52. Merebut Perhatian

1020 Kata
Rabian tersenyum tipis. Tanpa mau membalas ucapan Hana, cowok itu memilih berdiri dan berjalan melewati Hana. Merasa dirinya tidak diacuhkan, Hana mengikutinya dari belakang. "Tadi ada tugas?" Kedua tangannya ia biarkan bergelantung di pembatas besi. Membiarkan wajahnya diterpa angin di atap. Hana menghela napasnya. Ia masih tidak habis pikir kenapa orang effortless seperti Rabian harus mendapat keberuntungan yang bagus. Cewek itu menepuk tengkuk Rabian. "Ada. Dan lo harus ngerjain tugasnya sekarang," jawab Hana sambil mencengkram kerah seragam Rabian dan menariknya. "Ayo, masuk kelas sekarang." Sebelum benar-benar masuk kelas, karena ini masih jam istirahat Hana dan Rabian memutuskan ke kantin. Jam menunjukan waktu istirahat tersisa sepuluh menit lagi. "Lo bisa makan cepet?" Rabian bertanya. Sambil mengambil nampan dan piring saji, Hana melirik sekilas ke jam di dinding. "Makan dikit aja. Lagian lo sih segala pake bolos," gerutu Hana sembari memasukkan daging dan nasi ke piringnya. Terdengar kekehan di belakangnya. "Ga ada yang nyuruh lo nyari gue juga." "Iya, sih. Terlalu baik kayaknya gue." Selesai dengan piringnya, Hana mengambil botol minum dan mencari tempat duduk. Di belakangnya, Rabian mengintil. "Antara baik atau emang karena lo suka gue," ucap Rabian sambil menaikturunkan alisnya. Kali ini berganti Hana yang terkekeh. "Orang juga masih bakal ngira gue lebih suka Tobias daripada lo. Kalo lo selalu mengartikan kebaikan orang dengan rasa suka." Hana menjawabnya dengan sikap santai. Rabian terdiam menerima jawaban Hana dengan anggukan singkat. Sisa waktu itu hanya terisi dengan suara dentingan sendok dan piring yang beradu. Entah kenapa, jawaban Hana terasa mengganggu bagi Rabian. "Gue udah selesai. Cepet lo makannya." Hana berdiri. Dengan langkah lebar ia membawa peralatan makannya ke tempat yang sudah disediakan. *** Di kelas Tobias beberapa kali melirik sebungkus roti dan sebotol s**u yang ia beli tadi. Dia tidak tahu ke mana Hana. Namun, yang ia yakini cewek itu pasti belum siap makan siang. Setiap ada orang yang membuka pintu kelasnya, mata Tobias reflek melihat ke pintu. Setelahnya dia harus menghela napas karena bukan orang yang sedang ia tunggu. Sampai akhirnya, orang itu datang. Alisnya terangkat sedikit. Punggungnya menegak saat orang itu berjalan ke bangkunya. "Whoaa punya siapa ini?" Hana menarik kursinya kemudian duduk. "Lo habis dari mana?" tanya Tobias. "Habis nyari gue," celetuk Rabian saat melewati meja Tobias. "Makasi banget Hana. Lo emang teman yang perhatian," kata Rabian sebelum benar-benar duduk di tempatnya. Hana bergidik. "Jijik banget lo, Yan." Kemudian netra Hana kembali mengarah pada Tobias. "Btw, Bi. Makasih roti sama susunya." Tangan Hana yang hendak meraih roti itu ditahan oleh Tobias. "Ini punya gue," tegas Tobias sambil menggeser roti dan s**u itu ke depannya. "Nggak ada yang bilang ini punya lo." Cewek itu membulatkan matanya saat melihat makanan itu berpindah tempat. "T-tapi itu s**u cokelat. Lo bukannya nggak suka?" "Suka." "Nggak enek? Bukannya suka mau muntah kalau minum s**u cokelat." "Nggak." Tobias membalas singkat sambil membuka bungkus roti dan melahapnya dengan suapan yang besar. "Beneran? Sini deh buat gue aja kalau emang lo salah beli." Tobias mengangkat botol itu. "Lo mau bayar s**u ini?" tanyanya sambil memiringkan wajahnya. Hana menggelengkan kepalanya. Membuat Tobias kembali menghadap lurus ke depan sembari menyuap rotinya. *** Benar saja, Tobias harus merasakan mual setelah meminum s**u itu. Ia meminta izin guru untuk pergi ke toilet. Hanya karena ia kesal dengan Rabian, ia jadi tidak mau memberikan s**u itu kepada Hana. Seharusnya Tobias tidak perlu memedulikan itu. Karena dampaknya dirinya sendiri yang merasakan. Tobias membuka kran westafel. Benar kata Hana, semua yang ia makan tadi saat istirahat ikut keluar hanya karena s**u cokelat. Usai ia merasa mualnya reda. Tobias mengambil tisu dan berjalan keluar toilet. Matanya sedikit melebar saat melihat kehadiran seseorang di luar toilet. "Nih!" Hana menyodorkan segelas air hangat. "Udah gue bilang susunya buat gue aja." "Ngapain lo ke sini?" Tobias balik bertanya. "Ya, mau ngasih itu." Bibirnya sedikit maju untuk menunjuk gelas yang ada di tangan Tobias. "Gue balik ke kelas lagi deh." Dengan reflek Tobias menahan pergelangan tangan Hana. Membuat langkah Hana tertahan. "Apa?" "Tadi ... kenapa lo harus nyari Rabian sampe nggak ke kantin dulu." Mata Hana mengerjap cepat. Tak menyangka akan mendapat pertanyaan itu dari seorang Tobias Otaru. "Dia kan temen baru kita. Gue rasa dia belum tau peraturan di sekolah ini. Lagian sampe saat ini temen deket dia di kelas baru gue kayaknya. Jadi gue yakin selain gue nggak akan ada yang ngasih tau info-info tentang sekolah ke dia." "Dia masuk sini harusnya udah baca sih buku peraturan sekolah kita," balas Tobias tidak mau kalah. Hana melipat kedua tangannya di depan d**a. "Kalo gitu gantian gue yang nanya." Cewek itu merasa sudah disudutkan oleh Tobias, dan dia harus membalasnya. "Kenapa lo harus marah marah ke Rabian padahal masalahnya cuma tempat duduk doang." Tobias terdiam. Tidak mungkin ia menjawabnya dengan jujur. "Lo tau nggak sih. Citra lo itu bisa buruk gara-gara tingkah lo sendiri." "Kita udah kelamaan di sini. Ayo masuk kelas." Tobias berlalu melewati tubuh mungil Hana. "Woy, belum dijawab pertanyaan gue. Tobi!" Hana berlari kecil mengikuti langkah Tobias. "Gue lebih milih jawab pertanyaan fisika ketimbang pertanyaan lo." *** Duduk dengan Tobias saat ini ternyata berbeda dengan Tobias yang dulu. Dulu, Tobias akan lebih mudah memberikan contekan kepadanya. Sebenarnya itu juga salah satu alasan Hana merasa senang bisa duduk dengan Tobias lagi. Tapi, saat ini ia harus menghadapi Tobias yang berpegang pada kejujuran. Terbesit pikiran untuk kembali duduk dengan Rabian. Namun, melihat pertengkaran kemarin membuat Hana takut untuk mencobanya. Sudah terbayang alurnya kalau ia melakukan itu. Tobias akan dipanggil kepala sekolah, lalu nanti sampai pada kesimpulan penyebab semuanya adalah dirinya. Kemudian ayahnya akan memotong uang bulanannya sebagai hukuman karena sudah membuat anak dari bosnya kesulitan. Ah, bayangan yang menyeramkan. "Psst, psst, Yan." Hana berbisik mencoba memanggil Rabian. Dia sudah menyerah untuk mengerjakan soal fisika ini dengan otak minimalisnya. Pada panggilan ke tiga, mata Rabian melirik kepadanya. Jari Hana langsung terangkat dua. "Nomor dua dong apaan?" Terlihat Rabian melihat bukunya sendiri. Saat Hana tengah menunggu jawaban dari Rabian. Pulpen yang ia pegang diambil paksa, membuat Hana menoleh mencari pelakunya. Amarah Hana tertahan saat Tobias memperlihatkan jawaban di bukunya. "Ini yang terakhir gue kasih liat. Besok-besok lo harus usaha sendiri." "Gue kan oon di fisika." "Pulang sekolah nanti gue ajarin."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN