56. Sifat yang Berubah

1047 Kata
"Belum tidur, Yan?" Lelaki yang dipanggil temannya itu hanya berdehem. Ia menyipitkan mata sambil memajukan wajah mendekat ke kanvas. Mengoles kuas kecil itu di atas kanvas dengan teliti. Bahkan saking hati-hatinya ia sampai menahan napas. Usai menyelesaikan detail terkecilnya, ia menarik tangan perlahan. Memundurkan wajah, dan melihat hasil karyanya dengan ekspresi puas. "Gue tebak lo udah ngerasa lukisan paling keren, kan? Liat nanti pas di kelas, dan lo bakal insekyur." Rabian menoleh secepat kilat ke arah temennya. Melempar tatapan tajam sambil menaruh kembali kanvasnya. "Sialan lo, Jan." "Hehe, ampun. Bercanda doang gue elah." "Lagian malem-malem gini ngapain ke sini, sih. Gue mau tidur." "Nggak ke rumah sakit?" Rabian melirik jam di dinding ruang tamu. "Tiga puluh menit lagi. Gue mau mandi dulu," ucap Rabian sambil beranjak berdiri. Bahkan baju kerja masih menempel pada tubuhnya. Ojan mendesah lemah, melihat sahabatnya itu jujur dia merasa kasihan. Seumur Rabian, kerjaan Ojan hanya sekolah, nongkrong sama temen, ngabisin duit Bapak, diomelin guru. Seputar itu. Ia tidak harus mencari uang seperti Rabian. Dia tidak harus mengurus orang tua yang sakit. Dia tidak harus bekerja setelah capek sekolah. Dia tidak harus belajar keras tengah malam agar bisa tetap sekolah. Ojan melirik lagi lukisan hasil tangan Rabian. Dia tidak mengerti tentang lukisan sama sekali. Tapi lukisan Rabian seperti bercerita banyak hal kepada Ojan. Untuk itu cowok itu beranjak dari duduknya merapikan kuas, cat air dan palet yang masih berantakan di lantai. "Yan, gue balik, ya!" Ojan berteriak. Rabian menyahutinya dari dalam kamar mandi. "Iya. Ngapain lo ke sini." "Iseng doang," balas Ojan sekenanya. Ojan keluar dari rumah Rabian. Menutup pintu rumah itu lalu pergi. Mungkin saat ibunya Rabian pulang dari rumah sakit baru Ojan bisa mengajak teman kecilnya itu main. *** Setelah mengikat rambut membentuk kucir kuda. Hana mengambil kanvas yang ia taruh di atas jok motor Tobias. Si pemilik motor sudah jalan duluan. Tak mau menunggu dengan berkata. "Nggak lupa letak kelas, kan? Ngapain ada acara tunggu-tungguan." Setelah itu melenggang pergi. Anehnya Hana tidak bisa bersikap seperti dulu yang akan mempertahankan keinginannya. Pikirnya, jangan gara-gara masalah sepele dia tidak dapat tebengan lagi besok. Cewek itu masuk ke dalam kelas dengan wajah takjub. Bangku dan meja di kelasnya di tata di bagian belakang kelas. Beberapa temannya sudah duduk lesehan di lantai. "Kok meja sama kursinya ditaro di belakang? Nggak diomelin guru?" Dira menjawab, "Emang disuruh Bu Lufi." Mulut Hana membulat membentuk huruf O. Cewek itu menaruh tasnya di samping tas Tobias. Dia pikir kelasnya sudah berubah menjadi kelas anak nakal yang sukanya bikin kacau kelas. Hana sendiri terkadang suka merasa kelasnya kurang menarik. Tidak pernah ada kasus anak terkaya di sekolah berantem sama guru. Atau membully teman perempuan hingga dibawa ke komisi disiplin. Dan kenakalan lainnya seperti yang sering ia dengar dari kelas-kelas lain. Kelas Hana ini normal. Ah, sepertinya kenormalan kelasnya sedikit terganggu karena anak itu. Cowok dengan kemeja SMA yang lecek seperti belum disetrika. Dan rambut berantakan. Rabian menarik kedua ujung bibir saat netranya melihat keberadaan Hana. Cowok itu melangkahkan kaki mendekati cewe berkucir kuda. "Liat dong lukisan lo." "Enggak, ah. Mau gue langsung kumpulin." "Iya, makanya sebelum dikumpulin gue liat," bujuk Rabian. Hana bergeleng. "Tadi Tobias minta liat juga enggak gue kasih." Rabian berdecak pelan. "Tobias sama gue beda kali. Kalau Tobias nggak boleh, ya, gue boleh." Wajah Hana maju sedikit. "Eng-ga," tegasnya sekali lagi. Cowok itu mundur sedikit. Nyerah membujuk Hana. Ia meletakkan tasnya di bawah meja dan duduk di atas meja bersebelahan dengan berdirinya Hana. "Bisa minggir nggak?" Suara ketus itu menusuk ke dalam telinga Rabian. Membuat cowok itu menoleh. Rabian tersenyum miring saat melihat orang yang bereskpresi seperti melihat rivalnya. "Kalau gue nggak mau?" "Yang lo dudukin itu tas gue. Kalau mau duduk kan bisa di lantai. Anak-anak lantai pada di lantai." Rabian menoleh ke belakangnya. "Ya udah kalau gitu tukeran deh. Tas gue yang di atas, tas lo yang di bawah meja. Jadi, yang gue dudukin, ya, tas gue sendiri." Masih dengan ekspresi datarnya, Tobias maju selangkah. Kakinya menendang tas Rabian hingga terlempar cukup jauh. Beberapa anak sudah menoleh ke belakang, ke arah pusat pertikaian itu. Hana cukup terkejut melihat Tobias emosi "lagi". Cewek itu buru mengambil tas Rabian dan menaruhnya di salah satu meja yang memiliki slot kosong. Tanpa mau melihat Tobias mengamuk, Hana langsung menarik Rabian turun dari atas meja. "Ayo, Yan. Lo pindah duduk." Cewek itu berkata dengan nada rendah. Rabian tersenyum lebar sambil menatap balik mata Tobias yang menajam. "Hana lo nggak usah deketin dia." Tangan Hana sontak terlepas dari lengan Rabian. Rabian tambah cengengesan sambil kembali berbalik. "Sekarang lo mau ngatur-ngatur semua orang buat nggak berteman sama gue?" Rabian menepuk tangannya. "Wow." Hana reflek membalik tubuh Rabian. "Yan, plis jangan diladenin saat di kelas." Rabian menghirup napas dalam-dalam. Kenapa harus dia yang mengalah. Kenapa? Kemudian Hana berjalan cepat ke arah Tobias. Menyeret cowok itu keluar kelas. Tobias masih diam saja sampai Hana membawanya ke belakang sekolah. "Lo ngapain bawa gue ke si—" Byur. Hana menyiramnya dengan air di botol minum. Tobias pun tidak menyadari botol minum yang Hana bawa. "Biar lo nggak malu-malu banget gue siram kayak gini." Tobias membasuh kasar wajahnya. "Maksud lo apa?" tanya Tobias dengan nada rendah yang menusuk. "Yah." Bahu Hana mengendik. "Sapa tau lo kemasukan setan. Makanya gue siram. Itu tadi airnya udah gue bacain ayat kursi juga," jawab Hana ringan. "Han." "Bi, kendaliin diri lo. Gue nggak tau dan nggak akan nanya alasan lo kayak gini. Tapi gue mohon kendaliin diri lo. Apa lo mau buku kesiswaan lo terisi?" Hana mengambil satu tangan Tobias. "Gue bahkan udah nggak pernah mikirin alasan sikap lo berubah lagi. Gue berusaha memaklumi sikap lo saat ini. Tapi gue mohon, untuk yang satu itu jangan berubah. Tetep jadi Tobias yang selalu mengalah. Dulu lo nggak cuma ke gue doang bakal ngalah. Dari dulu lo kalau ke siapa pun nggak akan mau bersaing. Please, jangan ubah sifat yang itu." Tobias melepas genggaman tangan Hana. "Kalau nggak bisa?" "Bukannya nggak bisa, tapi lo nggak mau," sanggah Hana. Satu sudut bibir Tobias terangkat satu. "Kalau gitu setiap gue mau bersikap kayak tadi lo harus selalu berusaha cegah gue." "Ya, gue nggak bisa selalu cegah lo." "Bukan nggak bisa, tapi nggak mau." Tobias mengembalikan ucapan cewek itu kemudian berlalu pergi dengan kemeja yang basah. Om Irwan, ada apa dengan anakmu?! Batin Hana berteriak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN