9. Gadis Berkerudung Merah

1301 Kata
Siang itu, sebuah mobil Pajero Sport hitam ber-plat B berhenti di halaman Pesantren Al-Amin. Kedatangan mereka di sambut dengan hangat oleh Kyai Harso, pengasuh Pondok Pesantren dan beberapa tenaga pengajar. Tentu saja tak ketinggalan, ada Pak Suryo juga di sana karena Pak Suryo lah yang mengurus semua keperluan dan apa saja yang dibutuhkan oleh Gunawan dan putranya selama di Brebes. Beberapa menit yang lalu, Gunawan memang telah mengabarkan kepada Suryo bahwa sebentar lagi ia akan sampai. Ia pun tak menyangkan akan disambut di halaman Pesantren. Gunawan keluar dari dalam mobil setelah memarkirnya di bawah pohon kiara payung, diikuti oleh Diana, Rangga, dan Romi, adik Rangga. Kali ini Gunawan mengendarai mobilnya sendiri tanpa menggunakan sopir pribadi agar perjalanan mereka lebih santai. “Assalamualaikum…” sapa Gunawan sambil mendekat ke arah Kyai Harso dan menyalaminya. “Waalaikumsalam… Alhamdulillah… selamat datang di Pesantren kami Pak. Gimana ini perjalanannya Pak Gunawan dan keluarga?” tanya pengasuh Pondok Pesantren yang usianya sudah menginjak tujuh puluh tahun. “Alhamdulillah lancar Pak Kyai. Ya biasalah, ada macet di beberapa titik waktu keluar Jakarta.” “Mari silahkan masuk Pak Gunawan. Kita ngobrol-ngobrol di dalam.” Kyai Harso mempersilahkan masuk dengan mengarahkan tangannya ke sebuah ruangan kecil berukuran 3x2 meter di bagian depan bangunan Pesantren. Sebuah bangunan Pesantren sederhana yang terletak di sisi jalan utama desa, masih satu desa dengan tempat tinggal Ayu. Tidak terlalu besar tapi mampu menampung santriwan dan santriwati yang berjumlah kurang lebih enam puluh lima orang dari mulai usia lima belas sampai dua puluh dua tahun. Biasanya santri di atas usia SMA, mereka adalah santri yang sudah perguruan tinggi dan masih menetap di Pesantren sembari memperdalam ilmu agama kepada Romo Kyai atau mereka yang tempat tinggalnya jauh di luar kota. Selain itu mereka juga sudah dipercaya untuk membantu Romo Kyai untuk membantu mengajar mengaji atau mengisi kultum (kuliah tujuh menit). Gunawan memberikan kode pada Suryo untuk ikut masuk ke dalam ruangan yang ditunjukkan Pak Kyai, ruangan yang biasa digunakan untuk menerima tamu wali santri atau para donatur yang ingin menyisihkan sebagian rezekinya untuk kemajuan dan pembangunan Pondok Pesantren. Diana, Rangga, dan Romi pun mengikuti ketiganya masuk ke dalam ruangan. Sementara para tenaga pengajar kembali masuk ke dalam melalui halaman samping. “Silahkan, Bapak, Ibu, sama Mas………” “Ini Rangga, dan ini Romi, adik Rangga.” Gunawan memperkenalkan mereka dengan menunjuk satu per satu kedua putranya. Rangga dan Romi pun mengumbar senyum sambil menganggukkan kepala. “Oh, ini yang namanya Mas Rangga… semoga betah di sini ya Mas Rangga…” Lagi-lagi Rangga tersenyum terpaksa sambil menganggukkan kepala. “Begini Pak Kyai, mungkin Pak Suryo sudah menyampaikan kepada Pak Kyai mengenai keinginan saya untuk memasukkan putra sulung kami ke pesantren. Mohon maaf sekali Pak Kyai, sebelumnya kami tidak bisa secara langsung datang ke mari dikarenakan kesibukan dan jarak yang cukup jauh,” kata Gunawan memulai pembicaraannya, “Saya pribadi selaku orangtua dari Rangga secara khusus meminta kesediaan Pak Kyai untuk membimbing dan mendidik putra sulung kami agar kedepannya bisa menjadi pribadi yang lebih baik,” lanjutnya. Pak Kyai memperbaiki posisi duduknya agar lebih tegak sebelum menanggapi permintaan Gunawan, walaupun sebelumnya Suryo sudah menjelaskan kepada Pak Kyai dengan sangat jelas. “Baik Pak Gunawan dan Ibu… sebelumnya kami ingin mengucapkan banyak terimakasih atas sumbangan berupa lemari dan tempat tidur, juga beberapa Al Qur’an untuk perkembangan Pesantren kami. Alhamdulillah sudah kami terima dengan baik. MasyaAllah… semoga kebaikan Bapak dan Ibu diterima oleh Allah… selalu diberikan kelancaran rezeki… dan yang pasti semoga menjadikan amal jariyah untuk Bapak dan Ibu Gunawan.” “Aamiin…” ucap Gunawan dan Diana bersamaan. Gunawan memang telah lama menjadi donatur tetap di Pesantren milik Kyai Harso walaupun ia tidak pernah memberikan sumbangannya secara langsung. Bahkan ini baru kedua kalinya Gunawan dan Diana menginjakkan kakinya di Pesantren. Kini Pondok Pesantren Al-Amin sudah mulai berkembang bahkan sedang melakukan pembangunan agar bisa menampung santri lebih banyak. Karena keterbatasan ruang, selama ini Pak Kyai sering kali menolak orangtua yang ingin memasukkan anaknya ke Pesantren. Pelan tapi pasti, Pesantren mulai melakukan pembangunan secara bertahap karena dana yang dibutuhkan pun tidak sedikit. “Mengenai Mas Rangga yang akan menjadi salah satu santri di sini, InsyaAllah kami akan memberikan pendidikan yang baik, sama seperti santri-santri di sini.” “Baik Pak Kyai. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih banyak,” ucap Gunawan. “Sama-sama Pak gunawan… justru saya yang sangat berterima kasih atas bantuan Pak Gunawan selama ini. Kalau mau lihat-lihat lingkungan Pesantren, bisa saya antar.” Pak kyai menawarkan diri agar keluarga, terutama orangtua Rangga mengetahui di lingkungan seperti apa putranya akan tinggal. “Boleh-boleh…” jawab Gunawan cepat. “Mari silahkan…” kata Pak Kyai sambil berdiri. Pak Kyai pun mengajak mereka berkeliling dari bagian depan bangunan pesantren dan memberitahu setiap ruangam yang ada di sana. Walaupun tidak mewah, tapi semua tersusun rapi dan bersih. Rangga memutar pandangannya ke seluruh sudut ruangan. Dari raut wajahnya jelas menunjukkan penolakan dan perasaan tidak suka. Rangga yang terbiasa hidup mewah dengan fasilitas yang lengkap mana mungkin harus tinggal di tempat seperti ini? Ia menoleh ke ruangan yang berada di ujung lorong. Tampak beberapa santriwan dan santriwati yang sepertinya baru selesai bertadarus. Gadis berjilbab merah yang berada di dekat pintu masuk memandang ke arahnya, lalu mengumbar senyum. Rangga pun membalas senyumnya dan menganggukkan kepala. Rangga kembali mengikuti langkah Pak Kyai. Sesekali ia menoleh ke arah Diana, berharap ia mendapat pembelaan dan membantu untuk membujuk Gunawan untuk membatalkan keinginannya. Diana hanya tersenyum simpul dan mengelus lengan putranya itu. Hingga mereka sampai ke ruangan pribadi, tempat para santri tidur/beristirahat. Tidak seperti kamar hotel dengan ruangan berjejer dan terdapat pintu dan tembok pembatas, tapi di Pondok Pesantren itu, tempat tidur para santri terletak dalam satu ruangan yang cukup besar. Hampir mirip dengan tempat pengungsian. Tidak ada pintu, apalagi tembok pembatas. What?? Gue harus tidur di tempat kaya gini?? Sama orang yang ngga gue kenal?? Wah ini sih parah! Batin Rangga. “Aku tinggal di rumah kita aja lah Mah. Aku janji kok kalo di Pesanten ada kegiatan Aku ngga bakal absen. Ayo dong Mah, bilang sama Papah, aku mohon…” rengek Rangga. Kebetulan mereka memiliki rumah pribadi yang letaknya tak jauh dari perkebunan. Di sana ada Bi Minah dan suaminya yang dimintai tolong untuk menjaga dan merawat rumah itu. Sementara rumah Bi Minah sendiri, kini ditempati putri bungsu mereka yang sudah menikah. “Hustt… jangan macem-macem. Kamu nih ada-ada aja,” ucap Diana menentang dengan keras permintaan anak sulungnya itu.” “Udah Bang… kali aja ketemu jodoh di sini. Tuh tadi yang kerudung merah kayaknya naksir ama lo,” kata Romi sambil cekikikan. Rupanya tadi Romi juga memperhatikan saat gadis itu mengumbar senyum pada abangnya. “Ah, sialan lo!” Umpat Rangga pelan. Setelah berkeliling melihat keadaan Pondok Pesantren, akhirnya Gunawan dan Diana pun pamit pulang. Mereka berencana untuk menginap satu malam di Brebes dan akan kembali ke Jakarta keesokan harinya. “Ya sudah Pak Kyai, kita pamit pulang. Saya nitip Rangga. Saya pasrahkan semuanya pada Pak Kyai.” “Baik Pak, InsyaAllah…” jawab Pak Kyai mantap. “Ngomong-ngomong Bu Nyai ngga keliatan dari tadi Pak Kyai?” tanya Diana sebelum mereka keluar dari bangunan Pesantren. “Oh, iya Bu… istri saya kebetulan sedang diminta tolong mengisi pengajian di desa sebelah. Mohon maaf Bu, ndak bisa menemui Bapak dan Ibu Gunawan. “Iya ngga papa Pak Kyai. Nitip salam aja buat Ibu Nyai.” “Baik, baik Bu… InsyaAllah nanti akan saya sampaikan.” “Kami pamit Pak Kyai… Assalamualaikum,” ucap Gunawan. “Waaaikumsalam…” “Dadaaahhh… Abaaanggg…” celetuk Romi dengan wajah mengejeknya. Sontak membuat Rangga mengepalkan telapak tangannya dengan posisi siap meninju. Kalau saja tidak ada Pak Kyai di sana pasti Romi sudah ia ‘habisi’.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN