7. Tujuh

1580 Kata
Seketika Rahee merinding. Dia sedang selimutan di kamar kosnya sekarang. Teringat kembali pada momen-momen kemarin di kamar Marine yang mana saat itu ... "Haha. No pict, hoax!" Bangke banget mulutnya kalau nyinyir nggak pakai saringan. Jadi nangis darah kan keberaniannya sekarang. Rahee sampai menolak panggilan dari Mr. Altariksa YTH gara-gara kemarin melihat ... "Segini cukup?" Dengan menunjukkan foto Mr. Altarik yang sangat menonjolkan asetnya. Kaos putih, celana olahraga, ditarik ke atas oleh tangannya di bagian paha hingga tercetak jelas ada yang menonjol tapi bukan tumor di area selangkangannya. Bajingan! Rahee mengumpat di detik terbayangnya foto yang Altarik tunjukkan. Sial! Yang begituan ngapain dipamerin, sih? Kan Rahee jadi nggak berani sekadar untuk keluar kamar kosnya, barangkali ada Bapak Altariksa Lorenzo Yang Terhormat bagaimana? Ih, ngeri! Janji deh Rahee nggak lagi-lagi nyinyir no filter depan subjek nyinyirannya. Yang kini Rahee pukul tanpa sadar mulutnya, saking kesalnya. Ingat betul kemarin itu Rahee langsung kabur. Astagfirullah. Gila saja! Di kamar dua-duaan, sudah seperti itu pertunjukan fotonya malah burung cowok yang kayaknya nggak pakai sarang, sudah tidak suci lagi mata Rahee. Sukses Bapak Altarik perawani dengan foto aduhai j*****m sekali efeknya—alias panas. Pipi Rahee bahkan masih merona sejak kemarin kalau terbayang momen itu. Saat Altarik bilang: "Ini foto diambil sama Abang saya yang ke dua, dia share di grup keluarga. Dan saya masih simpan sampai sekarang, ternyata ada gunanya." "Mariiiiiiiiine!" rengek Rahee begitu ponselnya berdering dan nama Marine tertera di layar. Panggilan dari sobatnya tentulah Rahee angkat, sekalian dia mau curhat. "Abang lo parah banget, anjir! Huhu ..." Keluar sudah sisi lebaynya yang hakiki. Rahee uring-uringan di kasur, dia ngadu kepada sang sobat. "Gak habis pikir gue, Rin, sama abang lo ... Bang Altarik tuh. Ih, kesel!" Rahee mendudukkan diri di kasur. Dia misuh-misuh sekaligus mengeluarkan kata-kata mutiaranya alias bangke, setan, k*****t. "Ya kali dia kasih tunjuk itunya—astaga! Walau cuma di foto ya, Rin, tapi kan tetep aja! Serius, Abang lo yang itu kenapa, sih?!" Tapi pihak Marine diam saja. Rahee masih meratapi nasib. Marine pasti sedang menunggu Rahee selesai ngadu. "Lagian kok ada sih orang kayak gitu? Manusia waras mana coba yang sepede itu nunjukin aibnya? Untung dia cowok, coba kalo cewek, Mami Kartini panutan kaum hawa bisa nangis nanah beneran kan tuh." Yang lebih nelangsa dari nangis darah, Rahee memang jagonya hiperbolis. Tapi kok Marine nggak ngomong-ngomong, sih? Rahee kan— "Sudah?" "Innalillahi!" Seketika Rahee buang ponselnya. Terkejut bukan main, Rahee menatap horor ponsel di ujung ranjangnya. Yang tadi itu suara cowok, dari nada bicara dan tutur katanya Rahee paham kalau yang meneleponnya pakai nomor Marine ini adalah Mr. Altarik Yang Terhormat. Astagfirullah. Nenek moyang Rahee pasti pernah berbuat dosa pada zaman galaksi Bimasakti. Makanya sekarang cicit dari cicit cicitnya sengsara. Entah apa yang Altarik ucapkan lewat sambungan nirkabel itu, Rahee tidak mendengarnya sebab jarak cukup jauh antara ponsel yang dia lempar dengan tempat duduknya—sedangkan volume minimalis. Hingga kemudian Rahee melihat layar ponselnya menyala tanda bahwa panggilan terputus dan diganti dengan sebuah pesan masuk yang Rahee tengok. Marine: Kenapa nomor ponsel saya diblokir? Ah, iya! Selepas acara kabur-kaburan itu Rahee langsung memblokir nomor Altarik. Ya gila sih, ngeri dia. Foto burung gagaknya meneror Rahee sepanjang jalan menuju alam mimpi. Lalu, satu pesan datang lagi. Masih dari kontak dan dari orang yang sama. Marine: Saya perlu ngelamar kamu nggak? "Idih, ngapain?" gumam Rahee yang mana pesan berikutnya datang lagi dan lagi. Marine: Nggak perlu, ya? Kan mau saya kasih 1 juta dolar. "Terserah Anda, Mister!" misuh Rahee mendadak kesal sendiri. Lalu ponselnya berdenting lagi, notifikasi pesan masuk berturut-turut. Marine: (bukti transfer) Marine: Sudah, ya. Hal yang membuat Rahee tersenyum. Kemudian lompat-lompat di kasur—tidak puas—Rahee turun dan jingkrak-jingkrak di lantai sambil menggema, "Ya ampun! Aku kaya!" Untung saja sebelum memblokir nomor telepon Altarik, Rahee sudah kirimkan nomor rekeningnya. Cerdas memang! Nah, lebih cerdas lagi kalau Rahee bisa kabur. Kira-kira hal apa yang akan terjadi kepada Bapak Altariksa YTH, ya? Atau gini deh, hal apa yang akan menimpa Rahee setelahnya? Eh, tapi ... bentar! Yang Rahee cek nominal transferannya. "Kok cuma sejuta?!" Jangan-jangan tipuan, nih? Bukan satu juta dolar, tapi satu juta rupiah. Yang baru saja akan Rahee hubungi nomor ponsel sobatnya, akan dia semprot habis itu Bapak Altarik YTH. Tapi urung ketika notifikasi lain datang menyapa. Begini isinya: Antisipasi barangkali kamu kabur, saya bayarnya nyicil. Akan lunas kalau anak lelaki saya sudah kamu lahirkan. *** "Abang, serius mau nikah sama Rahee?" rajuk Marine ketika ponselnya Altarik kembalikan. "Dia temen aku loh." "Iya, makanya Abang mau." Karena dengan begitu berarti Rahee bukan perempuan serampangan, kan? Ya walaupun serampangan tapi nggak buruk-buruk amat, kan? Toh, kriterianya sudah tercantum di lowongan kerja yang Jaelani ukirkan pada koran eksklusif Radar Indo. Rahee pun sudah dievaluasi langsung lewat interview olehnya kala itu. Jadi sejauh ini ... aman. "Tapi Rahee naksirnya sama Bang Jae!" kukuh Marine berulang-ulang mengingatkan Altarik. Yang Altarik tanggapi dengan tenang. "Abang juga nggak suka Rahee kok, tenang aja." Barangkali Marine mengkhawatirkan perasaan Altarik, jadi itu jawaban yang tepat menurutnya. Toh pernikahan ini terjalin bukan mengatasnamakan cinta, melainkan butuh sama butuh. "Justru itu!" decak Marine. Dia mengacak gemas rambutnya, saking frustrasinya Marine menghadapi ketenangan abangnya. "Awas aja kalo nanti nyakitin Rahee, Abang nggak bakal aku maafin!" Oh, jadi yang Marine khawatirkan itu Rahee, bukan Altarik. "Iya, nggak kok." "Ambigu! Kalo iya, iya. Kalo nggak, nggak." Altarik ulas senyum tipis, dia memilih beranjak. Membuat suara Marine melengking karena kesal merasa dikacangi. "Abang!" Yang mana Altarik hengkang. Marine mendengkus. Rumahnya kembali sepi yang mana hanya terisi dengan dia dan Jaelani serta ART—Itu juga ART-nya hanya akan ada pada saat jam kerja. Para kakaknya sudah kembali pulang ke kediaman masing-masing. Sedangkan orang tua semuanya telah tiada. Tentang Altarik, Marine memang tahu sepak terjang abang nomor sembilannya itu, dia tahu abangnya yang itu nggak pernah bawa gandengan sekalipun pernah punya tunangan. Maksudnya: benar bertunangan, tapi tidak pernah gandengan secara real. Istilahnya, mentok di status. Kenapa demikian? Tentu saja karena Bang Altarik ini lady killer! Tanpa acara mempermainkan hati wanita alias diem-diem bae pun Altarik membuat perasaan wanita terbunuh. Nah, dan saat itu tunangannya selingkuh karena merasa eksistensinya tidak pernah tersentuh. Okelah, Altarik ceria. Tapi saking cerianya sampai status tunangan saja tuh tetap umum dengan yang lain—setara statusnya sama yang bukan tunangan. Tidak ada spesial-spesialnya. Giliran diselingkuhin, marah. Ya iya sih, memangnya siapa yang suka diduakan? Apalagi kasusnya kadar cinta Altarik kepada perempuan itu seperti ... seolah-olah dunianya berpusat di sana, tapi sayang tidak diekspresikan dengan benar. Membuat pribadi Altarik berubah drastis, yang semua orang maklumi. Dan masih banyak lagi yang Marine ingat. "Rin!" Marine terkesiap. "Apa sih, Bang?!" misuhnya karena jengkel dibuat terkejut. Jae berdecak. "Itu ada temen-temen Abang di luar, bantu buatin minuman kek. Haus nih!" Ah, tidak jadi sepi sebab abangnya membawa pasukan, yakni para pentolan kampus Enciti. *** "Bangke!" Memang dasar tuh cowok bangke. Rahee tidak berhenti mengutuk derajat pelit Altarik padanya. Masa DP-nya cuma sejuta? Buat bayar kosan yang nunggak tiga bulan juga nggak cukup itu mah! Untung ada uang dari hasil akting jadi lesbinya. Yang tidak Rahee bayarkan UKT, dia pakai untuk melunasi uang kosannya. Lalu hutang lain ke warung terdekat. Sore ini waktunya Rahee bekerja, pulang-pulang nanti paling jam sepuluh malam. Rahee kerja di pabrik ayam soalnya. Gajinya nggak seberapa, kadang sedih karena kerja lama pun sampai jadi senior di sana tidak akan bisa naik jabatan, apalagi naik gaji, sistemnya seperti itu. Duh, apa ya nama ketenagakerjaannya. Lupa. Pokoknya itulah. Dan Rahee terikat kontrak. Nggak apa-apa, asal bagian waktunya tepat, nggak pindah-pindah sebab Rahee mintanya shift malam saja. Sekarang dia mulai kerja lagi setelah cuti beberapa hari, butuh istirahat dari pemandangan p****t ayam yang tiap malam dia hitung jumlahnya. Sial. Lalu, lama waktu berlalu hingga jam menunjukkan pukul sepuluh malam lebih seperempat. Rahee pulang. Dia tutup pagar kosan, Rahee memilih tinggal di kos bebas alias kos putra-putri yang banyarnya murah. Asal bisa jaga diri, kan? Walaupun Rahee pernah dengar suara kebisingan dari kamar sebelahnya—teman kos perempuan yang suka bawa masuk pacarnya. Yang berikutnya Rahee terlonjak sebab di depan pintu kamarnya dia menemukan sesosok menjulang—yakni bos besar pemberi satu juta rupiahnya pagi tadi—sedang mangkal di sana. "Bapak ngapain di sini?" Altarik menepuk lehernya sendiri sebab ada nyamuk-nyamuk nakal yang mengganggu area itu. "Saya nunggu kamu." Eh, ngapain? Rahee waspada. Jangan-jangan mau membuktikan sesuatu yang pernah merusak kesucian mata Rahee lagi? Mungkin saja kan Altarik mau memerosotkan celananya sendiri di dalam kamar kos Rahee? Mengingat betapa nggak warasnya pria itu di mata Rahee. "Masuk ke mobil, yuk!" ajaknya kemudian. Oh, tidak! Nampaknya Mr. c***l ini mau buka-bukaan di mobil biar mirip Om Grey di film fifty shades begitu? Yang pernah Rahee tonton bersama Marine adegan nananina di kuda besi itu ... ah, rupanya sejak awal mata Rahee memang sudah tidak suci dan bukan Altarik yang memerawani. "Ra?" Terkesiap. "Mending Bapak pulang aja, udah malem." "Kalau gitu ngapain saya nunggu kamu?" "Ya mana kutau! Salah sendiri, kan? Sana pulang!" usir Rahee. Altarik mendengkus. Baru juga mau buka mulut, pinggangnya sudah Rahee dorong saja lagi menuju pagar keluar. "Saya mau bicarain soal pernikahan kita." Yang mana Altarik sudah berdiri di dekat mobilnya. Rahee hendak menutup pagar, tapi gagal karena Altarik cekal pergelangan tangannya, lalu menariknya dan memaksa memasukkan Rahee ke mobil sebelum kemudian mengunci pintu mobil itu selama Altarik menutup gerbang kosan. Baiklah, Rahee patuh sekarang. Bersedekap. Mencoba lupakan bayang-bayang seberapa panjang ukuran burung pria di depannya ini? Tuh, kan! "Besok sore saya ada perjalanan bisnis, jadi kita harus bicarakan soal ini. Tentukan tanggal, dan tolong nomor ponsel saya jangan diblokir." "Terus?" Altarik membasahi bibir. "Kita ke dokter besok pagi." "Hah? Ngapain?" Entah penglihatan Rahee yang salah atau memang hanya perasaannya saja, tapi Rahee melihat sekilas pipi Altarik bersemu sampai ke telinga ketika berkata, "Kita program anak." Aih, lucu! Gemas. Kok bisa jadi semenarik ini sih Mr. Altarik di matanya? Rahee jadi pengin—tunggu—apa tadi? Rahee mengerjap. "P-program anak?" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN