Pagi itu langit begitu cerah. Matahari dengan malu-malu menampakkan sinarmya dari balik bukit. Udara dingin yang berhembus sejak malam tadi, kini berubah menjadi hangat. Terdengar burung-burung yang bertengger di atas ranting berkicau saling bersahutan, membuat suasana terasa menyenangkan.
Pagi itu Ayu mengayuh sepedanya dengan perasaan tenang. Beberapa kali ia memperlambat laju sepedanya dan menyapa setiap orang yang ia kenal sambil mengumbar senyum. Mereka pun bisa merasakan keceriaan dan energi positif yang ada dalam diri Ayu.
“Waaah… Mba Ayu nih pagi-pagi udah semangat banget. Jadi ikut semangat deh liatnya,” celetuk salah seorang ibu muda yang sedang menjemur pakaiannya di halaman rumah.
“Eh, Mba Lita…biasa kok Mba. Eh, De’ Misya katanya lagi sakit. Udah sehat Mba?” tanya Ayu.
“Alhamdulillah udah sehat… cuma batuk pilek aja kok. Tuh anaknya udah lari-lari,” jawab Lita sambil menunjuk putrinya yang sedang berlarian di dalam rumah. Misya pun berlari keluar sambil menunjukkan sesuatu kepada ibunya.
“Alhamdulillah… Hallo De’ Misya… sehat-sehat ya…”
“Makasih Tante…” ucap Lita mewakili putrinya yang malu-malu sambil memeluknya.
“Mari Mba… duluan,”
“Iya, hati-hati ya…”
Ayu kembali mengayuh sepedanya menuju peternakan Babeh Rojali. Babeh Rojali pun melihat perubahan Ayu. Sudah dua minggu ini Babeh Rojali melihat Ayu terlihat murung dan tidak banyak bicara. Tapi hari ini Ayu terlihat begitu ceria.
“Nah, gitu dong, senyum… kan cantik. Ndak kaya kemarin, kaya langit mendung tapi ngga ujan-ujan.”
“Ah Babeh nih… bisa aja,” kata Ayu sambil tertawa. “Tapi ngga papa dong Beh… dari pada ujan terus, ngga brenti-brenti, nanti banjir dong?”
“Kamu ini dari dulu emang paling bisa ngelesnya…”
“Siapa dulu dong yang ngajarin? Kan Babeh…” kata Ayu sambil cekikikan.
“Hmmm… Ini nih pasti Babeh bakal kangen sama kamu kalo nanti kamu udah menikah.”
“Emangnya kenapa Beh?” Ayu mengerutkan dahinya. “Apa hubungannya? Babeh kira Ayu bakal berubah kalo nanti Ayu sudah menikah?”
“Kalo kamu sudah menikah ya pasti kamu udah ngga jadi penjual s**u keliling. Gimana sih kamu? Memangnya nanti suami kamu bakal ngijinin kamu jualan s**u?”
Mendengar perkataan Babeh Rojali, Ayu pun tertawa. “Babeh, Babeh… Ayu bakal tetep jualan s**u koh Beh. Lagian jualan s**u juga ngga sampe siang kok. Ayu masih bisa ngurusin suami dan pekerjaan rumah. Suami Ayu pasti bakal izinin.”
“Kamu ngga perlu repot-repot kerja juga pasti anak lelakinya Pak Parja itu udah bisa mencukupi semua kebutuhan kamu.”
“Mungkin iya Beh… tapi kan Ayu juga masih pengen bantu Bapak Ibu. Ayu pengen Kinanti sama Haikal sekolah yang tinggi, biar bisa sukses, ngga kaya Ayu. Tapi pasti kuliah itu kan mahal ya Beh… Ah ngga tau lah Beh, Ayu aja pusing.”
“Kamu nih… ya udah sana, nanti kesiangan…”
“Iya Beh…”
Ayu mulai menata botol-botol susunya ke dalam keranjang sepeda. Hari ini ia yakin, pasti s**u-susunya akan habis terjual.
Dua minggu sudah berlalu sejak Ratna mengetahui hubungan Ayu dengan Bagus. Sejak insiden di depan warung Ci Weni, Ayu sudah tidak pernah lagi bertemu dengan Ratna. Beberapa kali Ayu mencoba menghubungi Ratna melalui hp ‘jadul’nya, tapi Ratna seolah tidak perduli. SMS Ayu tidak pernah dibalas, teleponnya pun tidak diangkat.
Selama dua minggu itu Ayu sudah membuat keluarga dan orang-orang di sekitarnya bingung. Hingga akhirnya kemarin Ayu mendapatkan sepucuk surat dari Ratna yang dititipkan melalui Dian. Rupanya Dian sudah menjelaskan dengan detail apa yang sebenarnya terjadi, termasuk perasaan Ayu kepada Bagus.
Dalam surat itu, Ratna mengatakan bahwa ia sudah menerima kenyataan yang ada. Ia berusaha mengerti dan mencoba melupakan perasaannya kepada Bagus, dan Ayu tidak perlu merasa bersalah akan hal itu. Saat ini Ratna hanya butuh waktu. Ia belum siap untuk bertemu dengan Ayu. Tapi Ratna sudah berjanji, kejadian ini tidak akan merubah persahabatan mereka.
Saat surat tersebut sampai di tangan Ayu, Ratna sudah berada di Jakarta. Ratna memutuskan untuk kembali ke Jakarta dan mencari pekerjaan di sana demi untuk melupakan Bagus. Itulah yang membuat Ayu merasa tenang. Setidaknya Ratna sudah tidak menyalahkannya atas semua yang terjadi dan hubungan persahabatan mereka akan tetap terjaga.
***
“Mbaa!” panggil salah seorang santri saat Ayu melintas tepat di depan pesantren. “Mau susunya ya mba,”
“Oh iya Mba,” jawab Ayu ramah sambil memutar sepedanya dan mendekat ke arah pintu gerbang. Terlihat beberapa santri sedang berada di halaman pesantren. Minggu pagi yang cerah ini membuat mereka banyak yang menghabiskan waktunya untuk berolahraga atau jalan-jalan di sekitar pesantren, termasuk Rangga.
Dua minggu berada di pesantren, kini Rangga sudah mulai bisa beradaptasi walaupun seringkali ia masih merasa bosan. Ia juga sudah mulai akrab dengan santriwan yang lain. Membaca Al-Qurannya pun sudah mulai lancar. Keberadaan Rangga memang selalu mencuri perhatian santri-santri yang lain, terutama santri putri, tak terkecuali Anya. Gadis yang kini sudah duduk di bangku kelas tiga SMA itu tidak bisa melepas pandangannya dari Rangga sejak awal kedatangan Rangga ke Pesantren, gadis yang juga dipaksa oleh orangtuanya untuk ‘nyantri’ demi menjauhkannya dari Wildan, pemuda ugal-ugalan yang saat itu menjadi pacar Anya. Rangga yang tampan, keren, dan karakter bad boy yang melekat padanya menarik perhatian Anya.
Ada saja kelakuan Rangga yang membuat beberapa santri geleng-geleng kepala dibuatnya. Termasuk kebiasaan Rangga yang sering memesan makanan melalui ojek online dalam jumlah banyak dan hampir setiap hari untuk dirinya dan teman-temannya di pesantren. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kebiasaan Rangga itu. Justru kebiasaannya itu memberikan berkah tersendiri untuk teman-temannya di pesantren, juga orang-orang sekitar yang melintas, seperti para pedagang, pengamen, atau pengemis karena ia akan membagi-bagikan makanannya jika masih tersisa. Tapi menurut teman-temannya, kebiasaan Rangga hanya membuang-buang uang dan kurang bermanfaat karena sebenarnya dari pihak pesantren pun sudah lebih dari cukup memenuhi kebutuhan makanan para santri. Tapi mungkin itulah cara Rangga melampiaskan kejenuhan dan kesepiannya.
“Kamu mau s**u Rangga?” tanya Haikal sambil menunjuk ke arah Ayu.
Reflek Rangga pun menoleh ke arah Ayu. “Engga. Ngga suka s**u gue,” jawab Rangga tanpa mengalihkan pandangannya dari Ayu. Ada yang menarik dari Ayu, Rangga pikir gadis muda penjual s**u hanya ada hanya ada di FTV, apalagi menurut Rangga penampilan Ayu tidak cocok untuk menjadi pedagang keliling. Apa dia ngga malu? Pikir Rangga.
“Ya udah, gue ke sana dulu ya,” kata Haikal yang berniat membeli s**u.
Tak berapa lama Anya dan beberapa santri keluar menuju halaman pesantren. Ia mendekat ke arah Rangga. Dari jauh, Anya bisa melihat Rangga yang terus menatap ke arah gadis penjual s**u itu. Ada sedikit perasaan kesal dan cemburu yang Anya rasakan.
“Mmm… Mas Rangga,” panggil Anya malu-malu dengan suara yang sengaja ia lembutkan. Sementara teman-teman di belakangnya hanya senyum-senyum melihat Anya yang tampak salah tingkah.
“Ya?” jawab Rangga sambil menoleh ke arah Anya.
“Itu Mas, Mas Rangga dipanggil sama Pak Kyai…”
“Oh, makasih ya…” jawab Rangga. Sekilas Rangga kembali menoleh ke arah Ayu sebelum ia masuk menemui Pak Kyai.
“Cie… cie…” teman santri yang lain menggoda Anya sambil mencolek tubuh Anya dengan sikunya setelah Rangga berlalu.
“Ih, apaan sih…” ucap Anya malu-malu hingga pipinya sedikit memerah.