9. Sembilan

1124 Kata
Altarik: Saya mau nikah. Yang dia kirim di grup keluarga. Satu hari keberangkatannya ke kota sebelah urusan bisnis, dan nomor ponsel Altarik masih diblokir oleh calon istri satu juta dolarnya. Sebal. Tapi ya sudah, biarkan. Toh, Altarik tidak butuh pendapat Rahee yang berkaitan dengan pernikahan. Altarik pikir, menghubungi Rahee juga nggak penting-penting amat. Argumen tersebut Altarik dapatkan ketika dia merenung berulang kali perihal hubungannya dengan Rahee yang memang seharusnya tidak dibawa serius. Tapi kok mendadak pengin cepat pulang, ya? Argumennya nggak kuat. Banyu: Asli maneh, Al?! Umin: Emang udah ada jodohnya? Altarik: Ya. Lei: Serius, ada yang mau sama kamu? Altarik: Saya nggak seburuk itu, Bang. Banyu: Tapi maneh juga nggak sebaik itu, Al. Di tempatnya, Altarik mendengkus. Lalu silent dan membiarkan para abangnya berkoar, juga bermunculan satu per satu di sana. Samud: Siapa ceweknya? Kai: Calonnya Altarik lesbi, jadi nanti kalian jangan kaget. Banyu: Eta teh! Chandra: Pernah 3 in 1. Banyu: Anying! Aing boleh gabung? Hal yang membuat Altarik tak suka. Mereka berbicara buruk tentang calon istrinya. Tapi Altarik diamkan, melihat sejauh mana abang-abangnya berkehendak lewat nyinyiran. Kai: Bang Banyu demen lesbi? Chandra: Fucek lo, Bang! Jadi duda nggak ada akhlaknya awokawokawok Samud: Altarik mana Altarik? Jaelani: Kebetulan kata Marine, ceweknya naksir sama Jae, Bang! Banyu: Astagfirullah, akhi! Jaelani: Temennya Marine. Banyu: Alhamdulillah, ikhwan! Jaelani: Dapet nemu dari lowongan kerja di koran. Banyu: Modar sia, Altarik! Kai: Nggak berkah nanti nikahnya. Umin: Ya udah, fix. Besok Abang pulang. Ada yang mau ikut? Samud: Mau mastiin jodoh Altarik? Lei: 2in. Banyu: Oke. Besok kita meluncur. Dion: Gue duluan. Banyu: Aing ikut! Lagi-lagi Altarik mendengkus. Jae suka nggak ngaca. Siapa coba yang berulah dan menjadi awal mula dari semua kisah Altarik di sini? Dasar! Yang berikutnya Altarik meninggalkan room chat, dia memilih mandi. Terserah apa kata abang-abangnya sajalah. Eh, tapi—tunggu! "Bang Dion ... gawat!" Altarik panik seketika. Dia yang anteng-anteng saja rautnya pun bisa jadi kalang kabut kalau yang turun tangan lebih awal adalah Dion. Sebab abangnya yang satu itu terbilang cukup berbahaya. "Ya ampun, Rahee ... nomor saya kenapa masih diblokir, sih?!" misuhnya. *** Yang mana kemarin itu ... "Kamu nggak layak." Saat kini Rahee tercenung. Mengingat kembali pada hari kemarin di mana Rahee kepergok sedang bergurau dengan Marine oleh salah satu abangnya. Tapi bukan abang Marine yang itu yang membuat Rahee melamun. Juga bukan karena gurauannya dengan Marine yang kena tegur. Melainkan ... "Di rumah orang tuanya ngasih pendidikan, nggak? Kok mau nikah karena uang? Nggak pernah dikasih tau sama orang tuanya, ya, kalau nikah itu nggak sembarangan?" "Ya?" Hal yang membuat Rahee bingung dengan tampang bodohnya, dan sekarang Rahee tertawakan itu. Ya ampun! "Bang Dion—" Yang dipangkas habis tegurannya Marine oleh Dion. Ah, Dion ... itu namanya. Salah satu abang Marine yang datang kemarin, masuk rumah tanpa salam sebab sudah diwakilkan oleh Bang Banyu—sepertinya. Yang tiba-tiba bertanya kepada Rahee perihal: Jadi kamu calon istrinya Altarik? Rahee memupus air matanya tanpa sadar. Jujur, perkataan Bang Dion kemarin menyakitinya. Rahee ingat sekali. "Kayak yang nggak ada cewek lain aja," kata Dion setelah Rahee mengangguk, membenarkan bahwa dia adalah calon istrinya Altariksa. "Emangnya aku salah apa?" lirih Rahee menggumam pada diri sendiri. Yang juga dijawab oleh diri sendiri. "Ah, iya ..." Mengingat kembali hari kemarin. "Nama kamu?" "Rahee." "Dari keluarga mana?" "Aku bukan orang terpandang kayak mereka," dengkusnya di hari ini. Rahee berdecak, "Ya terus kenapa?!" Gila! Dia malah ngomong sendiri dan keterusan. Ucapan Bang Dion berkelebatan nyinyir di pikiran. "Oh, anak panti. Pantesan." "Abang!" "Kuliah apa kerja?" Dion tidak membiarkan Marine atau Banyu sekalipun memasuki obrolannya. "Kuliah sambil kerja." "Kerja apa?" Rahee meringis. Memukuli bantal. Menganggap bantal itu adalah komuknya Bang Dion. "Sial. Sial. Sial! Kalo gue kerja di pabrik ayam, terus kenapa?! Yang gaji bukan elo, bangsul!" makinya murka. Sungguh kesal jiwa raga, membuatnya hiperbolis detik itu juga. "Kalo bukan karena krisis ekonomi, gue mana mau nikah sama cowok macam adek lo! Lagian nih ya—" Terpangkas sebab pintu kamar kosnya diketuk dari luar, yang Rahee dengar dan segera mendekat. *** Kata Marine, Rahee disemprot—alias dihujat habis-habisan—oleh abang tersadis mereka. Dion, yang punya mulut dan bicara sesuka hatinya tanpa saringan. Yang selalu berucap apa adanya, meski menyakiti perasaan orang. Yang membuat Altarik kalang kabut semalam dan segera memutuskan untuk pulang. Dan yang membuatnya berdiri di kamar kos seseorang. Tapi kalian jangan salah paham, Altarik nggak ada maksud berinisial perasaan. Nggak, ya! Dia cuma merasa perlu memastikan keadaan Rahee setelah kena hujat abangnya—sejenis tanggung jawab, bukan yang lain. Walau sempat merasa tidak paham pada panik yang datang, tidak paham pada lega yang membasuh ketidaktenangan, detik di mana dia melihat Rahee sekarang—semua yang mengganjal semalam lebur bahkan dibawa kabur oleh kelegaan. Sekali lagi, jangan salah paham. Altarik nggak ada rasa sama Rahee. Cewek itu sebatas istri satu juta dolarnya, dan yang sempat Altarik rasakan itu pasti hanya karena takut kehilangan kandidat jodoh demi memenuhi surat wasiat. "Pak—" "Diem." Rahee protes sebab Altarik memeluknya tanpa aba-aba. Altarik pun memangkas protesannya sebab dia butuh memeluk Rahee lebih lama. Catet! Butuh memeluk, bukan berarti ingin pelukan dengan Rahee. Inget, ya. Butuh, bukan ingin. "Kenapa, deh?" heran Rahee dengan nada super malasnya. Membiarkan tubuhnya direngkuh tanpa Rahee balas merengkuh. Altarik pererat dekapannya. Karena itu PERLU, BUTUH. Bukan atas dasar apa-apa. Ya, Altarik pikir Rahee butuh pelukan. Dengan baik hati Altarik memberikannya cuma-cuma tanpa diminta. "Jangan dimasukin ke hati, ya?" "Apanya?" "Omongan Bang Dion," menjeda, Altarik melepas pelukan, memandang Rahee sambil lanjutkan, "dia ngomong yang nggak enak didengar, kan?" Oh, itu ... Rahee terkekeh. Lalu beringsut melepas skinship yang Altarik beri. Memilih duduk di kasur, membiarkan Altarik berdiri bak patung selamat datang di lubang pintunya. "Nggak mau masuk?" Altarik berdeham. "Kamu serius nyuruh saya masuk?" Rahee menaikkan alis matanya. "Kenapa emang? Mau ngobrol di luar aja?" Yang membuat Altarik mendengkus. "Saya masuk, ya. Saya suka di dalem." Dih, aneh nih human! Nyinyir Rahee dalam hati. Seketika blur seluruhnya masalah tentang Bang Dion yang membawa-bawa topik orang tua. "Urusan kantornya udah selesai, Pak?" tanya Rahee memulai obrolan di saat Mr. Altarik YTH baru mendudukkan p****t di sebelahnya. "Belum." "Terus ngapain pulang?" Altarik menyentil kening Rahee. Membuatnya mengaduh dan menatap jengkel pada Altarik. "Gara-gara kamu." "Aku?" Altarik terkesiap. Sepertinya salah bicara. Dia membasahi bibirnya. "Maksud saya—" "Khawatir, ya?" tanya Rahee menggoda. Mana ada! Altarik menatap ngeri sosok Rahee di depannya. Lalu memilah kata yang cocok dia ucapkan demi menepis perkataan Rahee barusan. "Pokoknya jangan dengerin apa kata Bang Dion, dia memang begitu orangnya, bukan ke kamu aja. Jangan kesinggung apalagi sampai kabur, saya udah kasih DP sejuta, inget." Sekali lagi Rahee mengerlingkan matanya. "Ah, yang bener? Khawatirin aku kali Bapaknya?" Yang tidak Altarik acuhkan. "Nih, saya bakal transfer lagi. Omongan Bang Dion anggap angin lalu aja." Lalu Rahee memilih rebahan di ranjangnya, tidak peduli pada eksistensi Mr. Altarik di sana walau tahu seberapa mesumnya pria itu. "Ra—" "Tenang aja," potong Rahee. Altarik diam. Saat di mana dua lensa sebening telaga mereka bersinggungan. Yang Rahee lanjutkan, "Aku butuh uang. Jadi Bapak jangan takut atau khawatir ditinggal calon pasangan, oke?" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN