49. Tempat yang Semestinya

1020 Kata
"Lo tidur sini. Tuh dokter nggak akan dateng kalau nggak dipanggil. Jadi lo bisa tidur sampai." Hana melirik jam di pergelangan tangannya. "Paling lama sejam." Hana menarik kursi dan menempatkannya di samping ranjang Rabian. Rabian melihat Hana lekat. Membuat cewek itu lama kelamaan risih. "Lo kalau udah nggak ngantuk kita ke kelas lagi." "Gue gimana bisa tidur kalau dipantau gitu." Hana berdecak. Ia beranjak dan keluar dari tirai itu. "Gue udah di luar. Lo cepet puasin tidur." Tidak ada balasan dari dalam. Membuat Hana menyangka kalau Rabian sudah tertidur pulas. "Gue tadi malem kerja. Kebetulan kebagian shift malam. Bukan ngeronda." Mendengar fakta itu jujur membuat Hana terkejut tak menyangka. Perempuan itu menggigit kuku telunjuknya. Tidak tahu harus merespon apa. "Thanks, udah nyelamatin gue hari ini. Gue pastiin akan ngebales yang sama dengan lo." "Nilai gue tadi bagus. Kita impas." Hana bersuara pelan. Kemudian suasana menjadi hening. Tak lama suara dengkuran halus terdengar. Tampaknya Rabian sudah benar-benar tidur. Hana mengembuskan napas perlahan. Sepertinya akan banyak fakta tentang Rabian yang tidak terpikirkan olehnya sebelumnya. Sejujurnya, Hana mulai penasaran dengan cowok dengan penampilan berantakan dan rambut yang seperti tak pernah disisir itu. Siapa Rabian? Orang seperti apa dia? Siapa keluarganya? Di mana ia tinggal? *** Tobias tahu itu hanya pura-pura. Lelaki yang tengah dituntu oleh Hana itu tidak sedang sakit. Rabian sehat-sehat saja saat tadi masuk kelas. Bahkan ia masih bercanda dengan Hana saat jam pelajaran Pak Iqbal. Tobias melihat semuanya. Setiap interaksi Hana dan Rabian. Tentunya secara diam-diam. Tangan cowok itu mengepal. Ada perasaan tak terima yang kuat di hatinya. Hana tidak pernah memperlakukan laki-laki seperti itu. Bahkan ia tidak ingat apa Hana pernah melindunginya juga. Tobias melempar pulpennya ke atas meja. Memang seharusnya dari awal ia tidak membiarkan orang itu menyentuh sahabatnya. Kaki Tobias bergoyang di bawah meja. Rasanya ia ingin cepat-cepat istirahat. Hal yang tak pernah ia lakukan selama sekolah. Maka, saat bel tanda istirahat berbunyi. Tobias lantas beranjak dan bergegas menuju ruang UKS. Cowok itu memutar kenop dengan kasar. Ia melihat Hana yang tengah duduk dengan memainkan ponselnya. Mendengar pintu terbuka, Hana lantas mendongakan wajahnya. "Tobi?" "Ini udah jam istirahat. Lo nggak makan?" Tobias berjalan ke arah Hana. Ia mengambil tangan cewek itu hendak menariknya keluar. Namun, langkahnya terhenti saat suara Rabian terdengar. "Kalau Hana keluar, yang nemenin gue siapa. Kan gue lagi sakit kata Hana, ya, kan, Han?" ucap Rabian memberi penekanan di kalimat terakhirnya. Tobias membuka tirai itu kasar. Dengan senyum miringnya cowok itu berkata. "Kayaknya lo belum diperiksa, ya. Mau gue bantu panggil dokter jaga?" Setelah mengatakan itu Tobias menyeret Hana keluar UKS. Hana menahan tubuhnya. Membuat pegangan di pergelangannya terlepas. Tobias menoleh ke belakang. Memandang sahabatnya itu dengan kening mengerut. "Gue harus nemenin Rabian. Karena ini ide gue juga udah bohong." Hana menatap netra hitam milik Tobias. "Gue nanti ke kantinnya sendiri." "Nggak. Kalau lo nggak ke kantin. Gue juga enggak," kata Tobias membalas. "Kenapa? Lo nggak pernah gini sebelumnya. Lo emang selalu berubah-ubah gini, ya, sikapnya. Kenapa? Jangan-jangan lo suka gue? Bener?" Tobias tersentak dari lamunannya saat sebuah tepukan mendarat di punggungnya. "Misi, Kak. Kami mau masuk." Cowok itu menoleh ke belakang. Terdapat dua siswi yang sepertinya dari kelas sepuluh. Tobias berpindah ke pinggir. Ia tersadar kalau sedari tadi melamun di depan pintu UKS. Cowok itu memukul kepalanya. Kenapa juga ia harus berlari menghampiri Hana dan berencana untuk memaksa cewek itu ke kantin bersamanya. Untung saja itu semua baru ada di bayangannya. 'Jangan-jangan lo suke gue?' Pertanyaan Hana di lamunannya tadi terus membayang-bayanginya. Tidak! Ia tidak suka Hana. Hana hanya sahabatnya. Tidak lebih. Tobias melangkah mundur. Ia tidak perlu melakukan itu. Terserah Hana mau dekat dengan siapa atau bergaul dengan siapa. Dia tidak punya hak apa-apa. Hanya karena ia adalah orang paling lama mengenal Hana bukan berarti ia berhak untuk mengatur perempuan itu dekat dengan siapa. "Tapi ini Rabian ...." Tobias mengepalkan tangannya. Kemudian ia memberanikan diri masuk ke dalam UKS. Hana bisa dekat dengan siapa saja asal bukan dengan dia. "Hana!" panggil Tobias. Cewek yang tengah duduk di salah satu kasur itu berdiri. "Mulai sekarang gue duduk sama lo lagi." Satu alis Hana terangkat. Tanpa menunggu jawaban dari Hana, Tobias berbalik keluar dari UKS. Hana yang tidak paham dengan sikap Tobias hanya bisa menerka dalam batinnya. Apa Tobias salah makan? Sedangkan di balik tirai itu Rabian membuka kelopak matanya perlahan. Ia mengganti posisi menjadi terlentang dengan satu tangan ia jadikan alas untuk kepalanya. Senyum sinis tercetak di wajahnya seakan apa yang ia mau terwujud. *** Tobias benar merapikan buku dan tempat pensilnya ke dalam tas. Teman sebangkunya bertanya dan dia hanya menjawab singkat akan duduk kembali dengan Hana dan berganti dengan Rabian. Suara hentakan sepatu terdengar. Seperti ada yang berlari menuju kelasnya. Hana menghampiri Tobias yang tengah menaruh tas Rabian di bangku miliknya. Dan menaruh tasnya di bangku sebelah Hana. "Kenapa tiba-tiba?" tanya Hana. "Bukannya lo yang minta?" tanya Tobias balik. Hana menggaruk rambutnya yang tak gatal. "Tapi itu, kan, udah lama." Tobias menegakan tubuhnya. Memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Jadi udah nggak berlaku?" Kepala cowok itu mengangguk pelan. "Oke." "E-eh mau ngapain?" Hana menahan Tobias yang hendak mengambil tasnya kembali. "Masih berlaku kok." Cewek itu melebarkan senyumnya hingga deretan gigi putihnya terlihat. Bruk! Sebuah tas mendarat dengan keras di meja. Tobias dan Hana tersentak karenanya. Dengan langkah santai Rabian menghampiri meja itu. Tobias memiringkan wajahnya. "Bukannya lo lagi sakit?" Rabian menaikturunkan bahunya. "Udah tidur, udah minum obat. Udah sehat. Saking sehatnya gue bisa nolak pindah tempat duduk." Telunjuk Tobias menyentuh meja itu. "Tapi meja ini awalnya milik gue." "Dan kenapa nggak lo jaga?" Rabian maju selangkah. Menempatkan dirinya berhadapan dengan Tobias. "Gue lagi ngelakuinnya sekarang." Telunjuk Rabian bergoyang di depan mata Tobias. "Udah terlambat. Sekarang ini milik gue." Tobias mengambil tas Rabian dan menariknya hingga terjatuh ke lantai. Hana terkesiap melihat itu. Ia tidak pernah melihat Tobias sekasar itu kepada teman sekelasnya. Bahkan teman-temannya yang melihat itu sama terkejutnya dengan Hana. "Nggak ada yang terlambat bagi gue." Tobias membalasnya dengan nada yang menusuk. Cowok bertubuh tinggi itu memajukan wajahnya mendekati daun telinga Rabian. Ia menurunkan volume suaranya sehingga hanya Rabian yang bisa mendengarnya. "Berhenti berusaha mengambil milik gue, Rabian Andreas."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN