Pagi itu Sanjoko memutuskan untuk pergi ke Purwokerto menemui Laksmi, Bude dari Indri yang tiggal di Purwokerto. Ia berniat untuk menanyakan keberadaan Indri sekaligus meminta dia restu karena sebentar lagi Ayu akan menikah. Bagaimana pun juga Ayu masih ada hubungan darah dengan keluarga Indri di Purwokerto. Sanjoko berharap Laksmi mengetahui keberadaan Indri karena hanya beliaulah satu-satunya keluarga Indri yang bisa Sanjoko andalkan.
Sanjoko sengaja pergi ke Purwokerto hari Minggu pagi di saat Ayu berkeliling menjajakan s**u segar sehingga tidak meimbulkan banyak pertanyaan dari Ayu. Kebetulan setiap hari Minggu Sanjoko dan Triningsih libur bekerja di perkebunan.
Pagi itu Sanjoko minta diantar oleh Mang Irsan, tukang ojek langganannya yang kebetulan adalah tetangganya yang tak jauh dari rumah. Mereka sudah lama mengenal, hubungan mereka pun cukup dekat sehingga harga yang sepakati pun sangat jauh di bawah harga tukang ojek pada umumnya.
“Udah, ngga papa… kalo sama Mas Joko mah ganti biaya bensin aja udah,” jawab Mang Irsan ketika Sanjoko menanyakan harga ojek menuju Purwokerto.
Setelah dua jam perjalanan, akhirnya Sanjoko dan Irsan sampai di Purwokerto. Sudah bertahun-tahun lalu terakhir kalinya Sanjoko datang ke Purwokerto menemui Laksmi. Bahkan alamat rumahnya pun Sanjoko sedikit lupa. Ia harus mengingat-ingat lagi karena sudah banyak sekali bangunan yang berubah, jalan-jalannya pun banyak yang dilebarkan, membuat Sanjoko bingung. Apalagi lama tinggal di desa dan tidak pernah bepergian membuat Sanjoko kurang berpengalaman.
“Aduh… ini arahnya ke mana ya San,” tanya Sanjoko setelah sampai di pertigaan kedua setelah memasuki kota purwokerto.
“Mas joko bener-bener ndak tau nama desanya apa?” Irsan menghentikan laju sepeda motornya di pinggir jalan.
“Ngga tau San. Dulu aku cuma tau arah-arahnya aja. Dulu nih di sini ada toko kelontong, nah ngambil jalannya itu yang deket toko. Kok sekarang udah ndak ada ya,” kata Sanjoko sambil menengok ke kanan dan ke kiri.
“Ya udah kita coba ambil kiri aja ya Mas… siapa tau Mas Joko jadi inget.”
“Yo wes lah terserah kamu aja (Ya udah lah terserah kamu aja).”
Irsan kembali memacu sepeda motornya hingga sampailah mereka di sebuah lapangan yang di sampingnya terdapat kandang kerbau.
“Iya bener ini San… kalo ngga salah nanti ada gang pertama belok kiri. Nah, trus rumahnya itu yang paling ujung,” kata Sanjoko begitu bersemangat.
Beberapa menit kemudian akhirnya mereka berhenti di sebuah rumah sederhana berpagar coklat. Tidak ada yang berubah dari rumah itu sejak terakhir kali Sanjoko datang ke sana, hanya ada tambahan kolam ikan kecil di sisi kanannya. Rumah itu terlihat sepi dan tidak terawat. Sanjoko terlihat ragu. Apa keluarga budhe Laksmi sudah pindah?, batin Sanjoko. Belum juga Sanjoko melangkahkan kakinya masuk ke halaman rumah, tiba-tiba seorang Ibu-ibu muda dengan menggondong balitanya menghampiri Sanjoko.
“Maaf Pak… mau cari siapa ya?” tanya ibu muda itu karena sedari tadi Sanjoko memandangi rumah Mba Irma.
“Oh, ini Mba, mau ketemu Bu Laksmi,” kata Sanjoko ramah.
“Kalo Bu Laksminya sudah lama meninggal Pak…”
“Innalilahi wainailaihi rojiun…”
“Mmm, mungkin sudah sekitar empat tahun yang lalu. Kalo anaknya, Mba Irma sekarang hijrah ke Jakarta. Pernah dua atau tiga kali pulang ke sini tapi ngga lama balik lagi ke Jakarta,” cerita ibu muda itu.
“Oh, begitu Mba. Ya udah Mba kalo gitu. Makasih banyak informasinya…”
“Iya, sama-sama Pak…”
Sanjoko pun akhirnya nekat datang ke rumah Fatma, kakak perempuan Indri. Rumahnya tidak jauh dari rumah Laksmi, hanya sekitar sepuluh menit. Di sanalah Indri tinggal sebelum ia menikah dengan Sanjoko. Indri ikut tinggal bersama kakaknya sejak usianya menginjak delapan belas tahun, setelah kematian kedua orangtuanya. Namun Indri hanya tinggal di sana selama tiga tahun karena selang tiga tahun, Sanjoko menikahinya.
Sanjoko benar-benar nekat mendatangi rumah Fatma, padahal sudah dua kali ia pergi ke sana untuk menanyakan keberadaan Indri, tapi selalu saja Fatma mengusir dan tidak mau menerima kehadirannya.
Tiba-tiba saja Sanjoko dikejutkan dengan sebuah bangunan rumah yang cukup mewah. Walaupun tidak terlalu besar, tapi dari desainnya terlihat modern. Sangat jauh berbeda ketika Sanjoko terkahir kali menginjakkan kakinya di sana. Padahal Sanjoko tahu, suami Fatma dulunya hanya seorang buruh serabutan yang penghasilannya tidak menentu. Mungkin sekarang mereka sudah mendapat pekerjaan yang lebih baik atau memiliki usaha yang sukses, pikir Sanjoko. Apalagi mereka sudah bertahun-tahun lamanya tidak bertemu.
Sanjoko memberanikan diri untuk menekan bel rumah yang terpasang di salah satu sisi pagar. Dulu, Fatma lah orang yang paling mendukung Indri untuk berpisah dengan Sanjoko dan menikah dengan pria kota kaya raya itu. Ia sama sekali tidak memikirkan nasib dan masa depan Ayu, keponakannya sendiri. Sanjoko berharap, kini Fatma sudah berubah dan mau menerima Ayu sebagai bagian dari keluarga.
Tak berapa lama seorang gadis yang mengenakan tanktop dan celana pendek membukakan pintu pagar.
“Assalamualaikum…”
“Waalaikumsalam… mau cari siapa ya?” tanya gadis itu menyelidik.
“Maaf Mba, betul ini rumah Mba Fatma?” tanya Sanjoko. Gadis itu mengangguk.
“Mba Fatma nya ada?”
“Ada… sebentar ya.” Gadis itu memandangi Sanjoko dari ujung rambut sampai ujung kaki sebelum berbalik masuk ke dalam rumah.
Sanjoko lega, ternyata benar itu rumah Fatma karena ia sempat berpikir kalau rumah itu sudah ditempati orang lain karena seorang gadis yang membukakan pintu. Selama ini yang Sanjoko tahu, Fatma hanya memiliki dua orang anak laki-laki yang usianya di atas Ayu. Mungkin Mba Fatma memiliki anak lagi setelah ia berpisah dengan Indri, batin Sanjoko.
“Siapa ya?” tanya Fatma yang sudah berada di belakang Sanjoko. Reflek Sanjoko langsung membalik tubuhnya.
“Eh, Assalamualaikum, apa kabarnya Mba?” tanya Sanjoko.
Fatma terlihat mengerutkan keningnya. “Waalaikumsalam…” jawabnya ragu-ragu. “Sanjoko??” tanya Fatma setelah ia mulai mengenali pria paruh baya yang berdiri di depannya.
“Iya betul, Mba…”
Fatma terdiam beberapa saat hingga akhirnya mengizinkan Sanjoko masuk walaupun hanya di teras rumahnya.
“Mau ngapain lagi kamu ke sini?” tanya Fatma yang nada bicaranya sudah jauh lebih melunak dibandingkan dulu, walaupun masih terlihat kalau Fatma tidak begitu suka dengan kedatangan Sanjoko.
“Maaf sebelumnya Mba kalo kedatangan saya mengganggu. Tadi saya ke rumah Budhe Laksmi, dan saya baru tahu kalo Budhe Laksmi sudah meninggal.” Sanjoko menjeda bicaranya. “Kedatangan saya ke sini, saya cuma mau mengabarkan dan meminta doa restu kalo sebentar lagi Ayu akan menikah. Sekaligus saya ingin meminta tolong sama Mba Fatma. Saya minta tolong untuk memberitahukan hal ini pada Indri, ibu Ayu. Saya mohooon… sekali Mba untuk kemurahan hati Mba Fatma. Saya sangat mengharapkan kehadiran Indri di hari pernikahan Ayu. Ayu pasti akan sangat senang,” kata Sanjoko begitu berharap. Walaupun Ayu tidak pernah mengatakan keinginanya untuk bertemu dengan ibu kandungnya, tapi dengan Ayu masih menyimpan foto keluarga itu, Sanjoko sudah bisa memahaminya.
“Aku ngga bisa janjiin apa-apa ke kamu. Itu semua terserah Indri. Kamu tau sendiri selama ini Indri ngga mau nemuin kamu. Kalo memang Indri mau, pasti dia udah dateng ke rumah kamu nemuin Ayu.”
“Iya Mba saya tahu… tapi saya minta tolong bilang sama Indri. Sekaliii ini saja saya minta Indri datang menemui Ayu di hari pernikahannya. Setelah itu terserah Indri kalo memang tidak menghendaki bertemu dengan Ayu lagi,” pinta Sanjoko.
“Iya nanti aku sampein ke Indri. Tapi kamu ngga usah berharap banyak,” jawab Fatma sedikit ketus.