50. Tanda tanya baru

1013 Kata
Rabian menatap tajam ke arah Tobias. Sedetik kemudian, sebuah senyum muncul di wajahnya. Tangannya terangkat untuk menepuk bahu Tobias. "Santai aja kali," seru Rabian sambil tergelak. Ia menggeser bahu Tobias sambil merentangkan tangannya. "Lo liat, semua orang pada kaget karena amukan lo." Rabian lalu memungut tasnya yang berada tepat di bawah kaki Tobias. Cowok itu menepuk bawah tasnya yang kotor karena menyentuh lantai. "Oke gue pindah. Persoalan kayak gini sepele kali." Mata cowok itu melirik Tobias yang masih menatapnya tajam. "Gue bisa ngalah buat lo." Kata-kata Rabian itu diakhiri dengan senyum tipis penuh sarat. Membuat Tobias harus mengepalkan kedua telapak tangannya. Lelaki berambut berantakan itu berlalu di depan Tobias sambil bersiul ringan. "Kita duduk, yuk." Hana menarik pergelangan tangan Tobias ke arah bangku mereka. Tidak biasanya Tobias memiliki kesabaran setipis kertas. Jujur, Hana juga terkejut. Ternyata ada orang yang lebih menyebalkan darinya sehingga membuat seorang Tobias marah seperti itu. Padahal Hana awalnya sudah senang karena Tobias mau kembali duduk dengannya. Ia pikir keadaannya akan seperti dulu lagi. Namun, melihat wajah keras cowok itu membuatnya urung melakukan 'macam-macam'. Seperti ada tanda 'mode senggol bacok' di kening cowok itu. Maka dari itu yang dilakukan Hana adalah berusaha tenang di tempat duduknya tanpa mengusik lelaki berharum pinus itu. *** "Gue sekarang ada latihan." Hana memutar wajahnya menghadap Tobias. Kelopaknya mengerjap, berusaha mencerna maksud dari cowok itu. "Lo pulang duluan aja." "Oh." Hana mengangguk. "Oke. Biasanya juga gue yang nanya." Cewek itu memperhatikan Tobias yang tengah merapikan mejanya. Selama bertahun-tahun berteman dengan Tobias, Hana tidak pernah melihat Tobias mau bertengkar dengan teman sekelasnya. Namun, yang terjadi hari ini ... "Gue duluan, ya." Tobias berdiri kemudian berlalu keluar kelas. Helaan napas lolos dari mulut Hana. Cewek itu kemudian mengambil tas yang ia letakan di kursinya. Pandangannya terhenti pada sosok cowok yang tertidur di kursi belakang. "Yan." Hana menepuk bahu cowok itu. "Yan, lo kebo banget. Udah pulang nih." Rabian melenguh. Tangannya ia angkat untuk meregangkan tubuhnya yang terasa kaku. Cowok itu mengucek matanya kemudian menyapu pandangannya pada kelas yang sudah tersisa dirinya dengan Hana. "Lah, pada ke mana?" "Pulanglah. Lo doang yang mau nginep di sini," jawab Hana sambil berbalik. Rabian terkekeh lalu bangkit dari duduknya untuk mengejar Hana. "Han, tungguin." Tanpa mau menunggu, Hana tetap melengos keluar kelas. Di belakangnya, Rabian melebarkan langkahnya untuk meraih perempuan itu. Ditariknya ransel Hana. Membuat langkah kaki si empunya tas berhenti. "Makanya gue pengen duduk sama lo, ya gini. Lo tuh udah klop banget sama gue." Hana menepis tangan Rabian yang mencengkram tasnya. "Gue nggak mau duduk sama lo." "Kenapa? Lagian menurut gue kita bisa simbiosis mutualisme. Lo bisa nyontek sama gue, gue bisa dibantu buat tidur di kelas sama lo." Bola mata Hana memutar sebal. "Ya lo tidur di rumahlah, bukan di kelas." Rabian menggaruk tengkuknya. "Kalau bisa ... Eh, iya lo pulang sendiri?" Hana menganggukkan kepalanya. "Lo mau ngajak bareng, kan?" Tangannya mengibas di depan wajah Rabian. "Udah ketebak dari muka buaya lo ini." "Muka ganteng ini, bukan buaya," ujar Rabian sambil menangkap pergelangan tangan Hana. "Jadi, lo pilih ngeluarin uang buat naik angkot atau bareng sama buaya gini?" Hana menarik tangannya yang berada di genggaman Rabian. Alih-alih terlepas, Rabian malah ikut tertarik hingga lebih mendekat ke cewek itu. Rabian sedikit terkejut saat jaraknya dengan Hana terpaut dekat. "Karena gue butuh beli netplik, jadi gue milih bareng buaya," balas Hana sambil mendorong tubuh Rabian menjauh. "Cepetan lo taro motor di mana." Cewek itu berjalan duluan. Mengacuhkan ekspresi Rabian yang sedikit berubah. *** "Nanti lo turunin gue di depan perumahan aja. Nggak usah depan rumah." "Gak. Gue mau sampe rumah. Siapa tau ketemu calon mertua." Sebuah keplakan mendarat di belakang helm cowok itu. "Nggak usah sembarangan kalo ngomong." Rabian tergelak. "Lagian kenapa sih emangnya? Orang temenan juga. Emang orang tua lo nggak ngebolehin temenan ama cowo gitu?" Bukan itu. Kalau Hana tidak ingat bahwa ia memiliki tetangga bernama Sabil. Sahabatnya yang memiliki mulut ember. Tanpa berniat menjelaskan penyebab aslinya, Hana hanya diam. Perhatiannya dari jalanan teralihkan saat Rabian memberhentikan motornya— "Ah, kumat lagi." —atau tidak? "Turun dulu, Han. Bebeb gue kumat, nih." "Mogok?!" Hana turun dari motor cowok itu. "Gini amat mau nonton netplik," keluh Hana. Rabian men-standarkan motornya. Cowok itu berjongkok, entah apa yang ia otak-atik. Padahal jarak ke rumahnya tinggal dikit lagi. Mau naik angkutan umum sudah tanggung. Tapi kalau jalan kaki lumayan bikin capek. Rabian menoleh ke belakang. Senyum tipis tercetak di wajahnya. "Han, mau bantu dorongin sampe bengkel nggak?" Kalau saja ia tidak berpikir kalau dirinya sebagai orang yang 'numpang' mungkin Hana sudah mencak-mencak. Cewek itu membalas cengiran Rabian dengan senyum yang ia paksakan. "Demi netplik, jelas mau bantu dong." Rabian berdiri. Lalu mengulurkan tangannya. "Tasnya mau gue bawain? Biar lo nggak kecapekan." "Si pintar emang. Gue kira dorong motor lebih berat dari bawa tas loh." "Haha, orang gue basa-basi." Rabian memegang stank motornya. "Semangat ya dorongnya." Di saat seperti ini Hana jadi teringat saat di parkiran tadi. Bagaimana motor bebek Rabian justru terlihat paling menonjol di antara motor-motor puluhan juta. Hana yakin pemilik motor-motor itu tidak pernah merasakan apa yang saat ini Rabian rasakan. Sebenarnya, cewek itu di dekat Rabian terasa nyaman karena Hana merasa memiliki teman yang senasib dengannya. Orang dengan ekonomi menengah ke bawah yang terpaksa berada dalam circle 'anak sultan'. "Tobias emang biasa marah-marah kayak gitu, ya?" "Dia marah ke temen baru sama lo kayaknya. Gue aja nggak nyangka dia bisa begitu. Aura lo jelek kayaknya, Yan." "Hahaha orang seganteng gue auranya juga gantenglah." "Terus kalo sebelumnya kalian sebangku, kenapa dia pindah?" tanya Rabian lagi. Terdengar embusan napas yang berasal dari Hana. "Pertanyaan yang sampe sekarang belum terpecahkan." Rabian mengangguk singkat. "Berarti bisa dibilang, gue yang buat kalian bisa sebangku lagi dong, ya?" "Yah, bisa dibilang gitu. Tapi gara-gara lo gue jadi penasaran sama tuh anak." Tobias, seperti tidak cukup membuat tanda tanya besar di benak Hana. Cowok itu membuat pertanyaan baru lainnya tiap hari yang tidak bisa Hana temukan jawaban pastinya. "Han." "Hmm?" "Gue mau nanya." "Ya, nanya aja sih. Dari tadi juga nanya." Ada jeda dari Rabian. Sebelum akhirnya kalimat itu keluar dari mulutnya. "Lo suka sama Tobias?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN