58. Lukisan Tobias

1021 Kata
Selama ini, Tobias hanya melihat hasil dari coretan cewek itu. Lukisan Hana memanglah bagus. Namun, baru kali ini ia melihat lukisan cewek itu bercerita. Mendengar namanya disebut di depan kelas, Tobias merasakan desiran asing. Tiap momen yang Hana ceritakan, dia mengetahuinya. Bahkan ia adalah salah satu orang yang sempat menyebutnya aneh. Tobias masih ingat bagaimana kesalnya dia dengan orang yang ngomongin Hana dari belakang. Atau bagaimana kewalahannya dia memisahkan perseteruan antara Hana dan orang yang memuji cewek itu. Hana kembali ke tempat duduknya. Bu Lufi sudah bersiap untuk memanggil nama anak selanjutnya. Fokus Tobias masih saja tertuju pada Hana hingga namanya terdengar. "Tobias Otaru!" Semua teman-temannya sudah menoleh ke belakang ke arah Tobias. Ikut memanggilnya yang sedang bengong. "Woy, Yas. Tobias, lo dipanggil!" Tobias tersentak. Dengan gelagapan ia berdiri dan langsung berjalan ke depan. "Kanvasnya?" "Oh, iya." Kemudian ia balik lagi ke tempat duduknya untuk membawa kanvas. Ah, Tobias merasa malu karena ketahuan sedang bengong. "Yang fokus Tobias. Lagi mikirin apa, sih," goda Bu Lufi. Cowok itu hanya tersinyum malu mendengar godaan gurunya. Tobias menaruh kanvasnya di steger. Lalu menggeser dirinya untuk berdiri di samping steger itu. "Pagi, teman-teman. Ini hasil lukisan saya." Mata Tobias tidak bisa diam mengabsen anak di dalam kelas. Ia tambah gugup saat melihat Hana memajukan wajah serta menyipitkan mata. Tobias tidak tahu saja, kalau perempuan itu sudah melihat lukisannya kemarin. Lukisan itu berlatar meja makan. Terdapat anak laki-laki yang tengah duduk sendirian di sana. Padahal seisi meja makan sudah penuh dengan makanan. Wajah anak laki-laki itu datar tanpa ekspresi. "Coba bisa dijelaskan cerita dari lukisan ini." "Anak ini saya di rumah," kata Tobias sebagai pembuka. "Orang tua saya bercerai dari saya kecil. Kakak saya dibawa oleh ibu. Dan saya tinggal bersama ayah. Karena ayah saya harus bekerja, dia jarang di rumah. Jadi, setiap harinya saya seperti ini. Terkadang saat saya main ke rumah temen yang lain. Saya iri. Iri melihat orang lain memiliki keluarga yang utuh. Dan rasa iri itu membuat saya sakit. Hal itu yang menyebabkan saya sulit berteman." Tobias terdiam. Berusaha mengatur ritme napasnya yang mulai tidak beraturan. "Satu-satunya teman yang saya miliki. Ya, cuma, teman masa kecil saya. Dia pun dulunya udah nggak mau berteman dengan saya, karena katanya saya nggak asik." Lelaki itu menarik satu ujung bibirnya. "Tapi mengingat fakta itu pun buat saya ngerasa benci sama keadaan. Dia punya banyak temen. Sedangkan teman saya cuma dia. Dia nggak bakal takut kehilangan satu teman. Tapi bagi saya, satu teman itu berarti. Karena itu, saya berusaha membuka diri pada lingkungan saya. Walaupun saya harus merasakan iri itu lagi." Hening. Sampai akhirnya Bu Lufi kembali membuka suara. "Ibu suka sama jalan yang kamu pilih sekarang. Yaitu membuka diri. Perlahan kamu juga akan menerima takdir yang ada pada kehidupan kamu." Tobias menyimak ucapan dari gurunya itu. "Terus sekarang, setelah kamu bergaul dengan lebih banyak orang. Bagaimana? Apa yang kamu rasakan antara dulu saat kamu menutup diri dan sekarang saat kamu membuka diri." "Untuk di luar, saya merasa lebih hidup. Meskipun di dalam sini masih sama aja." Tobias menunjuk dadanya. "Tapi, yang saya pikir kalau saya memiliki banyak teman, saya nggak perlu takut lagi kehilangan satu teman. Itu ternyata salah. Kehilangan sesuatu yang penting tetap akan selalu terasa menyakitkan." Di akhir kalimatnya lelaki itu melirik ke arah 'sesuatu yang penting' itu. "Sekian cerita dari saya. Terima kasih sudah mendengarkan," kata Tobias sambil menunduk singkat. Bu Lufi dan teman-temannya memberi tepuk tangan sebagai bentuk apresiasi. Tobias mengambil kanvasnya dan mengumpulkannya di meja Bu Lufi. Kemudian ia kembali lagi ke tempat duduknya. Rasa gugup yang sedari tadi ia rasakan sudah meluap. Tergantikan dengan perasaan lega. Tobias tidak tahu apa arti lega ini. Apakah karena dia sudah maju ke depan dan mendapatkan nilai. Atau karena curahan hatinya sudah ia sampaikan. Hana menoleh kepadanya. Tobias mengerutkan dahi saat cewek itu melempar senyum kepada dirinya. Lalu dua jempol perempuan itu terangkat. *** "Bi, besok pagi lo disuruh ke rumah sama Ibu." Tobias mengerjapkan matanya. "Ngapain?" Bahu cewek itu mengendik. "Sarapan di rumah. Nggak tau kenapa nyuruh lo makan di rumah. Jadi, nggak usah kebanyakan nanya." Dari ekor matanya, Hana dapat melihat anggukan kecil dari cowok itu. Tanpa sadar ia menghela napas tenang. Tobias memercayainya. Habis ini ia harus buru-buru bilang ke Ibu kalau dia sudah berbohong dengan cowok itu. Jangan sampai Tobias tahu. Setelah melihat lukisan Tobias itu Hana jadi kepikiran terus. Selama ini Tobias tidak suka makan sendiri. Ini semua salah Ibu juga, dari dulu setiap jam makan siang Ibu selalu menyuruh Hana pulang. Melarang Hana mengganggu makan siang Tobias. Ternyata, cowok itu menginginkan makan bersama. Wajah datar yang dilukis Tobias mengisyaratkan kesendirian. Ah, iya mungkin itu juga alasan kenapa wajah Tobias selalu nyebelin dan datar. Ternyata berteman lama tidak menjadikannya tahu segala hal tentang lelaki itu. Ia pikir selama ini, Tobias justru menyukai kesendirian. Beberapa kali Hana harus mencoba menahan diri tidak mengganggu lelaki itu karena takut kehadirannya akan mengganggu. Nyatanya, ia salah. Tobias tidak bisa sendirian. Besok paginya benar saja. Tobias datang ke rumahnya. Untung Hana sudah memberitahukan Ibu. "Ibu udah lama nggak ketemu Tobi. Tobi di rumah kalau sendirian ke sini aja, sarapan di sini," ucap Ibu. Hana sudah mengambil piring dan nasi. Melihat Tobias yang hanya terdiam membuat cewek itu menyodorkan piring. "Nih, Bi. Cepet makan hari ini kan ada pelajaran Bu Lufi." "Terus?" tanya Tobias sambil mengambil piring itu. "Ya, gue nggak mau terlambat." Setelah mengatakan itu mereka berdua hening dalam kegiatannya. Usai makan, mereka berpamitan dengan Ibu. Hana kembali lagi ke kamar untuk mengambil kanvasnya. Tobias sudah mencuri pandang ke kanvas itu. Namun, sayangnya Hana sudah menutup rapat dengan plastik hitam. Keingintahuan Tobias membuat cowok itu berusaha bertanya. "Lo gambar apa?" "Kepo." Tobias mendelik. "Pelit." Hana menjulurkan lidahnya. Tangannya sibuk menautkan tali sepatunya. "Beneran nggak boleh liat?" tanya Tobias lagi. Semakin Hana menutupinya, justru membuat Tobias tambah penasaran. "Kalau gitu lukisan lo dulu sini gue liat," putus Hana. Decakan lolos dari mulut lelaki itu. "Dah lah. Nggak jadi." Tobias menyerah lalu menaiki motor yang ia parkir di halaman rumah Hana. Hana mengulum senyumnya. Dia sudah yakin Tobias tidak akan memberitahunya. "Bi, liat sih. Parah lo. Pelit." "Enggak," jawab Tobias singkat sebelum memakai helm fullface-nya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN