“Udah lama banget ya Yu kita ngga jalan-jalan keluar sore-sore gini,” kata Dian sambil melihat-lihat ke sekeliling dan menikmati udara segar “Coba kalo ada Ratna juga, pasti seru.”
“Iya Dian… untung hari ini cuacanya cerah. Oh ya, Ratna apa kabar? Kamu udah hubungin dia?”
“Aku udah telfon Ratna kemarin. Ak udah ceritain juga soal kamu. Dia bilang kalo kamu menikah, dia pasti bakal dateng. Ratna udah ndak marah kok sama kamu. Dia……”
“Yang bener Dian? Ratna udah ndak marah sama aku??” tanya Ayu yang tiba-tiba saja memotong perkataan Dian. Ayu terlihat senang mendengar perkataan Dian.
“Dengerin dulu atuh…” kata Dian sewot.
“Iya, iya… maaf Dian. Habis aku seneng banget dengernya,” kata Ayu sambil tertawa dan menutup mulutnya dengan telapak tangan.
“Iya… dia bilang udah ngga marah sama kamu. Dia udah lupain semuanya. Mmm… tau ngga? Ratna lagi deket sama cowok,”
“Wah… siapa, siapa??” tanya Ayu yang begitu penasaran. Ayu langsung membayangkan pemuda kota yang gagah, ganteng dan wangi. Tiba-tiba saja pikirannya langsung tertuju pada anak pemilik perkebunan. Ih, tapi dia mah begajulan…, batin Ayu sambil bergidik. Coba kalo baik, sholeh, pasti idaman banget, lanjutnya
“Jadi Ratna akhirnya terima tawaran perusahaan yang waktu itu jadi tempat kerja praktek Ratna. Nah, diem-diem tuh ada yang suka sama Ratna sejak Ratna pertama kali dateng, namanya Danis. Danis tuh seneng banget waktu Ratna balik lagi ke kantor itu. Ga pake lama, langsung deh Danis deketin Ratna dari pada Ratna nya ilang lagi,” kata Dian sambil tertawa. “Itu juga kata Ratna, Danis yang ngaku sendiri sama Ratna.”
“Alhamdulillah… wahhh, kalo dari namanya sih kayaknya orangnya baik, lembut…”
“Entahlah…”
Ayu menoleh ke arah Haikal yang sedari tadi bermain bersama Pandu, adik Ratna yang usianya empat tahun lebih tua dari pada Haikal.
“Astaga, Haikal…” pekik Ayu sembari menghampiri Haikal, diikuti Dian di belakangnya.
Karena terlalu asyik mengobrol, Ayu tidak memperhatikan kalo Haikal turun ke sungai kecil di samping pematang sawah hingga celana panjangnya basah.
“Ayo naik!” kata Ayu menaikkan nada bicaranya. Kamu ngapain sih mainan air? Kamu kan udah mandi.”
“Tadi mainan Haikal jatuh Mba, makanya Haikal ambil,” kata Haikal beralasan.
“Pandu kenapa ngga bilangin Haikal?” tanya Dian pada adiknya itu.
“Pandu udah bilang Mba suruh jangan mainan air, tapi kaya Haikal ngga papa,” jawab Pandu.
“Ya udah kita pulang aja Yu,” ajak Dian. Ayu mengangguk sambil menepuk-nepuk celana Haikal yang kotor karena duduk di tanah.
“Maapin Haikal Mba…” ucap Haikal polos. Ia takut Ayu akan marah padanya.
“Iyaaa, Mba maafin,” ucap Ayu sambil tertawa. Mana mungkin Ayu akan marah jika Haikal sudah menunjukkan kepolosan dan wajah memelasnya.
Mereka pun berjalan pulang menyusuri jalanan tanah di pinggir sungai hingga sampailah mereka di ujung jalan yang berbatasan dengan perkebunan teh. Suasana terlihat ramai, tidak seperti biasanya. Banyak ibu-ibu yang mengajak anak balitanya berjalan-jalan santai di sekitar rumah sambil menyuapi mereka. Haikal berlarian ke sana ke mari sambil terus memegangi mainan truk nya. Ia terlihat senang melihat banyak anak-anak seusianya yang sedang bermain. Sesekali ia mendekat ke arah mereka dan terlihat berbicara sesuatu.
Sementara Ayu dan Dian berjalan santai sambil mengobrol dan mengawasi adik-adik mereka. Hingga pandangan Ayu dan Dian tertuju pada empat santri yang tengah duduk-duduk santai di samping pangkalan ojek. Memang tidak ada yang aneh, Ayu dan Dian pun sering melihat santriwan atau santriwati keluar dari pesantren untuk membeli sesuatu atau sekedar jalan-jalan santai di sekitar perkebunan. Yang membuat Ayu heran, salah satu diantaranya terlihat sedang asyik menghisap rokok dan mengepulkan asapnya ke atas. Padahal Ayu tahu betul aturan di pesantren bahwa santri dilarang merokok, apalagi mereka masih di sekitar pesantren. Namun berbeda dengan apa yang dipikirkan Ratna.
“Eh, Yu,Yu… liat deh?” kata Dian sambil menyenggol tangan Ayu dengan sikunya.
“Apa?” tanya Ayu tanpa mengalihkan pendangannya dari empat santri itu.
“Ituuu…” Ratna menunjuk empat santri yang duduk di sebuah kursi bambu dengan sorot matanya.
Sekilas Ayu menoleh ke arah Ratna, rupanya sedari tadi mereka melihat ke arah yang sama. “Iya, aku udah liat.”
“Waaahhh… ganteng banget Yu!“ celetuk Ratna.
“Haah?? Kamu liat dong, tuh ada yang ngerokok,” kata Ayu dengan menunjukkan nada tidak suka. Di kampungnya, pemuda yang merokok itu juga terkesan pemuda yang nakal, apalagi mereka yang masih bergantung dengan orangtua.
“Iya siihhh… aku kok ndak pernah liat ya? Dia santri baru?”
Ayu mengangkat kedua bahunya. “Kemarin aku juga pernah liat. Kayaknya dia yang anak pemilik perkebunan itu.”
“Waaahh… keren banget Yu. Udah ganteng, masuk pesantren, kaya lagi…” kata Ratna yang terlihat semakin mengagumi pemuda yang tengah merokok itu.
“Yeee… kamu tau ngga kenapa dia masuk pesantren? Bukan karna dia yang pengen belajar agama. Tapi dia tuh dipaksa masuk pesantren sama Bapaknya karna bandel. Tuh, udah keliatan kan?” kata Ayu seolah membenarkan perkataannya.
“Oohh… coba kalo ndak bandel, pasti banyak yang suka,” bisik Ratna karena mereka sudah hampir melewati santri-santri itu.
“Halah, kamu liat dia ngerokok aja naksir “ kata Ayu mengejek Dian. Mereka melangkah santai dan terus memandang ke arah jalanan, seolah tidak perduli dan memperhatikan dengan santri-santri itu.
Melihat ada gadis-gadis yang lewat, Rangga segera membuang batang rokoknya ke tanah lalu menginjaknya agar bara nya padam. Ia masih ingat betul wajah gadis yang lewat di depannya itu. Ia adalah penjual s**u keliling yang pernah dilihatnya saat itu. Sejak ia melihatnya beberapa hari yang lalu, entah kenapa Rangga selalu terbayang wajahnya setiap ia hendak memajamkan matanya di malam hari. Padahal dilihat dari fisiknya, gadis itu sama sekali bukan tipe Rangga, tapi jujur ia mengagumi gadis itu karena keramahan dan kerja kerasnya. Rangga tak menyangka bisa melihatnya lagi untuk kedua kali. Sekarang Rangga pun tahu, gadis itu tinggal di sekitar perkebunan miliknya.
Tepat di saat itu Haikal yang sudah berlarian mendahului Ayu dan Dian, berbalik dan berlari mendekati Ayu sambil berteriak kegirangan. Ia menghambur dan menjatuhkan tubuhnya ke pelukan Ayu, lalu kembali berlari menghampiri Pandu.
“Itu anaknya Mba?” Melihat pemandangan itu tepat di depan matanya, tiba-tiba saja Rangga reflek bertanya. Ayu yang merasa pertanyaan itu ditujukkan untuk dirinya terlihat risih karena merasa tidak mengenal pemuda itu. Ayu pun dengan cueknya tetap berjalan tanpa memperdulikan pertanyaan Rangga. Sementara Dian tak bisa menahan tawanya. Ia menoleh ke arah Rangga, lalu menyusul Ayu yang mempercepat langkahnya.
“Ngga boleh gitu kamu Ngga. Kalo ngga kenal tanya-tanya begitu itu namanya ngga sopan,” kata Roni mengingatkan.
“Oh, sorry deh gue ngga tau. Lo waktu itu beli s**u sama dia kan?”
“Iya… cuma jarang lewat depan pesantren,” kata Roni yang hobby minum s**u.
“Ooohhh… pantesan.”
“Jadi dari kemarin kamu nungguin mau beli s**u?” tanya Roni.
“Oh, engga, engga!” jawab Rangga cepat sambil menunjukan kedua telapak tanggannya.
“Aku tau nih, pasti kamu naksir ya sama Ayu…?” goda Miftah.
Ranggga hanya cengengesan, tak menjawab pertanyaan Miftah. Oh, jadi namanya Ayu? Emang menarik sih… tapi sayang cuma gadis desa. Apa kata temen-temen gue nanti?, batin Rangga.
“Anak kecil itu kayaknya adeknya deh. Setauku sih Ayu belum nikah. Aku pernah denger waktu si Anya ngobrol sama dia,” kata Miftah lagi. Anya memang gadis yang aktif dan cerewet. Ia selalu menanyakan apa pun, termasuk masalah pribadi seseorang, termasuk Ayu, saat ia membeli s**u pada Ayu di depan pesantren.
Rangga kembali menoleh ke arah Ayu yang sudah jauh dan terus menatapnya sampai ia menghilang di pertigaan.