Entar malem si Lesbi tidur di kamar Altarik, kan?" Banyu melirik. "Iya, ada rencana apa maneh?" Kai sunggingkan smirknya sebelum kemudian menjawab, "Rahasia." Dion seruput lagi kopinya. *** Tiba di sore hari, Altarik pulang. Orang rumah kumpul di ruang TV, tapi dia tidak menemukan Rahee. Dia sengaja pulang cepat karena bekerja pun di otaknya hanya ada perempuan itu, barangkali dijahili oleh abang-abangnya. "Rahee mana?" "Mandi." Dion yang jawab. Altarik ngeluyur langsung ke kamar, yang Dion pandangi sekilas punggung lebarnya sambil berhitung. "Bang Samud kapan nyampe kira-kira?" tanya Marine. Kai tengah main game lawan Banyu, menjawab, "Paling entar malem nyampe, Dek." Marine mengangguk. Oh, ya, siang tadi Marine kuliah, pulang sore dijemput Bang Jae. Membuatnya tidak tahu apa saja yang telah dilakukan para abang lucknut-nya terhadap Rahee di halaman belakang. Yang begitu menggelegar tiba-tiba terdengar, "AAA!" Suara teriakan Rahee, membuat orang-orang di ruang TV kompak menoleh, memandang sumber suara yakni pintu kamar nomor sembilan. Yang mana di dalam sana .... "Kenapa nggak dikunci?" Kalem. Altarik bahkan tidak bereaksi di saat Rahee sudah teriak dan heboh sendiri, memasuki selimut demi menyembunyikan tubuh yang sebagian sudah Altarik lihat barusan. Rahee hanya memakai dalaman, baru saja dia menanggalkan handuknya, Mr. Altarik masuk dan memaku diri di depan pintu tertutup. Mata Ranee memicing. "Mana kuncinya?" Mr. Altarik kontan menaikkan sebelah alisnya. Menoleh pada handel pintu yang di bawahnya tentu ada lubang kunci—tapi nggak ada kuncinya. Loh, kok? "Biasanya ngegantung di situ." Altarik kembali menatap Rahee yang kian merapatkan selimutnya, sebab handuk dan pakaiannya Rahee lemparkan secara refleks begitu Altarik datang—cewek itu memilih kabur ke atas ranjang. Yang Altarik dekati. Bukannya keluar, dia malah duduk di sebelah Rahee. Wah, ngajak perang ranjang, kah? Tapi kan Rahee belum siap. Belum diikat pakai cincin nikah. "Diapain aja sama Bang Dion?" Sebenarnya bukan waktu yang tepat untuk ngobrol, tapi Altarik terlanjur gemas ingin tanyakan hal ini sejak di kantor. Kesempatan emas bagi Rahee yang merasa diperbudak siang tadi. "Aku disuruh nyangkul, jahat banget tau. Nih, pinggang aku sakit jadinya. Kaki juga, tangan pun ngilu rasanya. Pokoknya aku nggak suka, ya, sama Bang Iblis." Tatapan Rahee berubah sinis. Kesal kuadrat pangkat dua akar tiga dia, sungguh! Ingin rasanya menistakan Bang Dion sampai ke akar. Suami orang kok bikin kesal anak perawan. Altarik buang napas pelan. Tuh, kan, gawat. Abangnya yang satu itu kalau sudah kumat, ya riwayat ... yang dialami Rahee belum seberapa. "Kaki aku kena cangkul, tau!" imbuh Rahee berapi-api. Nggak seberapa sih, tapi gak apa-apa lah dia lebih-lebihkan, biar mampus Bang Iblis kena tegur malaikat maut—alias Mr. Altarik YTH—bagi Rahee cowok ini sudah seperti malaikat pencabut nyawa sebab tiap detiknya membuat jantung dia sekarat saja. Seperti sekarang. "Mana saya liat?" Rahee keluarkan kaki kirinya dari selimut, memberi tahu bagian yang kena cangkul