53. Perdebatan

1039 Kata
Lelaki berjaket jeans yang lusuh itu mengayunkan kakinya masuk ke dalam rumah makan. Dia mengambil duduk di salah satu kursi di sana. Membuka ritsleting tasnya dan mengeluarkan dua buku tulis. Ia mulai menyalin materi yang tidak sempat ia tulis di kelasnya tadi. Sesekali ia melirik jam di ponselnya. Tulisannya bahkan sudah mulai berantakan karena kecepatan menulisnya. Cowok itu tidak memiliki banyak waktu lagi untuk menyelesaikan catatannya. "Woy, Yan. Nggak ganti baju?" Rabian mengangkat wajahnya. Bang Roy, pria berumur dua puluh lima tahun itu sudah berganti baju bebas. Ah, ya, shiftnya sudah dimulai. Rabian menutup dua buku tulis itu. "Oh, iya, Bang." Sepertinya Rabian harus bergadang lagi untuk memahami pelajaran tadi. *** "Gue udah jelasin secara sabar dan jelas. Sekarang lo coba kerjain nomor ini." Tobias menyodorkan buku tebal bertuliskan bank soal kepada Hana. "Soal ini sama yang lo jelasin tadi beda." Tobias mengetuk buku itu. Menandakan kalau ia tidak mau menerima keluhan apa pun dari Hana. Hana kira, ucapan Tobias di sekolah tadi hanya omongan belaka. Padahal Hana sudah berencana berleha-leha di kasurnya sepulang sekolah. Namun, Tobias malah ikut masuk ke dalam rumahnya. Niat Tobias makin terlaksana dengan baik setelah bertemu dengan ibunya. Kini, Hana harus terpaksa berdiam diri selama sejam dengan Tobias di hadapannya. "Tobi mau makan apa?" Rika menyembulkan kepalanya dari ruang dapur. "Hana mau gado-gado, Bu." "Mau soto." Tobias menjawab. "Oke, soto," putus Rika. "Gado-gadonya?" Hana yang merasa dicueki kembali bertanya. "Kamu makan yang ada aja," tegas Rika sambil kembali masuk ke dapur. Hana mencembikkan mulutnya kesal. Seperti biasa, kehadiran Tobias di rumahnya akan membuat Hana merasa dianaktirikan. Sebenarnya Hana tidak usah heran. Tobias yang notabenenya anak dari bos ayahnya sudah jelas akan mendapat perlakuan spesial. Sebuah sentilan mendarat di kening mulusnya. "Cepet kerjain." "Ish sakit." Hana mengusap dahinya yang memerah. "Otak gue tambah menciut kalo lo sentil." "Gue kasih waktu dua puluh menit," putus Tobias. Tanpa mau memedulikan gerutuan Hana, Tobias menyumpal kedua telinganya dengan headset. Membuat Hana mengacak rambutnya frustrasi. Fisikaa i hate u, batin Hana berteriak. *** Lagi-lagi, Hana melihat Rabian tertidur di kelas. Cewek itu jadi penasaran jam berapa Rabian biasa tidur. Pekerjaan apa yang anak itu kerjakan. "Itu siapa yang tidur." Hana menegapkan tubuhnya. Pak Andi sudah menurunkan kacamatanya. Tanda bahwa sesuatu yang buruk akan datang pada anak itu. Sebenarnya, Hana ingin sekali membantu. Namun, karena mereka sudah tidak duduk bersama lagi cewek itu tidak bisa melakukan apa-apa. "Ke sekolah buat tidur ngapain ke sekolah!" bentak Pak Andi. Rabian terlihat menggeliat di kursinya. Seperti yang diduga, Pak Andi menyuruh Rabian berdiri di depan kelas. "Bi, tau nggak sih, kenapa Rabian suka tidur di kelas. Itu karena—" "Nggak tau, nggak mau tau," tukas Tobias sambil menyalin materi yang ada di papan tulis. Hana terdiam, berdecih sebelum akhirnya matanya kembali melihat ke arah Rabian. Ketika mata mereka bertemu Rabian menjulurkan lidah ke arahnya. "Ck, udah dihukum masih aja resek." Bagi Rabian, hal seperti ini sudah biasa ia dapatkan. Dari dulu malah. Segala jenis hukuman dari mulai membersihkan kamar mandi hingga berlari mengelilingi lapangan sudah pernah ia lakukan hanya karena tertidur di kelas. Sehingga hukuman yang diberikan Pak Andi termasuk ke dalam hukuman yang mudah. Bel pergantian mata pelajaran berbunyi. Pak Andi mendekatinya dan memberikan beberapa teguran dan peringatan. Seperti yang sudah-sudah. Rabian hanya akan menjawab "Iya, Pak." Setelah itu Pak Andi keluar kelas. Rabian menempatkan kedua tangannya di atas lutut. Wajahnya melihat ke kedua ujung sepatunya. Merapalkan kalimat semangatnya sendiri. Entah kenapa belakangan ini ia benar-benar merasa berat. Lalu sepasang sepatu berdiri tepat di depan matanya. Membuat Rabian mendongak untuk melihat si pemilik sepatu itu. "Lo udah ngerjain tugas melukis." Rabian menampilkan cengir kudanya. "Belum." "Sketsa awal sama makna lukisannya belum lo buat?" Rabian menegakkan tubuhnya. Kemudian berjalan menuju kursinya. "Ya, belum." "Ckck, dan lo masih nyantai kayak gini? Hebat!" Rabian meringis, dia tidak tahu saja kepala cowok itu sudah hampir pecah karena dirinya yang sulit untuk mengatur waktunya dalam seharian. "Setidaknya lo udah harus buat sketsanya. Lagian gampang kali. Lo tinggal buat lukisan yang menggambarkan perasaan lo saat ini." Rabian berbalik. Terlalu mendadak, hingga hampir membuat Hana menabrak dirinya. "Lo mau bantu gue?" "Bantu apa?" "Nyari ide." "Gimana caranya bantu lo? Idenya kan ya masalah lo sendiri." "Cukup temenin gue aja." *** Hana dan Rabian cukup kaget saat orang yang tidak diundang tiba-tiba berdiri di antara keduanya. "Gue juga belum buat sketsanya sama sekali, Han." Tobias menoleh ke arah Hana. "Gue nggak boleh ikut kalian?" Hana mengerjapkan matanya cepat. Sikap aneh Tobias lagi kumat. "Ya, boleh-boleh aja kok. Nggak ada yang ngelarang." "Good." Tobias menarik salah satu kursi ke dekat meja. Menaruh buku catatan dan pulpennya di sana. Hal sama yang diikuti Hana dan Rabian. "Kalian berdua biasa ke sini?" tanya Tobias memecah kesunyian itu. "Enggak kok." "Iya." Hana dan Rabian menjawab bersamaan. "Cuma sekali doang, ya. Lo jangan ngomong aneh-aneh deh, Yan," protes Hana. "Nggak aneh. Cuma jawab iya aja sih, wlee," kata Rabian tidak mau kalah. "Ya, itu kan bohong namanya." "Lah kita kan lagi ngedate?" Rabian menampilkan wajah isengnya. "Oh, pantesan berdua aja." Tobias menganggukkan kepalanya. "Gue ganggu dong, ya?" sindir Tobias ke arah Hana. Cewek itu jelas gelagapan. "Enggak demi dah. Enggak ngedate. Gue nemenin dia nugas doang. Lo percaya gue kan, Bi." Tobias mengangguk. "Percaya." Hana tersenyum lebar. Kemudian menepuk tangannya heboh. "Udah ah, mulai ngerjain sana kalian berdua." Cewek itu berdiri dengan bertolak pinggang. "Gue pantau dari sini." "Han, lo bilang perasaan yang lagi gue rasain sekarang?" "Iya." "Berarti gue lukis lo aja, ya. Kan perasaan gue sekarang cuma mikirin lo." Tobias meringis. Wajahnya mengekspresikan wajah geli dengan perkataan receh Rabian. "Kalau gitu lo gambar buaya aja. Untuk menggambarkan siapa lo sebenarnya." "Han, kok lo mau sih bergaul sama dia?" "Buat nambah temen gesrek aja sih, Bi," celetuk Hana sambil cengengesan karena mendapat wajah protes dari Rabian. "Oh." Tobias terkekeh. Membuat Hana terdiam bingung. "Jadi, lo cuma nganggep dia teman gesrek," ucap Tobias sambil mengangkat satu alisnya. Perkataan itu jelas sekali menyindir Rabian. Dan cowok itu merasakannya. "Waktu itu lo juga bilang kan, Na. Cuma nganggep ni orang kayak saudara. Sebatas saudara." Rabian menegaskan kalimat terakhirnya. Kini berganti Rabian yang terkekeh saat melihat ekspresi wajah Tobias menjadi datar. Hana yang berada di tengah perdebatan itu hanya membeku. Ada apa dengan Tobias dan Rabian sebenarnya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN