12. Dia, Calon Suamiku!

1437 Kata
“Kamu kok pake rok pendek sih Nduk?” tanya Triningsih ketika melihat Ayu keluar dari kamarnya dengan setelan blouse dan rok pendek warna hitam. “Memangnya kenapa Bu? Ini bagus kok.” Kata Ayu sambil menunduk, memperhatikan detail pakaiannya. “Iya sih bagus… tapi kayaknya kamu lebih terlihat cantik kalo pake rok panjang...” kata Triningsih sambil tersenyum. “Itu sih menurut ibu.” “Ya udah deh… Ayu ganti dulu ya Bu.” “Iya…” jawab Triningsih yang sudah berpakaian rapi dan duduk di kursi depan televisi sambil menyuapi Haikal. Ayu pun kembali masuk ke dalam kamarnya untuk berganti pakaian. Triningsih merasa penampilan Ayu menggunakan rok pendek dirasa kurang sopan jika bertamu ke rumah orang lain. Apalagi hari ini ia akan berkunjung ke rumah calon mertuanya, Bapak dan Ibu Parja. Begitulah Triningsih, ia selalu menggunakan bahasa yang lembut kepada anak-anaknya dengan mengarahkan mereka ke hal yang menurutmya lebih baik dan lebih pantas. Kedatangan Keluarga Ayu ke rumah Pak Parja tak lain adalah sebagai kunjungan balasan atas kedatangan keluarga Bagus saat melamar Ayu saat itu. Hal tersebut memang telah menjadi tradisi di kampungnya dengan maksud agar kedua belah keluarga lebih saling mengenal. Selain bersilaturahmi, biasanya dalam pertemuan itu akan dibahas mengenai kepastian dan tindak lanjut rencana pernikahan yang akan dilaksanakan atau musyawarah antar dua keluarga. Siap tidak siap, Ayu hanya bisa pasrah dan menurut kepada kedua orangtua, terutama ayahnya. “Nah, ini baru cantik…” kata Triningsih memuji penampilan Ayu. Kini Ayu sudah mengenakan rok panjang warna biru tua dengan motif bunga kecil. Justru terlihat lebih cocok saat dupadukan dengan blouse warna biru tua. Pilihan ibunya memang selalu tepat. “Iya… Mba Ayu cantik banget,” celetuk Kinanti. “Hmm… muji-muji. Pasti ada maunya nih…” “Endak Mbaaa, beneran… suer deh,” kata Kinanti sambil menunjukkan dua jarinya. Ayu ikut duduk di kursi depan televisi sambil menunggu Sanjoko pulang dari mushola untuk melaksanakan sholat magrib. Sengaja mereka mencari waktu selepas magrib agar tidak terlalu mengundang perhatian tetangganya dan warga yang lain. Di meja kecil di sudut ruangan, Triningsih sudah menyiapkan satu dus berukuran sedang berisi makanan untuk dibawa ke rumah calon besannya itu. Tidak etis rasanya jika mereka datang tanpa membawa buah tangan walaupun mereka harus menggunakan uang yang sengaja disihkan untuk melunasi hutang-hutang mereka. Belum lagi uang untuk membayar ojek yang akan mengantarkan mereka. Jangankan bisa mengendarai, sepeda motor mereka pun tak punya. Sagusatunya kendaraan yang keluarga mereka miliki hanya sepeda. Itu pun hanya Ayu yang bisa memakainya. Sebenarnya Bi Ratri sudah menawarkan untuk diantar saja oleh Mas Ilham, suaminya menggunakan motor bututnya. Jadi mereka hanya membutuhkan dua tukang ojek saja agar menghemat biaya. Tapi Sanjoko menolaknya, ia kasihan pada Ilham yang baru pulang bekerja seharian di pabrik. Pasti ia lelah dan membutuhkan waktu istirahat. Terdengar suara pintu yang dibuka dari luar. “Assalamualaikum…” “Tuh, Bapak udah pulang,” kata Triningsih. Ia segera membawa piring bekas makan Haikal ke dapur. Rupanya Sanjoko datang bersamaan dengan Ratri yang sudah dimintai tolong untuk menemani Kinanti dan Haikal di rumah selama mereka pergi. “Putri ndak ikut Bi?” tanya Ayu yang melihat Bibinya datang sendirian. Basanya Putri tidak pernah ketinggalan jika ibunya datang ke rumah Pak dhe-nya. “Tadi Putri lagi ngerjain PR. Bibi suruh selesein dulu. Kalau udah selesai baru boleh nyusul ke sini.” Tak berapa lama terdengar suara motor berhenti di depan rumah, disusul dengan dua motor lain selang beberapa menit. Sore tadi Sanjoko sudah memesan tiga ojek pengkolan yang biasa mangkal di samping perkebunan. Sanjoko dan ketiganya pun sudah saling mengenal karena seringnya mereka bertemu ketika Sanjoko bekerja. Sudah tentu ojek pengkolan itu memberikan harga di bawah standar pada Sanjoko. Ayu, Sanjoko, dan Triningsih pun bergegas menuju ke rumah keluarga Bagus di desa sebelah. Tak butuh waktu lama, hanya sekitar lima menit untuk sampai ke rumah Bagus dengan menggunakan sepeda motor. Saat sampai di depan Pesantren, perhatian Ayu tertuju pada tiga orang pemuda yang hendak keluar dari gerbang pesantren. Dua pemuda sudah pernah ia lihat sebelumnya . Walaupun Ayu tidak mengenalnya tapi ia sangat familiar dengan wajahnya karena beberapa kali mereka membeli s**u segarnya. Tapi satu pemuda lagi, Ayu baru pernah melihatnya. Apa dia putra Pak Gunawan pemilik perkebunan itu? Batin Ayu. Hmm… ganteng sih. Tapi dari wajahnya aja udah keliatan ndak jelas, anak kota yang begajulan, imbuhnya. *** “Duuhhh, ngapain sih repot-repot segala… udah deh, kalo ke sini ndak usah bawa apa-apa, bener,” kata Santi, ibu Bagus sembari menerima dus yang dibawa Triningsih. Ia sangat tahu kehidupan ekonomi keluarga Triningsih, ia pun tidak ingin memberatkannya. “Enda repot kok Mba… seadanya di rumah,” jawab Triningsih. “Ah, mosok sih?” kata Santi menggoda Triningsih. Dari dulu Santi pun tahu kalau Triningsih selalu berusaha memberikan apa yang menurutnya pantas. Itulah cara dia menghormati dan menghargai orang lain. Triningsih pun hanya tersenyum. “Ayo silahkan. Duduk, duduk…” Pak Parja terlihat ramah dan sangat senang dengan kedatangan keluarga Ayu. Tak lama kemudian, Bagus keluar menuju ruang tamu untuk menemui mereka. Dilihatnya calon bidadarinya itu tersenyum, tampak begitu manis menurut Bagus. Setelah basa-basi, Santi pun beranjak dari tempat duduknya. Ia hendak membuatkan minum untuk tamu-tamu istimewanya. Santi hendak membuat sendiri minumam untuk mereka karena orang yang biasa membantu Santi mengerjakan pekerjaan rumah hanya datang pagi dan pulang sore harinya. “Udah Mba ndak usah repot-repot,” kata Triningsih cepat. “Bener Mba…” lanjutnya. Santi pun kembali duduk. “Jadi bagaimana ini Pak Sanjoko, untuk kelanjutan hubungan Bagus dengan Nak Ayu? Kalau menurut saya sih, apa lagi yang mau ditunggu? Bukankah lebih cepat akan lebih baik?” Pak Parja memulai pembicaraan. “Kalau saya sih, bagaimana Mas Bagus, Bapak, sama Ibu saja,” kata Sanjoko. Pak Parja menoleh ke arah Bagus. “Bagaimana menurut kamu Gus,?” Bagus terlihat bingung. Sebenarnya ia tidak enak untuk mengatakan kepada orangtuanya dan orangtua Ayu. Tapi ia dan Ayu sudah sepakat untuk menunda hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius lagi yaitu pernikahan, sesuai dengan keinginan Ayu. Bagus sudah berjanjinuntuk menunggu Ayu sampai Ayu siap. “Mmm… kalau menurut Bagus sendiri… mohon maaf sebelumnya, Bapak, Ibu kalo Bagus lancang.” Bagus menoleh ke arah kedua orangtua Ayu dan kedua orang tuanya secara bergantian. “Bagus rasa tidak perlu harus terburu-buru. Bukannya kami tidak serius, dan tidak menuruti perkataan orangtua, tapi kita berdua juga butuh waktu dulu untuk saling mengenal dan saling memahami satu sama lain,” kata Bagus. Sekilas ia melirik ke arah Ayu yang sedari tadi tertunduk. Mungkin ia merasa tidak enak karena permintaannya, Bagus harus berkata seperti itu, seolah Bagus yang menolak untuk menikah lebih cepat. Mendengar hal itu, Santi yang memang menginginkan Bagus untuk cepat menikah langsung ambil suara. “Lhooo… kenapa gitu tho Gus? Kalo dari awal kamu sudah berani meminang itu artinya kan kamu memang sudah berniat serius. Ya mau tunggu apa lagi? Pengenalan itu kan bisa setelah menikah. Nih, kamu liat Bapak sama Ibu. Dulu waktu ibu menikah sama Bapakmujuga Ibu ndak kenal betul, tapi sampe sekarang kamu lihat kan Bapak sama ibu awet sampe sekarang,” kata Santi panjang lebar. “Udah Gus, dengerin aja kata Ibu kamu. Mungkin Ibu kamu sudah pengen nimang cucu.” Sontak perkataan Pak Parja membuat semua tertawa, kecuali Ayu dan Bagus yang tampak malu-malu. “Kalo saya selaku Bapaknya Ayu, dari pihak perempuan, sudah pasti juga merasa senang kalau pernikahan segera dilaksanakan. Tapi untuk waktu pastinya kapan, semua saya serahkan kepada keluarga Mas Bagus, monggo… (silahkan),” kata Sanjoko sambil mengacungkan ibu jarinya ke arah Pak Parja. “Tapi sebelumnya saya memohon maaf, di hari pernikahan nanti mungkin saya ndak bisa memberikan perayaan seperti orang-orang pada umumnya. Yaa… Pak Parja tau bagaimana kehofupan ekonomi keluarga kami.” “Oh, itu ndak usah dipikirin Pak Sanjoko. Buat kami, namanya pernikahan itu kan yang penting sah, sakral, dan kehidupan nanti setelah sah menjadi suami istri. Pesta pernikahan itu kan bonus, selagi ada rezeki lebih. Untuk masalah itu, InsyaAllah kita bicarakan bersama nanti,” kata Pak Parja bijaksana. Biasanya untuk pesta pernikahan biasanya diselenggarakan di rumah mempelai wanita, dari acara ijab kabul hingga acara resepsi atau upacara adat. Tapi dari pihak laki-laki pun turut membantu biaya yang dikeluarkan untuk pesta atau sesuai kesepakatan bersama. Setelah berunding cukup lama, akhirnya kedua belah pihak, terutama dari pihak orangtua memutuskan bahwa pernikahan Ayu dan Bagus akan dilangsungkan sekitar dia bulan lagi, waktu yang tidak terlalu singkat tapi juga tidak terlalu lama. Mengingat banyak hal yang harus dipersiapkan karena banyak tamu yang akan diundang, terutama dari pihak keluarga Bagus. Ayu pun tidak bisa berbuat apa-apa. Ia berusaha menerima keputusan itu. Ia tetap berharap kehidupan rumah tangganya kelak akan diberikan kebahagiaan dan saling menyayangi satu sama lain.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN