57. Lukisan Hana

1059 Kata
Setelah mengganti seragam dengan yang kering, Tobias kembali ke dalam kelas. Cowok itu melihat temannya sudah mengambil duduk memenuhi bagian depan. Terpaksa dia berjalan ke bagian belakang, dan menaruh bokongnya di sana. Mata elangnya mengabsen teman-temannya untuk menemukan perempuan berkucir kuda. Cewek itu, ternyata berada di tengah bersama temannya yang lain. Tidak lama Bu Lufi masuk kelas dan menyapa seisi kelas. "Apa kabar semua?" sapanya "Baik, Bu," jawab para murid. Bu Lufi menyimpan tasnya ke atas meja lalu berdiri ke tengah kelas. "Kalian udah pada tau, kan, hari ini kita mau ngapain?" "Sudah." Serempak murid sekelas menjawab. Sepertinya hanya Tobias yang bengong karena tidak tahu mereka akan apa. "Oke, jadi Ibu akan memilih kalian secara acak untuk maju ke depan dan menceritakan arti dari lukisan yang kalian buat kepada teman-teman kalian," jelas Bu Lufi. Tobias tentu saja melotot terkejut. Dia belum siap kalau lukisannya diperlihatkan kepada teman-temannya. Bahkan tidak hanya melihat, tapi mendengarkan cerita dari lukisannya. "Oke, kita mulai, ya. Siswa pertama yang Ibu mau denger ceritanya adalah ...." Tanpa disadari, Tobias sedikit menggeser tubuhnya ke belakang. Menundukkan kepalanya, berharap nama ia tidak tersebut. "Hana Lovira." Dengan perasaan lega, Tobias kembali menegakkan punggungnya. Dia selamat, pikirnya. Dari barisan belakang, Tobias dapat melihat ekspresi merenggut Hana. Cowok itu tersenyum tipis. Akhirnya ia dapat melihat lukisan dibalik kantong hitam yang perempuan itu bawa dari rumah. Tadi pagi saat ia menjemputnya, Hana sama sekali tidak mau memberitahunya. Dengan gerakan lambat Hana membuka plastik hitam itu dan mengeluarkan karya miliknya. Berat hati Hana berdiri di depan kelas dan menaruh kanvasnya di steger yang sudah disediakan. Tobias menggeser dirinya sedikit maju untuk melihat lukisan Hana. Terdapat satu perempuan yang memiliki dua sisi. Sisi yang satu perempuan itu menggunakan jas hujan padahal cuaca cerah. Dan sebelahnya perempuan itu tidak menggunakan jas hujan atau payung padahal hujan. "Loh, ini kebalik. Cuaca cerah pakai jas hujan, pas hujan malah nggak pakai. Menarik. Coba Ibu mau tahu maksud dari lukisan Hana." "Perempuan ini adalah saya." Hana memulai bercerita dengan wajah tersenyum. "Saya merasa sikap saya seperti ini. Bisa dibilang suka beda sendiri. Kayak misal saat dulu ada yang suka ngejek saya, ngomongin saya dari belakang. Bukannya marah, saya malah ngerasa kasian dan selalu nemenin dia." Hana melihat lukisannya sekilas. "Terus sedangkan ada yang muji saya, saya malah marah ke orang itu dan berantem haha." Hana terkekeh pelan di ujung ceritanya. "Sebagian orang nganggep aneh, bagian lain nganggepnya unik. Tapi ada juga yang bilang caper biar banyak yang suka karena beda dari yang lain." Senyum yang sedari tadi ia tampilkan perlahan memudar. "Apalagi saat orang-orang tau saya punya sahabat cowo. Saya suka main sama cowo. Makin banyak aja yang julid. Saya sendiri bingung, kenapa kayaknya setiap orang dituntut harus sama dengan yang lain di bumi ini. Bukannya tiap orang punya kepribadian dan pemikiran yang berbeda?" "Ini bukan tentang hukum tertulis atau norma. Cuma sikap aja. Padahal selama sikapnya nggak melanggar hukum tertulis atau norma yang berlaku. Kenapa juga harus dipermasalahkan? Contohnya orang di gambar ini." Hana menunjuk lukisannya. Jarinya menyentuh sisi yang hujan. "Dia pake jas hujan atau enggak itu nggak melanggar hukum perundang-undangan atau norma yang berlaku di masyarakan. Tapi, kalau dilihat orang-orang pasti mempertanyakan dan mengkritik perempuan ini." "Dan di sini, di kelas ini, saya mau memperlihatkan ke kalian kalau inilah Hana. Hana memang orang yang seperti ini. Semoga teman-teman bisa terus memaklumi dan menerima Hana, ya. Terima kasih atas perlakuan baik kalian selama ini." Bu Lufi memberikan tepukan tangan untuk mengapresiasi Hana. "Oke, sekarang sesi tanya jawab, ya. Ibu mau nanya. Biasanya kenapa kamu melakukan atau memiliki pola pikir yang berbeda dari orang lain?" Hana menyengir kuda. "Kalau kata Tobias pikiran Hana itu rumit. Saya nggak tau dia bercanda atau enggak, tapi Tobi sering ngeluh nggak bisa tidur mikirin pilihan atau sikap Hana yang menurutnya aneh. Mungkin ada benernya..." Mata Hana menangkap sosok Tobias yang duduk di barisan paling belakang. "... seperti contoh yang tadi aja. Hana mikir orang yang ngomongin Hana di belakang barangkali karena kesel sama Hana. Mungkin aja Hana pernah nyakitin dia yang buat dia dendam sama Hana. Jadi, Hana berbuat baik sama dia biar dia nggak kesel dan ngejelekin Hana dari belakang lagi." Bu Lufi dan teman-temannya tampak fokus mendengarkan penjelasan dia. "Dan untuk orang yang kedua, Hana berpikir kalau pujian dia itu bisa buat Hana kesulitan bergerak. Contohnya, aja dia bilang Hana cantik berarti kalau gitu Hana nggak boleh jerawatan? Nggak boleh dekil? Terus dia bilang Hana berani. Tandanya Hana nggak boleh memperlihatkan ketakutan Hana?" Hana melanjutkan omongannya. "Karena omongan dia seakan nyuruh Hana untuk selalu berbuat seperti itu. Dan menurut Hana itu jahat. Itu memberatkan. Pujian itu beban," simpulnya. "Menurut Hana pikiran itu udah simpel, dan wajar. Tapi karena nggak sesuai ekspektasi orang-orang, makanya pikiran Hana itu lebih tepat dibilang aneh, rumit, dan berbelit-belit." "Ibu nggak bisa menyuruh kamu untuk memperbaiki bagaimana kamu melihat sesuatu. Atau menyuruh kamu berpindah dari sudut pandang mana kamu berdiri saat ini. Yang Ibu mau sarankan adalah bagaimana sikap kamu terhadap orang-orang yang sudah mengkritik kamu, Han." Bu Lufi memberi tanggapan. "Han, jadikan pengkritik itu sebagai referensi dari sudut pandang lain. Kamu nggak perlu merubah tempat kamu berdiri saat ini. Cukup jadikan mereka referensi aja. Setidaknya kalau kamu merasa tempat berdiri yang mereka berikan itu enak, lebih nyaman atau bisa kamu terima kamu bisa mencobanya. Kalau tidak, kamu cuma perlu memahaminya aja. Paham, kan, maksud Ibu?" Perempuan berkucir dua itu tampak mengerjap cepat. "Kalau aku nggak salah tangkap, ya. Maksud Ibu, 'menerima' kritikan itu harus. 'Melakukannya'-lah itu yang nggak harus. Bisa dilakukan, bisa enggak. Bener nggak?" Bu Lufi menjentikkan jarinya. "Betul!" katanya sambil tersenyum, memperlihatkan lubang kecil di pipinya. "Terima kasih Hana sudah mau berbagi ceritanya kepada kita. Semoga ke depannya, Hana bisa menemukan orang-orang ternyaman bagi Hana," ucap Bu Lufi. "Dan yang terpenting, tetap percaya pada diri sendiri." Hana mengucapkan salam penutup dan mendapat tepukan dari teman-temannya. Perempuan itu mengambil kanvasnya di steger dan memberikannya kepada Bu Lufi. Bu Lufi sempat membisikannya sesuatu. "Gambarmu yang ini bagus. Eh, iya. Kamu nggak perlu selalu ngegambar yang bagus. Ibu cuma ngasih tau suka sama gambar ini loh," katanya sambil terkekeh. Hana ikut tertawa kecil lalu mengucapkan terima kasih. Setelah itu ia berbalik dan mengayunkan kaki kembali ke tempat duduknya. Setelah mengatakan isi hatinya yang tak pernah ia curahkan itu, sejujurnya Hana merasa lega. Dia tidak aneh, dia hanya berdiri di sudut pandang lain. Dan itu wajar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN