51. Tugas Seni

1021 Kata
"Enggak. Kita udah temenan dari kecil. Udah kayak saudara," jawab Hana singkat. Pertanyaan yang sering Hana terima. Jawabannya pun sudah tidak perlu ia pikirkan lagi. Bahkan, Hana mulai ragu dengan jawabannya. Apa itu jawaban dari hati atau karena sudah terbiasa menjawab seperti itu? *** "Selamat pagi semua!" sapa Bu Lufi. Guru seni kesayangan murid. Wanita berumur tiga puluhan dengan lesung pipi itu masuk ke dalam ruang seni dengan tiga tumpuk kanvas di tangannya. Perhatian murid langsung tertarik ke arahnya. "Pagi, Bu!" Hana menyipitkan matanya berusaha menebak tugas seru apa lagi yang akan Bu Lufi berikan. "Hari ini Ibu bawa 3 kanvas. Ada yang bisa nebak tugas kalian untuk minggu depan apa?" "Melukis!" jawab para murid dengan percaya dirinya. Hana makin penasaran tema apa yang akan Bu Lufi berikan. "Yap. Tapi, kali ini ada perbedaan di temanya." Bu Lufi mengambil tiga steger dan menaruh kanvas yang ia bawa. Kanvas pertama terdapat gambar anak kecil yang meniup bunga dandelion ke arah bola dunia. Kanvas kedua terdapat seorang laki-laki yang memegang bunga mawar berduri dengan tangan yang berdarah dan wajah yang tersenyum. Kanvas ketiga seorang anak yang terlilit kertas berisi angka di seluruh tubuhnya. Hana menggigit jarinya, otaknya berusaha menebak teknik melukis apa yang akan ditugaskan oleh Bu Lufi. Karena dari ketiga lukisan itu menggunakan teknik yang berbeda. "Jadi, kali ini Ibu tidak akan nyuruh kalian ngelukis dengan teknik yang ditentukan. Dengan kata lain, kalian bebas melukis dengan teknik yang kalian kuasai." Sontak seluruh murid bersorak. Untuk beberapa anak bab melukis ini memang sangat digemari, tapi bagi sebagian yang lain ini adalah pelajaran yang mereka hindari. "Karena yang Ibu nilai bukan dari situ." Sorakan itu tiba-tiba berhenti. Membuat Bu Lufi tersenyum puas. "Poin terpentingnya dari makna dari lukisan itu. Pesan tersirat. Bagaimana kalian bercerita melalui lukisan." Bu Lufi menunjuk kanvas pertama. "Ibu kasih contoh dari tiga lukisan ini, ya. Ini Ibu ambil contoh dari karya kakak kelas kalian tahun lalu. Yang pertama ini anak kecil yang meniup bunga dandelion ke bola dunia. Anak ini nggak tau ke mana dan di mana serbuk dandelion akan jatuh dan menumbuhkan bunga yang baru. Yang ngelukis ini bercerita kalau saat ini dia masih belum ada pandangan tentang masa depannya. Makanya di sini dia meniupkan bunga dandelion itu ke bola dunia. Dia cuma mau ngikutin arah angin yang membawanya aja, atau bahasa sederhananya dia mau menjalani kehidupan tanpa tujuan. Dia lagi ada di fase itu saat itu." Hana terdiam. Apa yang kakak kelasnya itu rasakan, sama seperti apa yang ia rasakan saat ini. Hana melirik ke arah Tobias. Ia iri kepada cowok itu. Tobias memiliki tujuan dan visi yang mau dicapai. Sedangkan Hana belum ada. Sama sekali. "Lanjut ke lukisan kedua. Dari gambarnya ini udah jelas, ya. Seorang anak yang memberikan bunga mawar yang indah dengan senyum padahal tangannya berdarah. Kadang orang hanya melihat hasil yang kita dapatkan tanpa melihat usaha berdarah yang kita lakukan. Nah, yang melukis ini merasakan itu. Dia cerita, kalau dia ini punya usaha fashion. Saudaranya, temannya, itu cuma melihat hasil dari kerja kerasnya. Kayak dia bisa jalan ke mana yang dia mau dengan uang sendiri. Tanpa mereka tau kalau dibalik kesuksesan dia, dia tuh punya kesulitan juga. Di lukisan ini, dia mau menceritakan kepada kita semua. Dibalik senyum yang ia tampilkan, dibalik hasil yang indah, terdapat usaha dan kerja keras juga." "Terakhir. Gambar anak yang diselimuti kertas. Ini Ibu yakin kalian juga ngerasain. Dia lagi kepusingan sama tugasnya yang numpuk sampai dia ngerasa hidupnya hanya diselimuti dengan tugas. Dia cerita kalau dia belum bisa manage waktu dengan baik. Sehingga sering kali kewalahan dengan tugasnya yang numpuk." Semua murid mendengarkan penjelasan Bu Lufi dengan fokus. Otak mereka sudah berputar merencanakan lukisan apa yang akan mereka hasilkan. "Nah, sekarang tugas kalian. Coba bikin sketsa kasarnya, serta makna yang mau kalian sampaikan. Lalu kumpulkan ke Ibu. Jika ada yang mau ditanyakan Ibu persilakan." Hana mulai membuka buku catatannya. Pulpen sudah menangkring cantik di jarinya. Namun, otaknya mendadak tidak bekerja. Matanya menyapu seluruh ruangan. Teman-temannya tampak sudah fokus pada buku catatan masing-masing. Termasuk Tobias. Seperti teringat sesuatu. Hana merasa janggal dengan keadaan kelasnya. "Yang nggak masuk cuma Rabian aja, ya, berarti," kata Bu Lufi. Menyadarkan Hana pada ketidakhadiran cowok itu. *** Tas Rabian masih ada di kelas. Benda yang pertama kali Hana periksa saat sampai kelas. "Tasnya ada. Orangnya ke mana?" tanya Randi. "Nggak masuk kelas Bu Lufi? Sayang banget. Nggak tau aja dia, pelajaran Bu Lufi paling seru," timpal Intan. Hana duduk di bangkunya. Menyimpan buku dan tempat pensilnya ke dalam tas. Tobias melakukan hal yang sama. "Han, mau ke mana?" Tobias memanggil Hana yang sudah berlari ke arah pintu. "Ke kantin duluan aja, Bi." Hana masih penasaran, di mana Rabian. Tujuan pertamanya adalah tempat parkir. Netranya menangkap motor yang menyusahkannya kemarin. Kalau motor dan tasnya masih ada di sekolah tandanya memang Rabian memang ada di sekolah. Namun, di mana dia? Tidak mungkin ia bisa lolos dari guru piket yang suka berpatroli untuk menangkap murid yang bolos kelas. Teringat kenakalannya saat kelas sepuluh. Ia pernah kena hukuman saat mencoba bolos untuk nongkrong di kantin. Ada dua tempat yang tidak akan terkena patroli. Gudang dan atap. Hana mengayunkan kakinya menuju atap. Seperti dugaannya. Cowok itu tengah tidur di kursi panjang dengan tangan menutup matanya. "Rabian! Gila, ya, lo. Bolos kelas. Masuk Galena susah. Lo udah masuk malah nyia-nyiain kayak gini? Gue yang bodoh aja masih ada usaha untuk bertahan. Sedangkan lo..." "Siapa yang mau masuk Galena?" Rabian menyingkirkan tangannya dari mata. Kelopaknya perlahan terbuka. Mengerjap untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya. "Lo lagi PMS? Dateng langsung marah-marah." Rabian memposisikan dirinya untuk duduk. Sepertinya ia sudah tidak bisa lanjut tidur lagi. "Lo yang lagi eror. Sekolah kayak nggak niat. Lo udah dikasih kemampuan sama tuhan. Jangan mentang-mentang pinter jadi seenaknya sekolah." Rabian mengerutkan dahinya. Ia mendongak untuk membalas tatapan sinis Hana. "Lo mau apa? Punya masalah apa sih, Han. Sini cerita." Tangan Rabian menepuk bagian kosong di kursi panjang itu. "Kayaknya berat banget masalah hidup lo." Hana mendengkus. Tangannya terulur untuk menjitak Rabian. "Aduh hahaha iya ampun. Sorry, sorry." "Orang pindahan kayak lo kalau ketauan melakukan pelanggaran berat bisa dicabut beasiswanya. Lo tau itu dan sengaja ngelakuin ini."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN