10. Kehidupan Di Pesantren

1483 Kata
“Kenalin Mas, saya Miftah. Saya asli dari Purwokerto,” kata pemuda yang sepertinya usianya tidak terlalu jauh dengan Rangga, pemuda berambut cepak, berpostur tinggi dan berkulit sawo matang. Mungkin jika dilihat-lihat, Miftah lebih cocok menjadi seorang anggota polisi atau TNI. Miftah mengulurkan tangannya pada Rangga. “Rangga.” Rangga menyabut uluran tangan Miftah. “Mari Mas Rangga…” ucap Miftah sambil mengajak Rangga keluar dari masjid yang berada di dalam komplek Pesantren. Rangga pun mengikuti langkah Miftah menuju ruangan yang biasa digunakan para santri untuk belajar. Setelah melaksanakan sholat Isya tadi, seperti biasa para santri bertadarus melafalkan ayat-ayat suci Al Qur’an. Di situlah Pak Kyai tahu bahwa Rangga tidak bisa membaca Al Qur’an. Pak Kyai pun meminta Miftah, salah satu santri juga di sana untuk mengajari Rangga. Berhubung masjid pesantren masih ramai karena masih banyak yang melanjutkan bertadarus, Miftah pun mengajak Rangga belajar di ruang kelas agar lebih fokus dan tidak membuat Rangga malu. “Maaf Mas Rangga… Mas Rangga sudah pernah mengaji sampai mana ya,” tanya Miftah dengan sopan. Ia takut membuat Rangga tersinggung dengan ucapannya. “Ngga usah panggil Mas, panggil Rangga aja.” “Oh, iya…” jawab Miftah sungkan. “Belajar dari awal aja. Gue belum bisa baca…” kata Rangga tanpa malu. Dari awal kedatangannya, Ia terlihat tidak serius mengikuti setiap kegiatan di pesantren. Menurutnya semua terasa begitu membosankan. Dulu saat kecil, Rangga memang sempat dipanggilkan guru mengaji ke rumah. Ia pun sudah bisa sedikit membaca Al Qur’an. Tapi karena tidak pernah dipraktekkan di kesehariannya, Rangga lupa huruf dan bacaannya. “Baik Mas, eh Rangga… silahkan boleh membaca Ta’awudz dulu.” Miftah dengan telaten dan sabar mengajari Rangga, walaupun Rangga sendiri terlihat ogah-ogahan. Beberapa kali ia terlihat tidak fokus karena sebentar-sebentar smartphone-nya bergetar menandakan ada telepon atau pesan yang masuk. Di Pesantren Al-Amin para santri memang diizinkan untuk membawa telepon genggam, asal mereka tahu batasan penggunaannya. Mereka hanya diizinkan menggunakannya di hari Sabtu dan Minggu. Sementara jika ada sesuatu yang penting yang ingin disampaikan kepada para santri, bisa langsung menghubungi pihak Pesantren. Miftah yakin, Rangga pun sudah tahu peraturan di Pesantren ini. Satu jam berlalu akhirnya Miftah mengakhiri belajarnya malam ini, dan akan dilanjut keesokan harinya sampai Rangga bisa membaca Al-Qur’an seperti pesan Romo Kyai. *** “Apa ngga sebaiknya Bapak cari Mba Indri? Ibu ngga tega sama Ayu Pak. Bagaimanapun juga kan Ayu berhak kenal sama Ibu kandungnya,” bisik Triningsih di tempat tidurnya. Ia takut Ayu yang berada di kamar sebelah mendengar pembicaraannya dengan Sanjoko. Sanjoko menghela napas, sepertinya ia sudah bosen mendengar perkataan istrinya itu mengenai keberadaan Indri. Ia pun menoleh ke arah Triningsih yang berbaring di sampingnya. “Ibu kan tau, waktu itu Bapak udah susah payah cari alamat Indri. Tapi apa tanggapannya? Jangankan membujuk buat nemuin Ayu, Bapak disuruh masuk aja ngga,” jawab Sanjoko. Dulu, saat Ayu berusia satu setengah tahun, ia sempat jatuh sakit dan menjadi sangat rewel. Sanjoko pun sampai bingung bagaimana caranya menenangkan Ayu. Hingga tiga hari berlalu, demamnya tak kunjung turun. Sanjoko berpikir Ayu pasti sangat merindukan Indri karena beberapa kali ia sempat mengigau memanggil ibunya. Saat itu Sanjoko pun nekat datang ke Jakarta setelah berhasil mendapatkan alamat rumah tinggal Indri dari Budhe Indri yang tinggal di Purwokerto. Berbekal uang seadanya dan secarik alamat rumah, Sanjoko akhirnya menemukan rumah suami Indri. Sebuah rumah yang terlihat sangat mewah berlantai tiga dan penjagaan ketat security di bagian depan. Melihat halaman rumahnya saja Sanjoko tidak bisa karena gerbang rumahnya yang begitu tinggi dan tertutup. Tapi ternyata perjuangannya sia-sia, Indri sama sekali tidak mau menemuinya. Bahkan security itu dengan kasar mengusirnya. Kecewa dan sakit hati? Sudah pasti. Tapi Sanjoko berusaha sabar dan ikhlas menerima keadaannya saat itu. Ia membuang ego nya jauh-jauh demi putri semata wayangnya. Ia rela menunggu di pinggir jalan samping rumah suami Indri dan berharap Indri berubah pikiran dan mau menemuinya. Setelah kurang lebih menunggu selama tiga jam di bawah terik matahari, akhirnya security membuka gerbang rumah itu. Sanjoko pun langsung berdiri sambil mengarahkan pandangannya ke dalam gerbang, berharap ia melihat Indri di dalam sana. Baru saja ia berjalan beberapa langkah, sebuah mobil Tesla warna merah dengan cepat keluar dari dalam pintu gerbang. Sanjoko pun tak sempat mengejarnya. Walaupun kaca mobil gelap jika dilihat dari luar, tapi Sanjoko yakin, Indri ada di dalam mobil itu bersama suami barunya. Karena putus asa, Sanjoko pun akhirnya kembali ke kampungnya. Hingga sampai detik ini, Indri sama sekali tidak pernah berusaha menemui Ayu. Kabar terakhir yang ia dengar, saat ini Indri sudah pindah rumah. Budhe Indri pun tidak tahu kemana mereka pindah. Indri sengaja menyembunyikannya karena ia tahu Budhenya itu ada di pihak Sanjoko. “Udah lah Bu, ndak usah terlalu dipikirin. Kalo memang suatu saat Indri mau menemui Ayu, ya Bapak seneng, tapi kalau ndak… ya kita bisa apa. Yang penting dulu Bapak udah usaha buat cari Indri,” kata Sanjoko. Matanya menerawang. Teringat kembali kejadian saat itu. Rasa sakit yang dirasakannya saat itu tentu tidak sebanding dengan rasa sakit yang mungkin dirasakan Ayu saat ini. “Iya Pak…” jawab Triningsih pasrah. Ia menoleh ke arah Haikal yang tidur di sampingnya. Triningsih sedikit kaget, rupanya Haikal masih belum tidur dan mungkin saja ia mendengar semua yang dibicarakannya dengan Sanjoko. “Kamu kok belum tidur si dek?” tanya Triningsih. “Ndak bisa tidur Bu,” jawab Haikal. “Bu, ibu kandung itu apa sih Bu?” tanya Haikal polos. Pertanyaan Haikal benar-benar membuat Triningsih bingung harus menjawab apa. “Ibu kandung itu ibu yang menyayangi anaknya.” Sanjoko memberikan jawaban sekedarnya yang bisa dipahami Haikal. “Memangnya ibu ngga sayang sama mba Ayu?” tanya Haikal lagi. “Ibu sayang lah sama Mba Ayu. Udah, kamu tidur ya… udah malem,” ucap Triningsih mengalihkan perhatian Haikal. “Ya Bu…” jawab Haikal sambil memejamkan mata. *** Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Suasana Pesantren sudah sangat sepi, hanya terdengar suara jangkrik yang saling bersahutan. Para santriwan dan santriwati sudah terlelap di tempat tidur masing-masing. Sementara Rangga? Ia masih belum bisa memejamkan matanya. Kebiasaan begadangnya membuat Rangga kesulitan untuk menyesuaiakan jadwal kegiatan Pesantren. Padahal ia harus bangun sebelum subuh dan melaksanakan sholat subuh berjamaah di masjid Pesantren. Udara dingin perbukitan begitu menusuk tulang, apalagi saat ini sedang musim penghujan. Rangga yang terbiasa hidup di daerah yang panas terlihat menggigil kedinginan. Ia pun mengambil jaket dari dalam lemari kecil di samping tempat tidurnya, lalu kembali berbaring. Rangga meraih smartphone-nya yang ia letakkan di bawah bantal. Ada 12 panggilan tak terjawab! Dan satu pesan diterima! Ternyata dari Dimas, ia menelepon sekitar lima belas menit yang lalu. Buruan Bro, udah ditunggu nih, di tempat biasa. Begitu isi pesan singkat dari Dimas. Gue ngga bisa Dim, balas Rangga. Tak sampai satu menit, smartphone Rangga bergetar. Yah, ngapain si Dimas pake telpon segala, batin Rangga. Ia ragu untuk mengangkat. Tapi kalau tidak diangkat, sudah pasti Dimas akan terus meneleponnya. Rangga memiringkan tubuhnya ke kiri, lalu menekan tombol hijau di layar smartphone-nya. “Ya Dim?” bisik Rangga. Ia takut didengar santri yang lain “Bro! Di mana lo? Ayo cabut. Lama banget lo ngga diangkat telfonnya!” kata Dimas dengan sedikit menaikkan volume suaranya agar Rangga bisa mendengar suaranya dengan jelas. Sesekali terdengar suara deru mesin sepeda motor dan suara beberapa temannya yang ia kenal. “Sini Ngga buruan! Lawan gue! Napa? Ngga berani lo? Dasar pengecut!” Teriak Bara yang duduk di samping Dimas. Wah, sialan Bara…! batin Rangga. Kalau saja saat ini ia berada di Jakarta, sudah pasti ia akan dengan senang hati menerima tantangan Bara. “Sorry Dim, gue bener-bener ngga bisa.” “Apa?” teriak Dimas sambil mempertajam pendengarannya. Karena di tempatnya terlalu bising, Dimas tidak bisa mendengar suara Rangga. Ia pun sedikit menjauh dari keramaian. “Sorry, rame banget di sini. Ngga denger gue.” “Gue kan udah bilang, hari ini gue ngga bisa,” kata Rangga, masih dengan berbisik. “Napa lo ngomongnya bisik-bisik?” Rangga telihat mencari-cari alasan yang tepat agar Dimas tidak curiga. Mau ditaruh di mana muka Rangga jika teman-temannya tahu kalau ia dipaksa masuk Pesantren oleh orangtuanya. “Mmm… Adek gue masuk rumah sakit.” Akhirnya alasan itulah yang keluar dari mulut Rangga. Tiba-tiba terdengar suara aneh, seperti handle pintu yang berusaha dibuka beberapa kali. Rangga pun memutar pandangannya ke seluruh ruangan. Dilihatnya semua santri sudah terlelap. Bunyi itu terdengar begitu nyaring di dalam ruangan besar berukuran enam kali sepuluh meter. Suara yang sama kembali terdengar. Kali ini membuat bulu kuduknya merinding. “Udah dulu ya Dim!” Tanpa banyak bicara lagi, dengan cepat Rangga mematikan sambungan telepon dan segera menarik selimutnya ke atas hingga menutupi semua bagian tubuhnya sampai ke ujung kepala. Ia memejamkam matanya dan berharap segera tertidur. Di atas tempat tidur di bagian pojok, Ardi berusaha menahan tawanya. Usahanya berhasil untuk membuat santri baru itu menghentikan aktifitasnya. Sedari tadi ia merasa terganggu dengan Rangga yang tidak bisa diam. Ardi takut suara Rangga di sambungan telepon juga mengganggu santri yang lain.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN