18. Hati akan menemukan pemiliknya

1148 Kata
Hari pernikahan Ayu dan Bagus sudah semakin dekat. Beberapa persiapan pun sudah mulai dilakukan, termasuk mencetak undangan untuk para tamu. Awalnya Sanjoko memang menginginkan pernikahan yang sederhana dengan keterbatasan ekonomi yang dimilikinya. Tapi pada kenyataannya keluarga Pak Parja menginginkan sebuah pesta pernikahan yang terbaik karena ini adalah pernikahan pertama dan terakhir untuk keluarga Pak Parja. Untuk semua kebutuhan pernikahan, keluarga Bagus pun bersedia untuk menanggung semua biayanya. Ada pepatah yang mengatakan bahwa cinta memang tidak bisa dipaksakan. Ia tidak bisa datang dan pergi sesuka hati. Itulah yang sedang dirasakan Ayu. Bagaiamana pun usahanya untuk membuat Bagus menetap di hatinya, tetap saja Rangga lah yang selalu hadir di pikirannya. Disaat hari bahagianya sudah semakin dekat, bukannya semakin yakin, justru Ayu semakin dilanda kebimbangan. Tak bisa dibohongi, Ranggalah laki-laki pertama yang bisa mencuri hatinya. Ayu semakin tidak bisa mengendalikan perasaannya ketika dalam suatu kesempatan Rangga mengungkapkan perasaannya kepada Ayu melqlui sebuah surat yang dititipkan kepadanya. Mungkin ini adalah surat cinta pertama yang diterimanya. Dalam surat itu Rangga mengatakan ingin menjalin hubungan yang lebih serius dengannya. Ayu memang tidak mengatakan menerima atau menolak cinta Rangga, tapi dari bahasa tubuh yang ditunjukkan Ayu, Rangga tahu, Ayu juga menaruh hati padanya. Itulah yang membuat Rangga terus berusaha mendekati Ayu, dan tentu saja Ayu tidak kuasa untuk menolaknya. Ia pun menikmati setiap waktunya bersama Rangga hingga akhirnya kedekatan mereka tercium oleh keluarga Bagus. Betapa murkanya kedua orangtua Bagus ketika mengetahui hubungan Ayu dengan putra pemilik perkebunan itu. Mereka menganggap Ayu dan keluarganya mempermainkan lamaran mereka. “Kalian ini memang bener-bener ngga tau diri! Ngga tau trimakasih!” Ucap Santi ketika mereka mendatangi rumah Sanjoko malam itu untuk meminta penjelasan. “Selama ini aku kurang baik apa sama kamu Tri! Aku selalu bantu ekonomi keluarga kamu, selalu baik sama kamu! tapi apa balasan kamu sama anak kamu itu! Hah?!?” Santi benar-benar tidak bisa menahan dirinya, ia merasa terhina dengan sikap Ayu. Santi pun menyayangkan sikap Sanjoko dan Triningsih yang dianggap tidak bisa mendidik putrinya. Sanjoko tak bisa berkata apa-apa, posisi keluarganya memang salah dalam hal ini. Ia hanya bisa menangis dan menerima semua luapan kemarahan Santi. Sementara Ayu, ia tak ikut keluar menemui Bagus dan keluarganya. Triningsih lah yang meminta Ayu untuk menunggu di dalam kamar. Ia tidak ingin suasana semakin tidak terkendali, dan tentu saja Triningsih takut jika terjadinsesaitu yangbtidak diinginkan mengingat ia tahu betul Santi begitu emosional. Ia tahu, Sabti bisa melakukan apa pun jika ia sudah merasa dikecewakan. “Saya memohon maaf yang sebesar-besarnya atas semua yang sudah terjadi Pak, Bu, juga Mas Bagus. Apa pun keputusan yang akan Bapak, Ibu, dan Mas Bagus ambil, kami akan berusaha menerima. Kami tahu kami lah yang salah ” Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Sanjoko. Ia tertunduk dan tak berani menatap wajah mereka. Rasanya Sanjoko begitu malu atas sikap putrinya. Ayu yang selama ini begitu penurut, begitu ramah, membantah pun ia tidak pernah, tapi kini justru melakukan kesalahan yang begitu fatal. “Ngga sudi rasanya aku punya menantu kaya anak kamu itu! Dasar w************n!” Astaghfirullah, batin Triningsih Sambil mengelus dadanya. Ia tak bisa membendung tangisnya. Kenapa jadi seperti ini ya Allah! jerit Triningsih dalam hati. Walaupun ia tahu Ayu yang salah, Ayu yang telah menyakiti perasaan mereka, tapi sakit rasanya mendengar putri tirinya itu dikata-katai seperti itu. Triningsih percaya dan yakin, ada alasan kuat kenapa Ayu sampai memilih membatalkan lamaran Bagus. Kembali lagi, jodoh sudah ada yang mengatur. Kalaupun mereka tidak jadi menikah, mungkin mereka tidak berjodoh. “Udah Bu, udah… istighfar,” ucap Bagus berusaha meredakan kemarahan ibunya. “Terus terang aja, kami begitu kecewa dengan keluarga Pak Sanjoko. Seharusnya dari awal kalo memang Ayu tidak menghendaki lamaran kami seharusnya Pak Sanjoko mengatakan dari awal. Pak Sanjoko tau, berapa banyak yang sudah saya keluarkan untuk biaya persiapan pernikahan,” pak Parja mulai bicara. Beliau terlihat lebih bijaksana dalam menyampaikan, namun sangat terlihat Pak Parja berusaha menahan amarahnya. “Tanpa saya perlu bertanya dan bicara panjang lebar, jika sudah terjadi seperti ini, tentu saja hubungan pertunangan sudah tidak bisa dilanjutkan,” lanjutnya. “Iya Pak… saya mohon maaf sekali lagi,” ucap Sanjoko lirih. Ia menyerahkan cincin yang sudah diberikan Bagus kepada Ayu saat melamarnya. Seolah keluarga Ayu memang sudah memutuskan pertunangan sebelum mereka datang. Tentu saja hal itu semakin memancing kemarahan Santi. “Bener-bener kalian ini!” pekik Santi. Pak Parja memegang tangan Santi, memberinya kode untuk diam karena pak Parja tahu apa yang harus ia lakukan. “Gini aja Pak Sanjoko, biar semua sama-sama enak, tidak ada yang dirugikan dalam hal ini. Saya kasih waktu Pak Sanjoko untuk melunasi hutang-hutang Pak Sanjoko. Dengan begitu sudah tidak ada urusan lagi diantara keluarga kita,” kata Pak Parja tegas. “Ba-baik Pak. InsyaAllah saya akan melunasi hutang-hutang keluarga kami secepat mungkin,” jawab Sanjoko. *** Sanjoko duduk kembali di sofa ruang tamu setelah kepulangan Bagus dan kedua orangtuanya. Ia menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. Air mata yang sedari tadi ia bendung sudah tidak bisa ditahan lagi. Air mata itu tumpah seketika. Hatinya terasa begitu sakit. Ia pun bisa merasakan apa yang keluarga Bagus rasakan. Marah, kecewa, malu, takut, semua bercampur menjadi satu hingga tak ada lagi yang sanggup ia katakan pada Ayu. “Sudah ya Pak… jangan terlalu dipikirkan, nanti Bapak sakit, toh semua sudah terjadi” kata Triningsih yang ikut duduk di samping Sanjoko. “Tidak dipikirkan bagaimana Bu... Ayu itu sudah mengancurkan nama baik keluarga. Apa kata tetangga nanti? Belum lagi mau kemana kita cari uang untuk melunasi hutang-hutang kita sama Pak Parja. Ibu tau kan berapa hutang kita? Ya Allah… Ayu, Ayuu… Bapak ngga nyangka kamu seperti ini…” “Istighfar Pak… Ayu juga tidak sepenuhnya salah. Ibu tau Ayu sudah berusaha untuk memberikan yang terbaik, tapi memang yang seperti itu ndak bisa dipaksakan. Dari pada nanti terlanjur menikah? Memang Bapak mau lihat Ayu ndak bahagia? Kalaupun Bapak saat itu menolak lamaran keluarga Pak Parja, menurut Ibu akan sama saja pada akhirnya. Keluarga Pak Parja akan tetap merasa sakit hati atas penolakan itu. Lagi pula Ayu sudah menjelaskan semuanya kan Pak?” “Setidaknya kalau Ayu menyukai pemuda lain, Ayu bicara jujur Bu… pasti kejadiannya ndak akan separah ini.” “Iya Pak…” Triningsih mengusap air mata yang jatuh di pipinya. Kini, tak hanya hubungan Ayu dan Rangga yang berakhir, tapi juga hubungan baik antara Triningsih dan Santi. Melihat kemarahan Santi, sudh pasti ia tidak akan mau menemui Triningsih lagi. Sementara di dalam kamarnya, Ayu hanya bisa menangis. Ia merasa menjadi seorang tertuduh. Dialah yang menyebabkan semua ini terjadi. Sebenarnya tidak ada maksud sedikit pun untuk menyakiti kedua orangtuanya, apalagi Bagus. Tapi semua itu terjadi begitu saja. Ia pun takut jika memaksakan semuanya justru akan lebih menyakiti hati Bagus. Ayu memandang kebaya putih yang tergantung di sudut kamarnya. Kebaya yang rencananya akan dipakai saat hari pernikahannya nanti. Kini semua itu hanya kenangan. Entah kapan ia akan benar-benar mengenakannya. Tapi Ayu yakin, hati akan selalu menemukan pemiliknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN