“Nah, kebetulan nih kamu dateng pagi. Sini, sini…” kata Babeh Rojali yang sedang menata botol-botol susunya di atas meja, dibantu oleh Mang Aceng, pegawainya yang berasal dari sunda.
“Kenapa Beh? Tumben Babeh sediain banyak banget?” tanya Ayu sambil melihat banyak botol s**u di atas meja, tidak seperti biasanya.
“Nih, kemarin Bu Nyai pesan empat puluh botol s**u buat santri-santri di pesantrennya. Kamu anterin ya ke sana.”
“Hah? Yang bener Beh? Empat puluh botol Beh? Alhamdulillaaahh… makasih ya Beh,” ucap Ayu sambil mencium tangan Babeh Rojali. Kalau ia mengantar empat puluh botol s**u, bisa dihitung berapa banyak keuntungan yang akan didapatkan. Ia bisa menabung lebih banyak untuk hari ini.
“Iya, iya… ya udah sana. Yang penting kamu ati-ati bawanya, jangan sampe kaya kemarin lagi,” pesan Babeh Rojali. “Kalau susah, kamu bisa anter dulu setengahnya, baru kamu balik lagi.”
“Bereees Behhh…” jawab Ayu sambil mengacungkan kedua ibu jarinya.
Setelah menata botol-botol susunya, Ayu pun mulai mengayuh sepedanya menuju perkampungan. Ia mengantarkan s**u-s**u itu dulu ke tempat beberapa pelanggannya, setelah itu ia baru akan ke pesantren mengantarkan sebagian pesanan Pak Kyai dan akan kembali kembali lagi intik mengantarkan sisa pesanannya.
Sepenjang jalan Ayu terus mengumbar senyumnya. Walaupun penjualan hasil berjualan s**u tak banyak, tapi ia tetap bersyukur. Paling tidak ia masih bisa membantu kedua orangtuanya dan membelikan sesuatu untuk kedua adiknya.
***
Setelah mengantar s**u ke beberapa pelanggannya, akhirnya sampailah ia di depan gerbang pesantren. Dari luar terlihat begitu sepi, hanya terdengar suara beberapa santri yang tengah mengaji dan ustadzah yang tengah mengajar di dalam ruang kelas. Ayu mengetuk-ngetukkan gembok yang terpasang di pengait pintunya dengan pintu gerbang yang terbuat dari besi sehingga menimbulkan bunyi yang keras karena di luar gerbang tidak ada tombol bel. Walaupun tidak dikunci, tapi Ayu tidak ingin masuk sembarangan tanpa permisi. Menurutnya itu tidak sopan.
“Assalamualaikum…” Ayu mengucapkan salam sambil menengok ke kanan dan ke kiri mencari sesorang.
Tak berapa lama penjaga pesantren yang usianya sudah lanjut tergopoh-gopoh menuju gerbang.
“Waalaikumsalam…”
“Maaf Pak, ini mau antar s**u pesanan Bu Nyai…” kata Ayu setelah Bapak penjaga pesantren membukakan pintu gerbang.
“Oh, iya Neng, silahkan masuk aja…” ucap Bapak penjaga pesantren yang sepertinya sudah diberi tahu Bu Nyai.
Ayu kembali menuju sepeda dan menuntunnya masuk ke dalam gerbang pesantren.
“Tadi Bu Nyai pesan, langsung dibawa ke dalam aja. Sini biar Bapak bantu.”
“Oh, iya Pak…”
Ayu melangkahkan kakinya masuk ke dalam pesantren melalui lorong-lorong kelas mengikuti langkah Bapak tua itu. Ini adalah kali pertama Ayu melangkahkan kakinya masuk ke dalam pesantren. Biasanya Bu Nyai selalu menyuruh seseorang untuk mengambilnya sendiri di tempat Babeh Rojali. Tapi kata Babeh Rojali, orang yang biasa disuruh mengambil s**u sedang sakit dan memilih pulang ke kampung halamannya di Cilacap.
“Nah, taruh di sini aja Neng…” ucap Bapak itu sambil meletakkan keranjang anyaman berisi botol-botol s**u yang dibawanya di atas meja berukuran besar di samping dapur.
“Oh, iya Pak…”
Ayu mengeluarkan botol-botol s**u itu dari dalam tanya anyaman. Karena tas itu akan dipakai lagi untuk mengambil kekurangannya.
“Ini baru dua puluh lima botol ya Pak. Saya akan ambil lagi kekurangannya.”
“Oh iya Neng. Nanti langsung masuk aja ke sini. Ini uangnya, tadi udah dititipin sala Bu Nyai. Sekarang beliaunya lagi keluar,” kata Baoak itu sambil memberikan uang yang dimasukkan ke dalam amplop berwarna putih. “Diitung dulu Neng.”
“Oh, iya Pak, makasih banyak...”
Ayu kembali keluar dari pesantren melalui jalan lorong yang tadi dilaluinya. Di depan sebuah ruangan yang sepertinya sebuah mushola berukuran kecil, Ayu melihat sosok Rangga tengah duduk bersila sambil memegang Al-Qur’an. Terdengar lirih lantunan ayat suci keluar dari mulutnya. Ia melambatkan langkah kakinya agar bisa melihat pria itu lebih lama. Sosoknya seolah membius hingga Ayu tak bisa mengalihkan pandangannya. Entah kenapa tiba-tiba kedua ujung bibirnya tertarik ke samping dan membuat senyuman denhan sendirinyabtanpa diminta.
“Astaghfirullah…” cepat-cepat ia mengalihkan pandangan dan mempercepat langkah kakinya.
***
Sejak Rangga menolong Ayu saat jatuh dari sepeda beberapa waktu yang lalu, kini mereka mulai saling bertegur sapa. Bahkan beberapa kali mereka sempat mengobrol saat tak sengaja bertemu di tengah jalan. Ayu merasa sangat berhutang budi pada Rangga. Keesokan hari setelah jatuh dari sepeda saat itu, Rangga benar-benar memenuhi janjinya, ia mengantarkan sepeda Ayu ke rumahnya. Sejak itulah Ayu merasa Rangga adalah laki-laki yang baik, tidak seperti apa yang ia dengar dari ayahnya. Kalaupun apa yang diceritakan Sanjoko mengenai kelakuan Rangga di Jakarta adalah benar, yang penting kini Rangga sudah benar-benar berubah. Beruntung Rangga mengantarkan sepeda Ayu saat kedua orangtuanya pergi bekerja di perkebunan, tepat seperti perkiraannya. Dan yang membuat Ayu merasa tidak enak, Rangga sudah memperbaiki sepedanya yang rusak di bengkel, bahkan roda sepedanya pun sudah diganti yang baru. Tak hanya itu, saat Ayu ke pengolahan s**u segar milik Babeh Rojali dan hendak mengganti semua botol-botol s**u yang pecah dari uang tabungannya, ternyata sudah ada yang datang menggantinya, seorang pemuda berpostur tinggi tegap dan berkulit putih dengan mengendarai sepeda motor suzuki GSX Bandit. Babeh Rojali pun tidak mengenalnya. Hingga akhirnya Ayu mengetahui bahwa Rangga lah yang telah mengganti semua kerugian Babeh Rojali yang disebabkan karena kecerobohannya.
Seperti sore itu, saat Ayu pergi ke warung Ci Weni untuk membeli telur ayam untuk makan malam, tak sengaja ia bertemu dengan Rangga yang baru pulang dari perkebunan dengan sepeda motornya. Setelah Rangga menunjukkan perubahannya, Gunawan, ayahnya sengaja memberikan sebagian tanggung jawabnya kepada Rangga untuk mengelola dan mengawasi perkebunan. Hal ini dimaksudkan agar Rangga belajar untuk lebih menghargai setiap perkerjaan, terutama menghargai uang. Karena selama ini Rangga sangat tidak bijaksana dalam membelanjakan uangnya.
Dari kejauhan, Ayu melihat sepeda motor tengah melaju ke arahnya. Ia sudah paham betul siapa yang sedang mengendarainya demgan melihat postur tubuhnya. Ya! Dia adalah Rangga. Laki-laki yang diam-diam mencuri perhatiannya. Sekuat apa pun Ayu menolaknya, tetap saja selalu ada bayangan Rangga yang melintas di pikirannya.
Ayu berjalan sedikit menunduk sambil memegang kantong plastik warna hitam berisi telur ayam yang baru dibelinya. Ayu berpura-pura tidak melihat Rangga yang akan melintas. Ia sedikit memperbaiki tampilan rambut panjangnya karena ia tidak ingin Rangga melihatnya berantakan.
Melihat Ayu yang berpapasan dengannya, Rangga pun menghentikan laju motornya tepat di depan Ayu.
“Ayu?” panggil Rangga sembari mematikan mesin motornya. “Habis dari mana?”
“Eh, Mas Rangga. Habis ke warung Ci Weni,” jawab Ayu.
“Yuk aku anter.”
“Eh, ngga usah,” jawab Ayu cepat. “Lagian udah deket kok,” kata Ayu beralasan.
“Kamu kenapa sih, ngga pernah ijinin aku main ke rumah kamu? Kamu udah punya pacar?” tanya Rangga to the point.
“Eeee… bukannya gitu Mas. A-aku, maksudnya aku ngga enak sama tetangga. Lagi pula aku ngga pernah bawa laki-laki ke rumah.”
“Ya udah kalo gitu. Kamu ati-ati ya… kalo kamu butuh bantuan, kamu bilang aja ngga usah sungkan. InsyaAllah aku bantu,” kata Rangga sambil tersenyum manis.
Ayu mengangguk sambil membalas senyum Rangga.
“Ya udah… aku balik ya…” kata Rangga sambil menyalakan mesin sepeda motornya. Yang mereka tidak tahu, ada sepasang bola mata yang sedari tadi memperhatikan mereka.
“Iya, makasih ya…”
Ayu kembali melangkahkan kakinya menuju ke rumah. Ia tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Hatinya terasa berbunga-bunga mendengar ucapan Rangga. Ia merasa Rangga begitu perhatian padanya.
***
“Ayu, duduk kamu!” kata Sanjoko dengan nada tinggi. Sudah sejak lima menit yang lalu Sanjoko dan Triningsih menunggu Ayu pulang dari warung. Mereka duduk di kursi ruang keluarga, sementara Kinanti dan Haikal sengaja Triningsih menyuruh mereka main di dalam kamar.
Ayu yang baru saja pulang merasa heran melihat wajah ayahnya yang terlihat marah karena ia merasa tidak melakukan kesalahan.
“Ini kenapa ya Pak?” tanya Ayu pelan. Ia pun menuruti perkataan Sanjoko dan duduk di kursi kayu yang ada samping televisi setelah meletakkan kantong plastik belanjaannya di atas meja.
“Kamu pikir Bapak ngga tau selama ini kamu dekat sama siapa?” tanya Sanjoko masih dengan nada tinggi. “Kamu inget Yu… kamu ini sudah dilamar sama anaknya Pak Parja. Seharusnya kamu bisa menjaga diri kamu. Ndak seharusnya kamu dekat dengan laki-laki lain, apalagi sampai berduaan. Ya Allah! Bapak kecewa sama kamu Yu!” Sanjoko terlihat tak bisa membendung kemarahannya.
“Istighfar Pak…” kata Triningsih mengingatkan. Ia merasa takut karena selama menikah dengan Sanjoko, baru kali ini Triningsih melihat Sanjoko semarah itu. Sementara Ayu hanya diam dan tertunduk. Apa yang dituduhkan Sanjoko memang benar adanya.
“Astaghfirullah…” Sanjoko menarik napasnya panjang dan menghembuskannya perlahan untuk sedikit meredam emosinya.
Setelah terdiam beberapa saat, Sanjoko kembali melanjutkan bicaranya. “Bqpak minta tolong Yu… kamu jangan buat Bapak malu. Bagaimana kalau keluarga Nak Bagus tau? Atau ada yang melihat kamu dekat dengan anaknya Pak Gunawan? Mau ditaruh di mana muka Bapak? Kamu harus inget pesen Bapak. Jangan sekali-sekali kamu mempermainkan perasaan laki-laki. Kamu sudah menerima lamaran Nak Bagus. Itu artinya kamu hanya boleh dekat dengan Nak Bagus. Kamu ngerti kan maksud Bapak?”
“Ayu ngerti Pak…” jawab Ayu pelan. Ia tak mampu membendung air matanya. Ayu menyadari apa yang dilakukannya selama ini adalah salah.
Kekhawatiran muncul dalam diri Sanjoko. Ia takut putrinya akan tergoda dengan anak juragannya yang bernama Rangga, ia takut Ayu lebih memilih Rangga daripada Bagus, yang jelas-jelas sudah meminangnya. Mau ditaruh dimana muka Sanjoko jika Ayu tiba-tiba memutuskan lamaran Bagus. Jujur dalam diri Sanjoko masih ada trauma mendalam ketika mantan istrinya meninggalkan mereka dan memilih menikah dengan orang kota yang kehidupannya lebih mapan darinya.
Mang Irsan lah yang mengadukan kedekatan Ayu dan Rangga kepada Sanjoko. Sudah beberapa kali ia melihat mereka mengobrol begitu intim layaknya dua insan yang saling tertarik satu sama lain. Bahkan saat itu Mang Irsan sempat menangkap basah Ayu yang menatap Rangga begitu lama, padahal Rangga sudah pergi menjauh.
“Mulai detik ini Bapak ngga mau liat kamu dekat dengan Nak Rangga. Walaupun Bapak kerja dengan ayahnya, bukan berarti Bapak mengizinkan kamu dekat dengan putranya. Kamu harus menyadari, kita ini orang ndak punya. Kita itu ndak ada apa-apanya dibandingkan dengan keluarga Pak Gunawan. Kalaupun kamu belum dilamar, belum tentu juga Bapak akan merestui kamu dengan Nak Rangga karena Bapak yakin Nak Rangga juga tidak serius dengan kamu. Satu hal lagi, kamu tau sendiri alasan kenapa Pak Gunawan memasukkan putranya ke Pesantren kan? Mencari suami itu yang akhlaknya baik, santun… ndak perlu Bapak jelaskan kamu pasti juga sudah tau…” kata Sanjoko panjang lebar.