"Sudah pernah berhubungan intim sebelumnya?"
Rahee panas dingin di tempat duduknya, tepat di sebelah Mr. Altarik yang membawanya kemari untuk konsultasi dengan dokter kandungan.
Aduh, memang nih Bapak Altarik YTH ini agak-agak perlu dipertanyakan kewarasannya. Ayolah, menikah saja belum, tapi Rahee sudah diajak program anak. Mr. Altarik itu sebenarnya gercep atau memang kebelet pengin kawin, sih?!
Yang Rahee lirik lewat ekor matanya ketika Bapak Altarik YTH berkata, "Kami baru akan menikah, Dok."
"Ah ..."
Mampus kau! Dalam hati Rahee menghujat. Malu-maluin orang cantik saja sih. Tapi terserahlah, Rahee mengikuti arus saja. Btw, dokter di depannya ganteng, masih muda pula. Kalau tidak salah ingat namanya itu Jaem Adylan Ramadan.
"Baik, yang perlu dilakukan adalah terapkan pola hidup sehat. Pola makan yang sehat, dan konsumsi vitamin. Lalu nanti keduanya sering-sering konsultasi ke dokter, ya. Jangan cuma dari pihak wanitanya saja, suaminya pun perlu."
Altarik mengangguk. Yang Rahee perhatikan, sepertinya obrolan ini sangat menarik di mata Mr. Altarik. Lelaki itu nampak fokus sekali dalam menyimak, padahal Rahee masih bisa menguap. Dia masih ngantuk, semalam kurang tidur gara-gara memikirkan apa yang harus Rahee lakukan jika hari kunjungan ke dokter kandungan itu tiba.
"Jangan lupa untuk mendeteksi masa subur wanita. Nah, Ibunya perhatikan hal ini, ya. Bapaknya juga boleh kalau tau jadwal menstruasinya."
"Baik," jawab Altarik. Lalu melirik Rahee sambil berkata cepat, "Nanti kamu serahkan jadwal menstruasi kamu ke saya, ya."
Dokter Jaem tersenyum saja. Astaga ... Rahee kikuk jadinya. Ah, bodo lah! Tidak mau menanggapi omongan Mr. Altarik YTH pokoknya.
"Oh, ya, kalian tidak boleh melewatkan masa subur ini kalau mau cepat-cepat dapat momongan. Lalu usahakan berhubungan intim sebelum masa ovulasi."
"Bisa lebih diperjelas?"
"Sabar, Pak," sahut dokter sambil terkekeh.
"Tau, nih! Pak Dokter juga pasti ngejelasin, Mister. Gak usah ditagih. Belum saatnya sesi tanya jawab kali," nyinyir Rahee. Yang mana matanya tak sengaja bersirobok dengan Altarik, detik itu juga Rahee mingkem. Tatapan cowok itu seketika menajam seolah bicara: kamu diam!
"s****a bisa hidup di rahim dan saluran telur selama dua sampai tiga hari, sementara sel telur cuma bisa bertahan hidup selama dua belas sampai dua puluh empat jam saja. Jadi, dengan berhubungan intim dua atau tiga hari sebelum masa ovulasi, kemungkinan besar masih akan ada s****a hidup di dalam rahim pada saat ovulasi terjadi."
Yang Altarik simak dengan baik. Tapi sebenarnya dia tidak paham, jadilah keningnya mengernyit. Semakin dijelaskan kok malah makin nggak ngerti, ya?
"Nah, jadi kalian harus berhubungan intim beberapa kali dalam seminggu. Jangan cuma sekali, ya."
Pipi Rahee bersemu. Salah tingkah, duduknya jadi nggak keruan. Asem nih Mr. Altarik, belum dinikah tapi sudah diajak ke dokter kandungan untuk membicarakan hal-hal berbau ranjang. Ya ampun! Mendadak terbayangkan, tanpa sadar Rahee melirik pada s**********n Altarik, lalu bergidik setelahnya.
"Nggak mungkin sebesar itu, kan?" gumamnya tanpa sadar.
"Ya?" Yang dokter sahuti, mampus saja Rahee. Wajah sudah serupa dengan kepiting rebus.
Di tempatnya, Rahee terkesiap. Cepat-cepat dia meralat, "D-durasinya ... nggak mungkin sebesar itu, kan?"
Satu kata untuk Rahee, guoblok! Di mana-mana kalau durasi bukan besar, tapi cepat. Hadeuh! Malu-maluin Einstein saja.
Tapi Dokter Jaem tersenyum. Badai! Sisi jalang Rahee jadi pengin selingkuh ke beliau. Adem rasanya lihat makhluk Tuhan yang paling tampan—walau masih tampanan Pak Altarik sih—ya tapi Rahee suka lihatnya. Nikmat Tuhan yang tidak akan pernah Rahee dustakan. Senyumannya orang tampan itu efeknya melemahkan.
"Jadi saya harus berapa kali membuahi Rahee?"
Kampret! Dewi batin Rahee mengumpat. Ada saja hal yang membuat kekacauan di organ pemompa darahnya, jantung Rahee jadi dugem nggak keruan. Membuat pipi panas sampai rasanya kepala itu ingin ditenggelamkan.
"Dua atau tiga kali dalam seminggu, asal jangan sekali," sahut dokter.
Tapi Mr. Bangsul YTH malah bertanya, "Bagaimana kalau tujuh kali dalam seminggu?"
"Ya nggak tiap hari juga kali, Pak!" sembur Rahee. "Dasar maniak!"
Dan Altarik pelototi. "Sopan sedikit kamu, jangan ngajak berantem di depan dokter."
"Bodo ah, gelap!" misuhnya keki sendiri. Mendadak ketampanan dua orang di sekitarnya ini jadi tidak berguna, moodnya menguap entah ke mana.
Altarik tersenyum kepada dokter, berkata maaf atas kelakuan cewek semprul di sebelahnya ini. Yang dokter maklumi. Nampaknya Dokter Jaem justru terhibur, dia terkekeh soalnya.
"Oh, ya, kalian juga bisa mencoba untuk berhubungan intim setiap dua hari sekali, dimulai sekitar hari kesepuluh setelah selesai menstruasi."
Mau menangis saja rasanya Rahee di pojokan. Kok nggak selesai-selesai sih bahas nananinanya? Kan Rahee malu.
Sudahlah, agar cepat selesai sebaiknya Rahee diam. Protesnya nanti saat pulang. Biarkan Mr. Altariksa Lorenzo YTH menyimak sendirian. Di mulai dari bahas pelumas alami—apa-apaan coba?! Sampai ke pembahasan celana dalam pria disarankan jangan pakai yang ketat. Ya, menurut Rahee sih sekalian saja nggak usah pakai dalaman—yeu, dasar! Otak Rahee nggak berakhlak.
Hingga kini setibanya di mobil, Rahee embuskan napas lega. Akhirnya beres juga konsultasi rencana buat buka lapak di rahimnya.
"Oh, ya, tadi dokter menyarankan untuk mencoba banyak gaya saat berhubungan intim."
"Ya udah sih bodo amat," celetuk Rahee, dia kembali keki. Panas lagi kan pipinya.
Altarik pun mulai melajukan mobilnya. "Saya nggak berpengalaman, kamu tau nggak gaya apa aja buat praktik kita nanti?"
Hih! Rahee menatap Altarik ngeri, yang Altarik balas dengan tampang datarnya dan ucapan, "Selain tiga lawan satu."
Tuh, kan, nangis sungguhan sisi kemanusiaan Rahee. Dia jadi brutal mencubit pinggang Altarik walau orangnya sedang mengemudi. Kesal. Bangke. Sangat bangke.
"Sialan Anda, Pak!"
Tapi Altarik malah tertawa. Entah sadar atau tidak, sejak bertemu Rahee atau sejak berinteraksi dengan perempuan itu, Altarik jadi banyak mengeluarkan ekspresi. Ajaibnya, setelah lama kaku nggak pernah tertawa, sekarang dia jadi lentur lagi otot-otot wajahnya.
"Sudah, sudah, saya lagi nyetir."
Rahee mendelik setelah sebelumnya memberikan cubitan dahsyat terakhir di lengan berotot Altarik. Napasnya memburu karena kesal. Sampai berkeringat Rahee, padahal ada AC.
"Nanti kita coba analisis sama-sama, ya, gaya bercinta yang baik dan benar."
Membuat Rahee membenturkan jidatnya ke dashboard. Sudah. Dia nyerah.
***
Keesokan harinya.
"Rin, abang lo waras kan, ya?"
"Ada tiga yang nggak."
Rahee sedang ngungsi di rumah Marine, bosan mendekam di kamar kos yang nggak ada makanan. Sekalian Rahee mau ngadu kepada Marine.
"Bang Altarik salah satunya?"
Marine mengangguk. Kalau tidak ada subjeknya, Rahee mengikuti panggilan Marine kepada Mr. Altarik dengan kata 'abang'.
"Tapi secara garis besar ukuran global dia waras, sih. Nggak gila yang bener-bener gila, cuma kepribadiannya aja bikin kita ... you know lah," kata Marine.
Rahee setuju. Di sini dia yang dibuat stres oleh kepribadian lucknutnya.
"Daripada Bang Altarik, takaran kewarasan Bang Kai kayaknya lebih sedikit." Setelah menimbang-nimbang, Marine pikir bukan Bang Al yang berada di urutan kesatu pada prestasi kurang waras.
"Yang ngatain gue lesbi?"
Marine kontan duduk menghadap Rahee, semula dia memunggungi. Di mana Rahee rebahan di sofa, sedangkan Marine duduk lesehan menghadap meja karena sedang mengerjakan tugas kuliah.
"Iya, lo ada masalah apa sih sama Bang Kai?"
Rahee menatap sobatnya sejenak. Lalu menatap langit-langit, menerawang pada masa pencarian duitnya di hari-hari kemarin.
"Gue nyium pipi ceweknya." Rahee melirik Marine yang melotot, ngeri. Makanya Rahee imbuhi, "Demi duit, Rin. Aslinya gue doyan punya abang lo kok."
"b*****t, lo!" maki Marine sambil menoyor kepala kawannya. Rahee tertawa. "Doyan sama punya abang gue yang mana?"
"Elo yang b*****t, anjir!" balas Rahee pun dengan toyorannya.
Heran deh, yang namanya sahabat kok nggak jauh-jauh dari b*****t obrolannya. Tapi itu yang menandakan bahwa ikatan mereka sedekat ini. Tidak ada jaim-jaiman, apalagi munafik-munafikan yang dalam tanda kutip.
"Gue udah liat punya Bang Altarik."
"Demi apa?!"
Rahee pun mendudukkan dirinya di lantai, duduk di sebelah Marine sambil terkikik. "Gede, sumpah!"
"b******n lo, Ra!"
Rahee makin ngakak jadinya. Kalau membicarakan hal itu dengan Marine, Rahee nggak malu. Justru dia merasa selera humornya sedang digenjot. Sialan!
"Kalian udah sejauh itu?" selidik Marine kepo juga.
"Nggak, lah. Gila aja." Rahee menyusut air mata sisa tawanya. Tapi dia terkikik lagi, yang Marine pandangi dengan ngeri.
"Lo masih suka sama Bang Jae kan, Ra?"
"Ya masih dong!"
Marine berdecak. "Emang dasar guguk lo, Nyet."
Rahee sulit meredakan tawanya. Dia pun memeluk Marine sambil bilang, "Duh, adik ipar."
"Geli, tai!"
Terus begitu, dua sekawan itu sampai tidak menyadari pada siapa yang datang dan bilang salam barusan. Sosoknya memasuki ruangan yang Marine dan Rahee singgahi, menggeleng maklum pada dua bocah itu—walau tidak mengenal yang satunya.
"Assalamualaikum, Ukhti!"
Cukup untuk membuat Marine dan Rahee menoleh.
***
Note: Update tiap hari.