itu, awalnya biasa saja, tapi saat tangan Mr. Altarik menyentuh kulitnya kok bulu kuduk Rahee meremang ditambah jantung yang berdetak gila-gilaan. "Mana?" Altarik fokus meneliti kaki Rahee, mulai dari ujung jempolnya sampai dia sibakkan sedikit demi sedikit selimut itu hingga lutut Rahee yang Altarik pandangi. Sedikit lagi, Al, ayo dikit lagi. Entah bisikan setan dari mana sampai Altarik mendadak tuli, sejak tadi Rahee berkata, "U-udah, Pak, ilang." Sambil menahan tangan Mr. Altarik yang memegang ujung selimut Rahee demi melindungi asetnya. Rahee kian melotot dan mencegah Altarik, tapi Mr. Altariksa Lorenzo Yang Terhormat seketika dirasuki setan budek. "PAK!" Yang Altarik sibak selimutnya sampai paha Rahee terlihat. Kuat-kuat Rahee singkirkan, sebisa mungkin dia tutupi bagian yang terlihat itu, malah Altarik pandangi terang-terangan yang mana tangan satunya menahan kaki Rahee agar tetap diam. Gila nih, human! Nggak pernah lihat paha, ya? Dumal Rahee bertajuk ledekan dalam hati. Rahee yakin seratus persen tanpa diskon, Bapak Altarik Yang Terhormat kalau disodorkan d**a lebih kentara kurbel-nya pasti. Kurang belaian, huh! "Bapak denger aku ngomong nggak, sih?!" Rahee sewot. Altarik tersentak, mengerjap cepat. Lalu menaikkan pandangan, menatap Rahee. Dadanya kembang-kempis nggak keruan. Sialan! Altarik pun langsung melepaskan cekalannya pada kaki dan selimut Rahee yang tanpa sadar tangan kanannya menahan betis Rahee agar tidak ke mana-mana ketika sibuk dia pandangi tiap jengkal kulitnya. Wah, gila! Altarik nggak nyangka kalau semenarik itu paha wanita. Rahee misuh-misuh seketika, meski pipi merah merona sebab melihat telinga Mr. Altarik yang sama merahnya dengan dia. Lelaki itu berdeham, membuang pandangan ke mana pun asal tidak melihat Rahee. "Nggak ada luka tuh." Ya, iya lah! Rahee mendumal. "Perhatikan yang Bapak liat makanya. Punya mata kok jelalatan," kayak cewek kalau liat cogan aja, imbuhnya dalam hati. "Udah gitu tangannya nggak ada akhlak lagi." Membuat Mr. Altarik menoleh, menatap tajam calon istri satu juta dolarnya. Altarik bukan cowok alim, yang mana tanpa tedeng aling-aling tangannya terulur, praktik nyata perihal ... "Nggak ada akhlak, ya, tangan saya?" Bola mata Rahee nyaris lompat dari tempatnya. Terkejut—sangat—Rahee sampai kaku di tempat. Mengira Mr. Altarik akan mendorongnya hingga Rahee antisipasi dini, tapi ternyata tidak demikian, yang Mr. Altarik lakukan justru menempatkan telapak tangan besar itu di atas d**a kirinya, sedikit meremasnya. WOI! Walau cuma beberapa detik. Tapi sukses membuat Rahee tercengang ditambah kalimat Mr. Altarik berikutnya, "Kecil, kayak jeruk sankis." Bangke! Teriak Rahee dalam hati sebab dia memilih tindakan, melemparkan bantal hingga tepat mengenai wajah Mr. Altarik Yang Terhormat. "KELUAR!" Altarik pun diusir dari kamarnya sendiri. Rahee berapi-api. Bah! Kasus macam apa ini?! Rahee merasa dilecehkan. Sudah ditikam tiba-tiba dadanya—eh, malah dikatai sankis pula! Dasar, om-om modelan abangnya Marine ini pasti doyannya sama yang sebesar jeruk bali. Kok Rahee merasa terhina, ya? Dia sampai melirik isi dalam selimut begitu Mr. Altarik sudah hengkang dan menutup rapat pintunya. Yang Rahee perhatikan buah dadanya sendiri, pipi panas terbayang akan sentuhan telapak tangan Mr. Altarik tadi. Dasar cowok semprul! "Masih masa pertumbuhan kok," gumamnya. Rahee kecewa karena—yah—dadanya memang kecil. *** "Kalian ngapain?" Pertanyaan Altarik di kala memergoki serumpun keluarganya tengah kumpul di depan pintu kamar, Altarik yakin mereka menguping. Tapi sengaja sarkas dia tanyakan ulang. "Nguping?" Marine yang lebih dulu kabur. Dia diajari nakal oleh abang-abangnya modelan Banyu dan Jaelani. Walau semua yang terjadi barusan adalah ulah Bang Dion yang mencuri kunci kamar Bang Al. Katanya: Kita tes kekuatan Altarik, oke? Terus nanti di pertengahan kita gerebek. Kalau sampai terbukti ada tanda kutip, langsung aja pingit. Dan dijawab serempak oleh pasukannya. Bagi Marine, yang penting Rahee aman. Jangan sampai kebobolan. Namun sepertinya ... "Rahee hebat ya, Bang?" "Maksud?" Altarik ngeluyur santuy mengabaikan Jae yang membuntuti. "Kami kira bakal terjadi apa-apa di dalem," imbuh Dion. "Ternyata maneh jagoan, Al." Sebab tidak mendengar suara nananina saat tadi menguping. Banyu menyesal karena tidak mengintip. Altarik melonggarkan dasinya, duduk di sofa diikuti yang lain kecuali Marine. Altarik melirik Bang Dion. Dia akan sedikit menasihati kalau saja tidak didahului. "Lo pulang sana, Al!" "Ngusir?" Altarik tak habis pikir dengan isi otak abangnya yang satu itu. Dion mengangguk. "Nggak baik calon pengantin tinggal serumah." "Saya nggak nyuruh Rahee tinggal di sini." Bertepatan dengan datangnya Marine yang berucap, "Halah! Padahal Abang nih yang jarang nginap di sini mentang-mentang punya kediaman sendiri, kecuali Bang Samud karena rumahnya emang jauh. Giliran ada Rahee aja—wait!" Marine ngomong nggak jelas, matanya memicing jahil. "Abang naksir, ya?" "Ngaku maneh, Al!" Banyu mengompori. "Najis suka sama lesbi." Kai masih dendam. Sedangkan Jae katakan, "Sayang banget Rahee naksirnya sama Jae." Chandra yang sejak awal diam pun pada akhirnya mengimbuhi, "Ngenes, Al. Cewek itu nggak demen yang amatir." Sebab Chandra tahu bahwa adik nomor sembilannya itu lebih-lebih dari amatir. Tiap kali diajak nobar hentai, Altarik menolak. Sering dikirim link sawadikap skidipapap oleh Kai saja nampaknya tidak dibuka. Kalau diajak nongkrong sambil bahas hal-hal m***m, Altarik seperti tidak tertarik. Fix. Dipastikan, amatirnya nggak ketulungan. "Al—" "Assalamualaikum." Altarik pamit memangkas ucapan Banyu yang kali ini nyinyir tidak terima. "Doraka maneh, Al. Semprul! Abang mau ngebacot malah kabur. Awas entar calon bininya Abang tikung. Waalaikumsalam!" Banyu yang ngomel, Dion yang capek. Seiringan dengan hengkangnya Altarik, ponsel Chandra berdering. "Dari Bang Samud." Yang katanya: "Jemput di Bandara, Chan. Udah nyampe." Dan saat itu juga Dion tersenyum. Melirik si Bungsu seraya berucap, "Rin, suruh Rahee makan. Dia perlu tenaga buat sesi berikutnya." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN