6. Enam

1219 Kata
Dulu, di awal Rahee terikat tali pertemanan dengan Marine. "Yang tadi lewat siapa, Rin?" Saat pertama kali Rahee bertamu di rumah Marine, pertama kali Rahee main ke sana, dan pertama kali Rahee lihat serbuk berlian berjalan—istilahnya begitu—silau soalnya, terlalu kinclong wajahnya sampai Rahee terpesona. "Abang gue." "Ganteng." "Yang lain lebih ganteng, menurut gue sih." "Lah, emang lo punya abang berapa?" "Jangan bilangin siapa-siapa, ya. Abang gue ada sepuluh." "Wah, a***y! Fix, ya, yang lewat tadi punya gue." "Bang Jae maksud lo?" Siapa lagi selain cowok yang Rahee sebut ganteng barusan? Hari di mana Rahee mengunci perhatiannya kepada lelaki itu, entah jomblo atau bukan yang penting Rahee punya Marine sebagai kunci menuju dunia asmaranya dengan Jaelani. Ya. Jaelani. Abang dari temannya. Nggak apa-apa lah Rahee incar. Terus begitu sampai sekarang perasaannya tidak pudar. Rahee suka Jaelani, kagum lebih tepatnya, dan Rahee nggak berani maju walau berkali-kali bilang kepada Marine bahwa: gue suka Abang lo yang itu, Rin. Yang mana saat ini, di ruang tengah sedang diadakan rundingan meja bundar. Mantap nggak, tuh? Sudah mirip zaman penjajahannya para pahlawan saja, kan? Yakni kini di kediaman Marine tepatnya di ruang makan—mejanya bundar—lalu dikelilingi oleh para kakak yang duduk di kursi dengan nomor urut kelahirannya masing-masing. "Dia itu lesbi," ucap Kai kukuh pada argumennya. Benar. Mereka sedang berunding. Di mana Rahee sudah Altarik ungsikan di kamar Marine, dia yang membopong tubuh seringan kapas gadis berperkara itu. "Jelas-jelas bilang ke gue kalo dia ini pernah asik-asik jos tiga lawan satu. Lesbi dari mananya!" Chandra juga bertahan pada pendapatnya perihal Rahee. Altarik diam menyimak. "Orientasi seksualnya dobel kali." Kalau ini Jaelani. Sekarang giliran Marine yang pening. Niat mau menjodohkan Rahee dengan si pujaan sobat baiknya itu, malah Rahee sendiri yang kacaukan. Gimana, sih! "Emang kalian pernah ketemu sama Rahee sebelumnya?" erang Marine nyaris lambaikan tangan ke udara. Kai yang paling berapi-api. "Depan mata kepala Abang sendiri, Dek, cewek itu cium pacar Abang!" Altarik membasahi bibirnya. "Namanya Rere, Rin. Bukan Rahee. Dia yang datang di acara temu perjodohan kemarin-kemarin itu. Inget banget, katanya nggak doyan burung perkutut, kecil. Sukanya sama elang, gede." Sudahlah, Marine menyerah saja. Malah jadi ingin nangis darah dia mendengar analogi burung yang mencerminkan kepunyaan lelaki hasil olahan kata Bang Chandra. "Bayangin loh, ya! Tiga lawan satu. Nggak demen sama yang amatiran pula, penginnya punya suami yang berpengalaman," imbuh Chandra lalu melirik Kai sambil bilang, "lesbi in your head, Brother!" Lain hal dengan Altarik yang menelan ludahnya. Lalu terkesiap ketika Jae bertanya dan membawa-bawa namanya. "Bang Al serius mau nikahin dia?" "Nah, that's the point!" heboh Kai sambil menunjuk muka Altarik. Yang ditunjuk diam saja. Altarik memang banyak diamnya. Marine sih sudah meletakkan kepala di meja, nyerah, terserah mereka yang tua-tua saja lah. "Lo beneran mau nikah sama cewek nggak jelas kayak gitu, Al?" tanya Chandra yang Altarik angguki tanpa mikir. Di sana, Kai lah yang kebakaran jenggot. Padahal kan Altarik yang niat mau mengawini Rahee. Tapi kenapa jadi Kai yang uring-uringan begini? "Denger, Al." Kai memulai ceramahnya, "Sekarang udah kebongkar itu cewek bobroknya kayak gimana, entah dia beneran penyuka sesama jenis atau biseksual. Kita nggak tau, cuma kan ada bukti kecil yang bisa jadi pertimbangan. Bibit, bebet, bobotnya nggak jelas walaupun dia cantik. So—" "Saya nggak peduli," pangkas Altarik. Toh, nikahnya kan karena satu juta dolar. Nggak akan berlaku selamanya kalau Altarik mau berakhir ya tinggal akhiri. Kai mencebik. Lalu Altarik bangkit, mengundang tatapan Jae yang nampak sedang berpikir keras. Marine sih arwahnya sudah ke laut kali, dia membentur-benturkan kepalanya ke meja dengan pelan sambil nyinyir dalam hati: Rahee bego, Rahee bego. Yang mana di dalam kamar itu Rahee sedang mondar-mandir gemas sendiri sama nasibnya. Terlalu rumit. Puluhan kali Rahee meringis, mengerang, lalu meratapi nasibnya. Setelah kesialan di hari ini kira-kira akan jadi bagaimana? Dan tanpa Rahee sadari, seseorang berdiri di ambang pintu menjadi pemerhati. "Marine bangke nih, sialan!" misuh Rahee kesal sendiri yang detik itu juga kena tegur. "Kenapa jadi nyalahin adik saya?" Mam to the pus. Rahee terkesiap. Altarik di sana, tatapan datarnya yang bersirobok dengan Rahee. MAMPUS. *** Altarik ini anak yang ceria, kalau saja beranjak dewasa tunangannya tidak mendua. Cinta pertama yang membuat Altarik terpuruk cukup lama hingga masa terpuruk itu membangkitkan pribadi Altarik yang baru yaitu nggak suka buang-buang waktu, sebab dulu dia melakukannya. Dan Altarik benci itu. Kalau hanya sekali dikhianati, mungkin Altarik bisa maklumi. Tapi ternyata sakit hatinya nggak memberi toleransi. Membuat Altarik marah sekali, sangat, emosinya dihabiskan hari itu juga—sampai sekarang nihil ekspresi karena limit emosi. Namun, ketika menemukan Rahee, cewek semprul yang mengaku pernah bilang ..., "Kamu nggak suka yang kecil?" ... kepada Bang Chandra sebagaimana yang Altarik simak di rundingan meja bundar barusan, kini dia duduk di sisi ranjang kamar Marine sambil menelanjangi Rahee dengan tatapannya menagih klarifikasi. Barangkali tidak benar, kan? Tapi entah kenapa Altarik merasa tergelitik humornya, dia terkekeh satu kali. Ekspresi yang sedikit-sedikit kembali gara-gara bocah semprul ini. "A-apanya yang kecil?" Rahee duduk waspada di kursi belajar kamar Marine, jarak terbentang antara dia dengan Altarik, tapi Rahee merasa hawanya berubah kental panas-dingin. "Itu ... yang kamu katakan ke abang saya." Ah! Rahee berdeham dan melarikan pandangan. Sedang dalam hati merutuk keki. Penting banget, ya, sampai harus dibahas kembali? "Jangan dianggap serius lah, Pak." Rahee mencoba menormalkan suasana. Bisa-bisa mendadak pengin pipis dia kalau terus-terusan digempur nyalinya. Altarik mengangguk. Rahee baru akan bernapas lega kalau saja Altarik tidak bilang, "Gimana rasanya tiga lawan satu?" "PAK!" Membuat Altarik tertawa. Ya ampun! Gantengnya jadi berkali-kali lipat sampai Rahee merona wajahnya. Aduh, aduh, bagaimana ini? Kok jadi pengin ikutan ketawa? Kok jadi deg-degan nggak nyelow jantungnya? Sampai pipi Rahee semakin panas dan merah merekah. "Tiga lawan satu, ya?" Astagfirullah. Udah dong, cicit Rahee dalam hati. Sisi kalemnya menggelora malu-malu meong sampai senewen rasanya. Altarik menyeka sisa tawanya dengan kalimat, "Saya nggak berpengalaman." ANYING! Nggak bisa kalau gak ngegas. Dewi batin Rahee sudah diatur jadi tukang elpiji sampai ngegas terus bawaannya. Ah, apa sih! "M-maksudnya?" Pura-pura bego adalah pilihan yang paling tepat agar dikira gadis polos yang menggemaskan. Halah! Sepertinya imej itu nggak cocok sama Rahee. Dia terlalu barbar. Altarik mengedikkan kedua bahunya. "Amatir, mungkin? Nggak sesuai selera kamu jadinya. Sayang sekali, kan?" Membuat Rahee tertawa garing di sana. Salah tingkah. Memangnya dia pernah bilang begitu? Nggak kalau ke Altarik, tapi ke Om Chandra iya. Itu artinya ... "Aku bilang jangan dianggap serius!" dumalnya, malu. Pipi pun tidak berhenti merah menyala. Altarik bangkit setelah mengeluarkan smirk-nya. Hal yang membuat jantung Rahee dugem di tempat. Tanpa sadar meremas ujung jaketnya. Kok jadi gini, ya? "Satu juta dolarnya mau tunai atau kirim ke rekening aja?" Ah, duit! Mata Rahee langsung berbinar. Astaga, DUIT! Kata itu perlu dikapitalkan supaya jelas bahwa Rahee ini pencinta duit, apalagi duit Altarik. Sepertinya beda gitu aromanya kalau duit cogan sama duit hasil keringat sendiri yang bau asem. "Rekening aja, Pak." Altarik mengangguk. Dia sudah berdiri di depan Rahee, yang tidak Rahee sadari kapan jaraknya jadi sedekat itu sampai kini kepala Rahee ditepuk pelan oleh telapak tangan besar Bapak Altarik YTH. "Oh, ya, saya masih kepikiran ...," menjeda, menatap telaga bening Rahee yang juga menatapnya, saat di mana Altarik menunduk dan Rahee mendongak, posisinya berdiri sedangkan Rahee duduk di depannya, tangan Altarik turun ke pundak Rahee sebelum kemudian berucap, "... kamu beneran suka yang besar?" IDIH! Yang refleks Rahee cubit pinggang Altarik, lalu tersentak saat sadar pada apa yang dia lakukan. "Itu—" "Nggak apa-apa," pangkas Altarik sambil berdiri tegak dan merampungkan, "bagus kalau iya." Membuat kening Rahee mengernyit tak paham. Yang lagi-lagi pucuk kepalanya di tepuk pelan, tapi kali ini diiringi bisikan. Yakni, "Punya saya nggak kecil soalnya." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN