Malam itu Ayu merasakan kakinya semakin sakit, tak hanya luka, tapi juga memar di daerah lutut sebelah kanan. Saat jatuh dari sepeda pagi tadi, kakinya terbentur aspal cukup keras. Ia baru menyadari lukanya saat sudah sampai di rumah dan hendak berganti pakaian.
Tiba-tiba pintu dibuka dari luar didahului dengan suara pintu.
“Kamu udah selesai sholatnya Nduk?” tanya Triningsih yang mengintip dari celah pintu yang dibuka.
“Udah kok Bu…” jawab Ayu sambil meletakkan mukena dan sajadah yang baru saja dilipatnya ke sandaran kursi. Ia mendekat ke tempat tidur dengan jalannya yang pincang, lalu duduk di tepinya.
“Udah kamu obatin lagi lukanya?”
“Udah Bu, baru aja…”
“Lain kali kamu lebih hati-hati ya… Duuhh, Ibu ngga bisa ngebayangin gimana sakitnya sampe memar gitu luka kamu. Untung aja ada yang nolongin,” kata Triningsih sambil bergidik ngeri.
“Luka sakitnya sih ngga seberapa Bu… tapi, malunya ituuu…” Ayu menutup wajahnya dengan kedua telepak tangan mengingat kejadian pagi tadi. Apalagi saat itu rok pendeknya sedikit tersingkap ke atas. Semoga saja mereka ndak liat, batin Ayu.
“Iihhh, kamu malah mikirnya begitu. Di mana-mana namanya jatuh ya sakit. Lagian, memangnya kamu malu sama siapa?”
“Eh, endak Bu…” jawab Ayu sambil cengengesan.
Ayu memang sengaja tidak memberitahukan kepada Sanjoko dan Triningsih kalau sepedanya ia titipkan pada Rangga. Ayu tidak ingin orangtuanya salah paham dan bertanya macam-macam. Tanpa diingatkan pun Ayu sudah tahu posisinya saat ini. Ia sudah dipinang, bahkan hari pernikahan pun sudah ditentukan. Terpaksa Ayu mengatakan bahwa sepedanya ia titipkan pada warga yang rumahnya tak jauh dari tempatnya jatuh karena rusak. Besok pagi baru Ayu akan mengambilnya dan membawanya ke bengkel. Ayu pun juga tidak memberitahukan bahwa ia memecahkan beberapa botol s**u milik Babeh Rojali agar kedua orangtuanya tidak ikut memikirkan biaya untuk mengganti. Biarlah ini menjadi tanggung jawabnya.
“Ya udah… ni Ibu udah selesaikan baju untuk kamu. Kamu coba dulu ya… nanti kalo ada yang kurang pas jadi bisa langsung Ibu perbaiki,” kata Triningsih sambil memberikan sebuah kebaya warna putih tulang yang akan dikenakan Ayu di hari penikahannya nanti. Sebuah kebaya putih yang dulu dipakainya saat menikah dengan ayahnya. Walaupun kebaya lama, tapi masih sangat bagus dan layak untuk dikenakan. Triningsih sedikit merombaknya agar terlihat lebih cantik dan anggun dengan menambahkan payet-payet.
Ayu mengambil kebaya itu, menutup pintu kamar, lalu mengenakannya. Terasa sangat pas dan nyaman di tubuhnya. Ia melangkahkan kakinya menuju cermin yang menempel di lemari pakaiannya. Dilihatnya bayangan dirinya di cermin.
“Jadi bagus banget kebayanya Bu… kok bisa sih?” tanya Ayu sambil memutar tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Ayu terlihat sangat menyukai kebayanya itu. Ia tak berhenti mengumbar senyum.
“Makasih ya Bu…” ucap Ayu sambil mendekat dan memeluk Triningsih. “Makasih Ibu udah ngerawat Ayu dari kecil, udah sayang sama Ayu seperti anak kandung Ibu sendiri. Ayu ngga tau kalau ngga ada Ibu gimana nasib Ayu.” Tak terasa ada bulir bening yang keluar dari pelupuk matanya. Senyumnya perlahan menghilang, berganti dengan kesedihan. Triningsih begitu paham dengan apa yang Ayu rasakan saat ini. Ia membalas pelukan Ayu dan mengusap tangannya dengan lembut.
***
Ayu melirik ke arah Kinanti yang tidur di sampingnya. Ia menggerakkan telapak tangannya ke kiri dan ke kanan tepat di depan wajah Kinanti untuk memastikan Kinanti sudah tertidur lelap. Tidak ada pergerakan, itu artinya Kinanti sudah benar-benar terlelap. Perlahan ia bangun dari tidurnya dan berjalan menuju lemari kecil yang ada di sudut ruangan. Diambilnya sebuah celengan dari tanah liat berbentuk ayam jago. Dipandanginya celengan itu beberapa saat. Ayu benar-benar tidak punya pilihan lain. Dengan berat hati ia harus merelakan uang tabungannya selama ini untuk mengganti botol-botol s**u yang pecah, juga untuk memperbaiki sepedanya. Harapannya untuk mencari pekerjaan di Jakarta dengan modal dari uang tabungannya benar-benar sudah pupus. Ia pun tidak yakin uang tabungannya cukup untuk keperluannya itu.
Ayu mengambil palu yang sudah ia siapkan di bawah lemari, lalu mengarahkannya di bagian bawah celengan.
“Bismillahirohmanirrahim…”
Dengan sekali pukulan palunya, Ayu berhasil melubangi bagian bawah celengannya. Ia mengeluarkan semua uang uang ada didalamnya dan menatanya satu per satu.
Alhamdulillah… kayaknya sih ini cukup…, batin Ayu.
Ia pun segera memasukkan uang hasil tabunganya itu ke dalam dompet dan rencananya besok pagi ia akan ke rumah Babeh Rojali untuk menjelaskan semuanya dan mengganti segala kerugian yang diakibatkan atas kecerobohannya. Babeh Rojali pasti bertanya-tanya kenapa siang itu Ayu tidak kembali ke tempat pengolahan s**u miliknya untuk mengembalikan botol-botol yang kosong.
Ayu menoleh ke arah jam dinding yang tertempel di dinding kamarnya, sudah pukul setengah sebelas malam. Ia harus segera tidur agar besok bisa bangij pagi. Ayu pun kembali merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
Mengenai sepeda miliknya, Ayu pikir Rangga akan langsung mengantarkannya ke rumah, tapi nyatanya sampai malam ini sepedanya belum juga kembali. Sudah pasti Ayu panik karena sepeda itu adalah satu-satunya harta Ayu yang paling berharga, apalagi Ayu membutuhkannya untuk mencari uang. Ah, mana mungkin Rangga akan macam-macam dengan sepedanya, pikir Ayu. Mungkin buat Rangga sepedanya sama sekali tidak berharga. Lagi pula Ayu melihat Rangga kini sudah banyak berubah. Kini Rangga terlihat lebih rapi dan penampilannya sudah mirip dengan anak pesantren. Cara bicaranya pun terlihat lebih sopan. Di sisi lain, Ayu lega karena Ramgga tidak mengantarkan sepedanya ketika Bapak dan Ibunya berada di rumah. Mungkin Rangga akan mengantarkannya besok pagi, pikir Ayu, dan itu akan jauh lebih baik di saat kedua orangtuanya tidak berada di rumah.
Sampai saat ini, Ayu pun tak habis pikir kenapa pagi itu ia menuruti apa yang dikatakan Rangga, apalagi dengan mudahnya meninggalkan sepeda miliknya pada orang yang tidak ia kenal. Ayu memang tau siapa itu Rangga, tapi selama ini kan Ayu tidak mengenal Rangga dengan baik. Ah, ternyata Rangga tidak seburuk apa yang Ayu pikir. Ayu pun melihat ada kekahawatiran di wajah Rangga saat melihatnya jatuh. Masih terbayang di pikiran Ayu, bagaimana cara dia menatapnya, bagaimana cara dia menolongnya, bahkan memegang tangannya. Ayu jadi senyum-senyum sendiri saat membayangkannya. Apa mungkin Ayu jatuh cinta pada Rangga?
Astaghfirullah. Ndak, ndak… sebentar lagi kan aku mau menikah, batin Ayu berusaha menolak perasaannya. Ayu menarik selimutnya ke atas dan memejamkan mata sebelum ia membayangkan yang lebih jauh.